ZAKAT FITRAH DALAM KAJIAN HADTIS
Pendahulan
A. Latar Belakang.
Zakat Fitrah, atau yang lazim
disebut zakat fitrah, sudah jamak diketahui sebagai penutup rangkaian ibadah
bulan Ramadhan[1]. Bisa jadi sudah banyak pembahasan
seputar hal ini yang membahas masalah ini. Namun tidak ada salahnya jika diulas
kembali dengan dilengkapi dalil-dalilnya.
Telah menjadi kewajiban atas kaum muslimin untuk mengetahui hukum-hukum
seputar zakat fitrah. Ini dikarenakan Rosulullah, Saw Ta'ala mensyariatkan bagi
setiap muslim untuk menunaikannya usai melakukan kewajiban puasa Ramadhan.
Tanpa mempelajari hukum-hukumnya, maka pelaksanaan syariat ini tidak akan
sempurna. Sebaliknya, dengan mempelajarinya maka akan sempurna realisasi dari
syariat tersebut.
Dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma, berkata:
Dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma, berkata:
فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِطُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ
“Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah sebagai penyuci bagi
orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata kotor serta
sebagai pemberian makanan untuk orang-orang miskin.” (HR. Abu Dawud Kitabul
Zakat Bab. Zakatul Fitr: 17 no. 1609)
Dari ilustrasi tersebut maka, makalah ini akan mengulas masalah Zakat
Fitrah, defensi Zakat Fitrah, Hukum Zakat Fitrah, kepada siapa zakat fitrah
diwajibkan, kapan waktu mengeluarkannya dan siapa saja yang berhak menerima Zakat Fitrah. Serta
hikmah dibalik Zakat Fitrah itu sendiri
Pembahasan
A. Pengertian
Zakat Fitrah
Sebelum masuk ke Zakat Fitrah ada baiknya kita tengok sejenak
tentang pengertian zakat. Menurut Bahasa(lughat), zakat berarti :
tumbuh; berkembang; kesuburan atau bertambah (HR. At-Tirmidzi) atau dapat pula
berarti membersihkan atau mensucikan (QS. At-Taubah : 10). Zakat diambil dari kata
zakkaa, yuzakkii yang
berarti membersihkan[2]
dalam hal ini adalah harta benda. Menurut istilah agama islam zakat adalah
mengeluarkan sebagian harta atau bahan makanan pokok menurut ketentuan dan ukuran yang
ditentukan oleh syari’at Agama Islam. Bagi orang muslim zakat adalah kewajiban
pribadi (fardlu ain) dan termasuk rukun
islam yang ke 4. Membayar zakat dimulai pada tahun ke 2 Hijriah.
Zakat itu sendiri dibagi 2 yaitu Zakat Fitrah dan Zakat Maal. Namun
kali ini kita singgung tentang zakat fitrah. Zakat fitrah atau disebut
juga dengan
zakat jiwa yang artinya adalah untuk menyucikan badan atau jiwa[3].
Dengan kata lain membayar Zakat Fitrah merupakan kewajiban bagi setiap
muslim baik kaya atau miskin, laki-laki dan perempuan, tua dan muda, merdeka
atau hamba untuk mengeluarkan sebagian dari makanan pokok menurut syari’at
agama islam setelah mengerjakan puasa bulan Ramadhan pada setiap tahun
Sebutan yang populer di
kalangan masyarakat kita adalah Zakat Fitrah. Mengapa demikian? Karena
maksud dari zakat ini adalah zakat jiwa, diambil dari kata Fitrah, yaitu
asal-usul penciptaan jiwa (manusia) sehingga wajib atas setiap jiwa (Fathul
Bari, 3/367). Semakna dengan itu
Ahmad bin Muhammad Al-Fayyumi menjelaskan bahwa ucapan para ulama “wajib
fitrah” maksudnya wajib zakat fitrah. (Al-Mishbahul Munir: 476)
Namun yang lebih populer di kalangan para ulama disebut Zakat Fitrah atau shadaqah Fitrah. Kata Fitrah di sini kembali kepada makna berbuka dari puasa Ramadhan, karena kewajiban tersebut ada setelah selesai menunaikan puasa bulan Ramadhan. Sebagian ulama seperti Ibnu Hajar Al-’Asqalani menerangkan bahwa sebutan yang kedua ini lebih jelas jika merujuk pada sebab musababnya dan pada sebagian penyebutannya dalam sebagian riwayat[4].
Namun yang lebih populer di kalangan para ulama disebut Zakat Fitrah atau shadaqah Fitrah. Kata Fitrah di sini kembali kepada makna berbuka dari puasa Ramadhan, karena kewajiban tersebut ada setelah selesai menunaikan puasa bulan Ramadhan. Sebagian ulama seperti Ibnu Hajar Al-’Asqalani menerangkan bahwa sebutan yang kedua ini lebih jelas jika merujuk pada sebab musababnya dan pada sebagian penyebutannya dalam sebagian riwayat[4].
B. Hukum Zakat Fitrah
Pendapat yang terkuat, zakat
fitrah hukumnya wajib. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, di antara mereka
adalah Abul Aliyah, Atha’ dan Ibnu Sirin, sebagaimana disebutkan Al-Imam
Al-Bukhari. Bahkan Ibnu Mundzir telah menukil ijma’ atas wajibnya zakat fitrah[5],
walaupun tidak benar jika dikatakan ijma’. Namun, ini cukup menunjukkan bahwa
mayoritas para ulama berpandangan wajibnya zakat fitrah.
Dasar mereka adalah hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:
Dasar mereka adalah hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍأَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَاْلأُنْثَى وَالصَّغِيْرِ وَالْكَبِيْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ
”Dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma ia mengatakan: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menfardhukan zakat fitri satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum atas budak sahaya, orang merdeka, laki-laki, wanita, kecil dan besar dari kaum muslimin. Dan Nabi memerintahkan untuk ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang menuju shalat (Id).” (Shahih, HR. Al-Bukhari, Kitabuz Zakat Bab Fardhu Shadaqatul Fithri 3/367, no. 1503:
أمر النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْر
“Nabi
memerintahkan zakat fitri satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum.” (HR.
Al-Bukhari no. 1507)
Dari dua lafadz hadits tersebut nampak jelas bahwa Nabi menfardhukan dan
memerintahkan, sehingga hukum zakat fitrah adalah wajib.
Dalam hal ini, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa hukumnya sunnah
muakkadah. Adapula yang berpendapat, hukumnya adalah hanya sebuah amal
kebaikan, yang dahulu diwajibkan namun kemudian kewajiban itu dihapus. Pendapat
ini lemah karena hadits yang mereka pakai sebagai dasar lemah menurut Ibnu
Hajar. Sebabnya, dalam sanadnya ada rawi yang tidak dikenal. Demikian pula
pendapat yang sebelumnya juga lemah. (Lihat At-Tamhid, 14/321; Fathul Bari,
3/368, dan Rahmatul Ummah fikhtilafil A`immah hal. 82)
C. Siapa yang Wajib Berzakat Fitrah
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menerangkan dalam hadits sebelumnya bahwa kewajiban tersebut dikenakan atas semua orang, besar ataupun kecil, laki-laki ataupun perempuan, dan orang merdeka maupun budak hamba sahaya. Akan tetapi untuk anak kecil diwakili oleh walinya dalam mengeluarkan zakat. Ibnu Hajar mengatakan: “Yang nampak dari hadits itu bahwa kewajiban zakat dikenakan atas anak kecil, namun perintah tersebut tertuju kepada walinya. Dengan demikian, kewajiban tersebut ditunaikan dari harta anak kecil tersebut. Jika tidak punya, maka menjadi kewajiban yang memberinya nafkah, ini merupakan pendapat jumhur ulama.” (Al-Fath Bari, 3/369)
Nafi’ mengatakan:
فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يُعْطِي عَنِ الصَّغِيْرِ وَالْكَبِيْرِ حَتَّى إِنْ كَانَ لِيُعْطِي عَنْ بَنِيَّ
“Dahulu Ibnu
‘Umar menunaikan zakat anak kecil dan dewasa, sehingga dia dulu benar-benar
menunaikan zakat anakku.” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitabuz Zakat Bab 77, no.
1511, Al-Fath, 3/375)
Demikian pula Apakah selain Muslim terkena Kewajiban Zakat ?
Sebagai contoh
seorang anak yang kafir, apakah ayahnya (yang muslim) berkewajiban mengeluarkan
zakatnya? Jawabnya: tidak. Karena Nabi memberikan catatan di akhir hadits bahwa
kewajiban itu berlaku bagi kalangan muslimin (dari kalangan muslimin). Walaupun
dalam hal ini ada pula yang berpendapat tetap dikeluarkan zakatnya. Namun pendapat tersebut tidak kuat, karena
tidak sesuai dengan dzahir hadits Nabi.
Apakah Janin Wajib Dizakati, Jawabnya: tidak. Karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat tersebut kepada (anak kecil), sedangkan janin tidak disebut (anak kecil) baik dari sisi bahasa maupun adat. Bahkan Ibnul Mundzir menukilkan ijma’ tentang tidak diwajibkannya zakat fitrah atas janin. Walaupun sebetulnya ada juga yang berpendapat wajibnya atas janin, yaitu sebagian riwayat dari Al-Imam Ahmad dan pendapat Ibnu Hazm dengan catatan –menurutnya– janin sudah berumur 120 hari. Pendapat lain dari Al-Imam Ahmad adalah sunnah. Namun dua pendapat terakhir ini lemah, karena tidak sesuai dengan hadits di atas.
Apakah Janin Wajib Dizakati, Jawabnya: tidak. Karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat tersebut kepada (anak kecil), sedangkan janin tidak disebut (anak kecil) baik dari sisi bahasa maupun adat. Bahkan Ibnul Mundzir menukilkan ijma’ tentang tidak diwajibkannya zakat fitrah atas janin. Walaupun sebetulnya ada juga yang berpendapat wajibnya atas janin, yaitu sebagian riwayat dari Al-Imam Ahmad dan pendapat Ibnu Hazm dengan catatan –menurutnya– janin sudah berumur 120 hari. Pendapat lain dari Al-Imam Ahmad adalah sunnah. Namun dua pendapat terakhir ini lemah, karena tidak sesuai dengan hadits di atas.
Wajibkah bagi Orang yang Tidak Mampu?
Ibnul
Qayyim mengatakan bahwa: “Bila kewajiban itu melekat ketika ia mampu
melaksanakannya kemudian setelah itu ia tidak mampu, maka kewajiban tersebut
tidak gugur darinya. Dan tidak menjadi kewajibannya (yakni gugur) jika ia tidak
mampu semenjak kewajiban itu mengenainya.” (Bada`i’ul Fawa`id, 4/33)
Adapun kriteria tidak mampu dalam hal ini, maka Asy-Syaukani
menjelaskan: “Barangsiapa yang tidak mendapatkan sisa dari makanan pokoknya
untuk malam hari raya dan siangnya, maka tidak berkewajiban membayar fitrah.
Apabila ia memiliki sisa dari makanan pokok hari itu, ia harus mengeluarkannya
bila sisa itu mencapai ukurannya (zakat fitrah).” (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah,
9/369)
Dalam Bentuk Apa Zakat Fitrah dikeluarkan?
Hal ini telah dijelaskan dalam hadits diatas. Dan
lebih jelas lagi dengan riwayat berikut:
عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ:
كُنَّ نُعْطِيْهَا فِي زَمَانِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ
صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ
أَوْ صَاعًا
مِنْ زَبِيْبٍ
“Dari Abu Sa’id
radhiallahu 'anhu, ia berkata: ‘Kami memberikan zakat fitrah di zaman Nabi
sebanyak 1 sha’ dari makanan, 1 sha’ kurma, 1 sha’ gandum, ataupun 1 sha’
kismis (anggur kering)’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitabuz Zakat no. 1508 dan
1506, dengan Bab Zakat Fitrah 1 sha’ dengan makanan. Diriwayatkan juga oleh
Muslim no. 2280)
Kata طَعَامٍ (makanan) maksudnya adalah makanan pokok penduduk suatu negeri baik berupa gandum, jagung, beras, atau lainnya. Yang mendukung pendapat ini adalah riwayat Abu Sa’id yang lain:
Kata طَعَامٍ (makanan) maksudnya adalah makanan pokok penduduk suatu negeri baik berupa gandum, jagung, beras, atau lainnya. Yang mendukung pendapat ini adalah riwayat Abu Sa’id yang lain:
قَالَ كُنَّا نُخْرِجُ فِي عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ وَقَالَ أَبُو سَعِيْدٍ وَكَانَ طَعَامَنَا الشَّعِيْرُ وَالزَّبِيْبُ وَاْلأَقِطُ وَالتَّمْرُ
“Ia mengatakan:
‘Kami mengeluarkannya (zakat fitrah) berupa makanan di zaman Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam pada hari Idul Fitri’. Abu Sa’id mengatakan lagi:
‘Dan makanan kami saat itu adalah gandum, kismis, susu kering, dan kurma’.”
(Shahih, HR. Al-Bukhari, Kitabuz Zakat Bab Shadaqah Qablal Id, Al-Fath, 3/375
no. 1510)
Di sisi lain, zakat fitrah bertujuan untuk menyenangkan para fakir dan miskin. Sehingga seandainya diberi sesuatu yang bukan dari makanan pokoknya maka tujuan itu menjadi kurang tepat sasaran.
Di sisi lain, zakat fitrah bertujuan untuk menyenangkan para fakir dan miskin. Sehingga seandainya diberi sesuatu yang bukan dari makanan pokoknya maka tujuan itu menjadi kurang tepat sasaran.
Inilah pendapat yang kuat yang
dipilih oleh mayoritas para ulama. Di antaranya Malik (At-Tamhid, 4/138),
Asy-Syafi’i dan salah satu riwayat dari Al-Imam Ahmad, Ibnu Taimiyyah (Majmu’
Fatawa, 25/69), Ibnul Mundzir (Al-Fath, 3/373), Ibnul Qayyim (I’lamul
Muwaqqi’in, 2/21, 3/23, Taqrib li Fiqhi Ibnil Qayyim hal. 234), Ibnu Baz dan
fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah (9/365, Fatawa Ramadhan, 2/914)
Juga ada pendapat lain yaitu zakat
fitrah diwujudkan hanya dalam bentuk makanan yang disebutkan dalam hadits Nabi.
Ini adalah salah satu pendapat Al-Imam Ahmad. Namun pendapat ini lemah. (Majmu’
Fatawa, 25/68)
Bolehkah Mengeluarkannya dalam Bentuk Uang?
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam hal ini.
Pendapat pertama: Tidak boleh mengeluarkan dalam bentuk uang. Ini adalah pendapat Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Dawud. Alasannya, syariat telah menyebutkan apa yang mesti dikeluarkan, sehingga tidak boleh menyelisihinya. Zakat sendiri juga tidak lepas dari nilai ibadah, maka yang seperti ini bentuknya harus mengikuti perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala. Selain itu, jika dengan uang maka akan membuka peluang untuk menentukan sendiri harganya. Sehingga menjadi lebih selamat jika menyelaraskan dengan apa yang disebut dalam hadits.An-Nawawi mengatakan: “Ucapan-ucapan Asy-Syafi’i sepakat bahwa tidak boleh mengeluarkan zakat dengan nilainya (uang).” (Al-Majmu’, 5/401)
Pendapat pertama: Tidak boleh mengeluarkan dalam bentuk uang. Ini adalah pendapat Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Dawud. Alasannya, syariat telah menyebutkan apa yang mesti dikeluarkan, sehingga tidak boleh menyelisihinya. Zakat sendiri juga tidak lepas dari nilai ibadah, maka yang seperti ini bentuknya harus mengikuti perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala. Selain itu, jika dengan uang maka akan membuka peluang untuk menentukan sendiri harganya. Sehingga menjadi lebih selamat jika menyelaraskan dengan apa yang disebut dalam hadits.An-Nawawi mengatakan: “Ucapan-ucapan Asy-Syafi’i sepakat bahwa tidak boleh mengeluarkan zakat dengan nilainya (uang).” (Al-Majmu’, 5/401)
Pendapat ini pula yang dipilih oleh Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz,
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, dan Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan
(lihat Fatawa Ramadhan, 2/918-928)
Pendapat kedua: Boleh mengeluarkannya dalam bentuk uang yang senilai
dengan apa yang wajib dia keluarkan dari zakatnya, dan tidak ada bedanya antara
keduanya. Ini adalah pendapat Abu Hanifah. (Al-Mughni, 4/295, Al-Majmu’, 5/402,
Bada`i’ush-Shana`i’, 2/205, Tamamul Minnah, hal. 379)
Pendapat pertama itulah yang kuat.Atas dasar itu bila seorang muzakki
(yang mengeluarkan zakat) memberi uang pada amil, maka amil diperbolehkan
menerimanya jika posisinya sebagai wakil dari muzakki. Selanjutnya, amil
tersebut membelikan beras –misalnya– untuk muzakki dan menyalurkannya kepada
fuqara dalam bentuk beras, bukan uang. Namun sebagian ulama membolehkan
mengganti harta zakat dalam bentuk uang dalam kondisi tertentu, tidak secara
mutlak. Yaitu ketika yang demikian itu lebih bermaslahat bagi orang-orang fakir
dan lebih mempermudah bagi orang kaya.
Ini merupakan pilihan Ibnu Taimiyyah. Beliau rahimahullahu mengatakan: “Boleh mengeluarkan uang dalam zakat bila ada kebutuhan dan maslahat. Contohnya, seseorang menjual hasil kebun atau tanamannya. Jika ia mengeluarkan zakat 1/10 (sepersepuluh) dari uang dirhamnya maka sah. Ia tidak perlu membeli korma atau gandum terlebih dulu. Al-Imam Ahmad telah menyebutkan kebolehannya.” (Dinukil dari Tamamul Minnah, hal. 380)
Ini merupakan pilihan Ibnu Taimiyyah. Beliau rahimahullahu mengatakan: “Boleh mengeluarkan uang dalam zakat bila ada kebutuhan dan maslahat. Contohnya, seseorang menjual hasil kebun atau tanamannya. Jika ia mengeluarkan zakat 1/10 (sepersepuluh) dari uang dirhamnya maka sah. Ia tidak perlu membeli korma atau gandum terlebih dulu. Al-Imam Ahmad telah menyebutkan kebolehannya.” (Dinukil dari Tamamul Minnah, hal. 380)
Ia juga mengatakan dalam Majmu’ Fatawa (25/82-83): “Yang kuat dalam masalah
ini bahwa mengeluarkan uang tanpa kebutuhan dan tanpa maslahat yang kuat maka
tidak boleh …. Karena jika diperbolehkan mengeluarkan uang secara mutlak, maka
bisa jadi si pemilik akan mencari jenis-jenis yang jelek. Bisa jadi pula dalam
penentuan harga terjadi sesuatu yang merugikan. Adapun mengeluarkan uang karena
kebutuhan dan maslahat atau untuk keadilan maka tidak mengapa.”
Pendapat ini dipilih oleh Asy-Syaikh Al-Albani sebagaimana disebutkan
dalam kitab Tamamul Minnah (hal. 379-380)
Yang perlu diperhatikan, ketika memilih pendapat ini, harus sangat
diperhatikan sisi maslahat yang disebutkan tadi dan tidak boleh sembarangan
dalam menentukan, sehingga berakibat menggampangkan masalah ini.
Ukuran yang dikeluarkan
dari hadits-hadits yang lalu jelas sekali bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam menentukan ukuran zakat fitrah adalah 1 sha’. Tapi, berapa 1 sha’ itu?
Satu sha’ sama dengan 4 mud. Sedangkan 1 mud sama dengan 1 cakupan dua telapak tangan yang berukuran sedang.
Satu sha’ sama dengan 4 mud. Sedangkan 1 mud sama dengan 1 cakupan dua telapak tangan yang berukuran sedang.
Berapa bila diukur dengan
kilogram (kg) Tentu yang demikian ini tidak bisa tepat dan hanya bisa diukur
dengan perkiraan. Oleh karenanya para ulama sekarangpun berbeda pendapat ketika
mengukurnya dengan kilogram.
Dewan Fatwa Saudi Arabia atau
Al-Lajnah Ad-Da`imah yang diketuai Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz,
wakilnya Asy-Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi dan anggotanya Abdullah bin Ghudayyan
memperkirakan 3 kg. (Fatawa Al-Lajnah, 9/371)
Adapun Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin berpendapat sekitar 2,040 kg. (Fatawa Arkanil Islam, hal. 429)
Adapun Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin berpendapat sekitar 2,040 kg. (Fatawa Arkanil Islam, hal. 429)
Tentang Al-Bur atau Al-Hinthah Ada perbedaan
pendapat tentang ukuran yang dikeluarkan dari jenis hinthah (salah satu jenis
gandum). Sebagian shahabat berpendapat tetap 1 sha’, sementara yang lain
berpendapat ½ sha’.Nampaknya pendapat kedua itu yang lebih kuat berdasarkan
riwayat:
عَنْ هِشَامِ بنِ عُرْوَةَ حَدَّثَهُ عَنْ أَبِيْهِ أَنَّ أَسْمَاءَ بنِتَ أَبِى بَكْرٍ أَخْبَرَتْهُ: أَنَّهَا كَانَتْ تُخْرِجُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَهْلِهَا الْحُرِّ مِنْهُمْ وَالْمَمْلُوْكِ مُدَّيْنِ مِنْ حِنْطَةٍ أَوْ صَاعاً مِنْ تَمْرٍ بِالْمُدِّ أوْ بِالصَّاعِ الَّذِييَـتَبَايَعوْنَ بِهِ
“Dari Hisyam bin
Urwah dari ayahnya bahwa Asma’ binti Abu Bakar dahulu di zaman Nabi dia
mengeluarkan (zakat) untuk keluarganya yang merdeka atau yang sahaya dua mud
hinthah atau satu sha’ kurma dengan ukuran mud atau sha’ yang mereka pakai
untuk jual beli.” (Shahih, HR. Ath-Thahawi dalam Ma’ani Al-Atsar, 2871, Ibnu
Abi Syaibah dan Ahmad. Asy-Syaikh
Al-Albani mengatakan: “Sanadnya shahih, sesuai syarat Al-Bukhari dan Muslim.”
Lihat Tamamul Minnah hal. 387)
D. Waktu Mengeluarkannya
Menurut sebagian ulama bahwa
jatuhnya kewajiban fitrah itu dengan selesainya bulan Ramadhan. Namun Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam menerangkan bahwa waktu pengeluaran zakat fitrah
itu sebelum shalat sebagaimana dalam hadits yang lalu.
وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ
وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ
“Dan Nabi
memerintahkan agar dilaksanakan sebelum orang-orang keluar menuju shalat.”
Dengan demikian, zakat tersebut harus tersalurkan kepada yang berhak
sebelum shalat. Sehingga maksud dari zakat fitrah tersebut terwujud, yaitu
untuk mencukupi mereka di hari itu. Namun demikian, syariat memberikan
kelonggaran kepada kita dalam penunaian zakat, di mana pelaksanaannya kepada
amil zakat dapat dimajukan 2 atau 3 hari sebelum Id berdasarkan riwayat berikut
ini:
كَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا يُعْطِيْهَا الَّذِيْنَيَقْبَلُوْنَهَا وَكَانُوا يُعْطُوْنَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ
“Dulu Abdullah bin Umar memberikan zakat fitrah kepada yang menerimanya1. Dan dahulu mereka menunaikannya 1 atau 2 hari sebelum hari Id.” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitabuz Zakat Bab 77 no. 1511 Al-Fath, 3/375) Dalam riwayat Malik dari Nafi’:
أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَبْعَثُ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ إِلَى الَّذِي تُجْمَعُ عِنْدَهُ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمَيْنِ أَوْ ثَلاَثَةٍ
“Bahwasanya
Abdullah bin Umar menyerahkan zakat fitrahnya kepada petugas yang zakat
dikumpulkan kepadanya, 2 atau 3 hari sebelum Idul Fitri.” (Al-Muwaththa`,
Kitabuz Zakat Bab Waqtu Irsal Zakatil Fithri, 1/285. Lihat pula Al-Irwa` no.
846)
Sehingga tidak boleh mendahulukan lebih cepat daripada itu, walaupun ada juga yang berpendapat itu boleh. Pendapat pertama itulah yang benar, karena demikianlah praktek para shahabat.
Sehingga tidak boleh mendahulukan lebih cepat daripada itu, walaupun ada juga yang berpendapat itu boleh. Pendapat pertama itulah yang benar, karena demikianlah praktek para shahabat.
Bolehkan Mengeluarkan Zakat Fitrah Setelah Shalat
Id?
Hal ini telah dijelaskan oleh
hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berikut ini:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُوْلَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُوْلَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ
Dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma
ia mengatakan: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat
fitrah sebagai penyuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan
kata-kata kotor serta sebagai pemberian makanan bagi orang-orang miskin. Maka barangsiapa menunaikannya sebelum
shalat (Id) maka itu zakat yang diterima. Dan barangsiapa yang menunaikannya
setelah shalat, maka itu hanya sekedar sedekah dari sedekah-sedekah yang ada.”
(Hasan, HR. Abu Dawud Kitabuz Zakat Bab Zakatul Fithr, 17 no. 1609, Ibnu Majah,
2/395 Kitabuz Zakat Bab Shadaqah Fithri, 21 no. 1827, dihasankan Asy-Syaikh
Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud)
Ibnul Qayyim mengatakan: “Konsekuensi dari dua2 hadits tersebut adalah tidak boleh menunda penunaian zakat sampai setelah Shalat Id; dan bahwa kewajiban zakat itu gugur dengan selesainya shalat. Inilah pendapat yang benar karena tiada yang menentang dua hadits ini dan tidak ada pula yang menghapus serta tidak ada ijma’ yang menghalangi untuk berpendapat dengan kandungan 2 hadits itu. Dan dahulu guru kami (Ibnu Taimiyyah) menguatkan pendapat ini serta membelanya.” (Zadul Ma’ad, 2/21)
Atas dasar itu, maka jangan sampai zakat fitrah diserahkan ke tangan fakir setelah Shalat Id, kecuali bila si fakir mewakilkan kepada yang lain untuk menerimanya.
E. Sasaran Zakat Fitrah
Ibnul Qayyim mengatakan: “Konsekuensi dari dua2 hadits tersebut adalah tidak boleh menunda penunaian zakat sampai setelah Shalat Id; dan bahwa kewajiban zakat itu gugur dengan selesainya shalat. Inilah pendapat yang benar karena tiada yang menentang dua hadits ini dan tidak ada pula yang menghapus serta tidak ada ijma’ yang menghalangi untuk berpendapat dengan kandungan 2 hadits itu. Dan dahulu guru kami (Ibnu Taimiyyah) menguatkan pendapat ini serta membelanya.” (Zadul Ma’ad, 2/21)
Atas dasar itu, maka jangan sampai zakat fitrah diserahkan ke tangan fakir setelah Shalat Id, kecuali bila si fakir mewakilkan kepada yang lain untuk menerimanya.
E. Sasaran Zakat Fitrah
Yang
kami maksud di sini adalah mashraf atau sasaran penyaluran zakat.
Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam hal ini. Sebagian ulama mengatakan sasaran penyalurannya adalah orang fakir miskin secara khusus.
Sebagian lagi mengatakan, sasaran penyalurannya adalah sebagaimana zakat yang lain, yaitu 8 golongan sebagaimana tertera dalam surat At-Taubah 60. Ini merupakan pendapat Asy-Syafi’i, satu riwayat dari Ahmad, dan yang dipilih oleh Ibnu Qudamah (Al-Mughni, 4/314).
Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam hal ini. Sebagian ulama mengatakan sasaran penyalurannya adalah orang fakir miskin secara khusus.
Sebagian lagi mengatakan, sasaran penyalurannya adalah sebagaimana zakat yang lain, yaitu 8 golongan sebagaimana tertera dalam surat At-Taubah 60. Ini merupakan pendapat Asy-Syafi’i, satu riwayat dari Ahmad, dan yang dipilih oleh Ibnu Qudamah (Al-Mughni, 4/314).
Dari dua pendapat yang ada,
nampaknya yang kuat adalah pendapat yang pertama. Dengan dasar hadits
Nabi yang lalu:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً
لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً
لِلْمَسَاكِيْنِ
Dari Ibnu Abbas
ia mengatakan: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat
fitrah sebagai penyuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan
kata-kata kotor serta sebagai pemberian makanan bagi orang-orang miskin.”
Ini merupakan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syaukani dalam bukunya As-Sailul Jarrar3 dan di zaman ini Asy Syaikh Al-Albani, dan difatwakan Asy-Syaikh Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin, dan lain-lain.
Ini merupakan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syaukani dalam bukunya As-Sailul Jarrar3 dan di zaman ini Asy Syaikh Al-Albani, dan difatwakan Asy-Syaikh Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin, dan lain-lain.
Ibnul Qayyim mengatakan: “Di antara
petunjuk Rasullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam, zakat ini dikhususkan bagi orang-orang miskin dan tidak membagikannya
kepada 8 golongan. Nabi juga tidak pula memerintahkan untuk itu serta tidak
seorangpun dari kalangan shahabat yang melakukannya. Demikian pula orang-orang
yang setelah mereka.” (Zadul Ma’ad, 2/21, lihat pula Majmu’ Fatawa, 25/75,
Tamamul Minnah, hal. 387, As-Sailul Jarrar, 2/86, Fatawa Ramadhan, 2/936) Atas
dasar itu, tidak diperkenankan menyalurkan zakat fitrah untuk pembangunan
masjid, sekolah, atau sejenisnya. Demikian difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da`imah
(9/369).
Definisi Fakir
Para
ulama banyak membicarakan hal ini. Terlebih,
kata fakir ini sering bersanding dengan kata miskin, yang berarti masing-masing
punya pengertian tersendiri. Pembahasan masalah ini cukup panjang dan
membutuhkan pembahasan khusus. Namun di sini kami akan sebutkan secara ringkas
pendapat yang nampaknya lebih kuat:
Al-Qurthubi dalam Tafsir-nya (8/168) menjelaskan bahwa para ulama berbeda pendapat dalam hal perbedaan antara fakir dan miskin sampai 9 pendapat.
Di antaranya, bahwa fakir lebih membutuhkan daripada miskin. Ini adalah pendapat Asy-Syafi’i dan jumhur sebagaimana dalam Fathul Bari. (Dinukil dari Imdadul Qari, 1/236-237)
Al-Qurthubi dalam Tafsir-nya (8/168) menjelaskan bahwa para ulama berbeda pendapat dalam hal perbedaan antara fakir dan miskin sampai 9 pendapat.
Di antaranya, bahwa fakir lebih membutuhkan daripada miskin. Ini adalah pendapat Asy-Syafi’i dan jumhur sebagaimana dalam Fathul Bari. (Dinukil dari Imdadul Qari, 1/236-237)
Di
antara alasannya adalah karena Allah Subhanahu wa Ta'ala lebih dahulu menyebut
fakir daripada miskin dalam surat At-Taubah: 60.
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِيْنِ
وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا
“Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat…”
Tentu Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkan dari yang terpenting. Juga
dalam surat
Al-Kahfi: 79, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
أَمَّا السَّفِيْنَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِيْنَ يَعْمَلُوْنَ فِي الْبَحْر فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيْبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْبًا
“Adapun bahtera
itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan
merusak bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas
tiap-tiap bahtera…”
Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebut
mereka miskin padahal mereka memiliki kapal. Jadi baik fakir maupun miskin
sama-sama tidak punya kecukupan, walaupun fakir lebih kekurangan dari miskin.
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di menjelaskan dalam Tafsir-nya
(341): “Fakir adalah orang yang tidak punya apa-apa atau punya sedikit
kecukupan tapi kurang dari setengahnya. Sedangkan miskin adalah yang
mendapatkan setengah kecukupan atau lebih tapi tidak memadai.”
F. Berapakah yang Diberikan kepada Mereka ?
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di mengatakan (hal. 341): “Maka
mereka diberi seukuran yang membuat hilangnya kefakiran dan kemiskinan mereka.”
Maka diupayakan jangan sampai setiap orang miskin diberi kurang dari ukuran zakat fitrah itu sendiri.
Maka diupayakan jangan sampai setiap orang miskin diberi kurang dari ukuran zakat fitrah itu sendiri.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Pendapat yang paling lemah
adalah pendapat yang mengatakan wajib atas setiap muslim untuk membayarkan
zakat fitrahnya kepada 12, 18, 24, 32, atau 28 orang, atau semacam itu. Karena
ini menyelisihi apa yang dilakukan kaum muslimin dahulu di zaman Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, para khalifahnya, serta seluruh shahabatnya.
Tidak seorang muslimpun melakukan yang demikian di masa mereka. Bahkan dahulu
setiap muslim membayar fitrahnya sendiri dan fitrah keluarganya kepada satu
orang muslim.
Seandainya mereka melihat ada yang membagi satu sha’ untuk sekian belas
jiwa di mana setiap orang diberi satu genggam, tentu mereka mengingkari itu
dengan sekeras-kerasnya. Karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menentukan
kadar yang diperintahkan yaitu satu sha’ kurma, gandum, atau dari bur ½ atau 1
sha’, sesuai kadar yang cukup untuk satu orang miskin. Dan beliau jadikan ini
sebagai makanan mereka di hari raya, yang mereka tercukupi dengan itu. Jika satu orang hanya memperoleh satu
genggam, maka ia tidak mendapatkan manfaat dan tidak selaras dengan tujuannya.”
(Majmu’ Fatawa, 25/73-74)
G. Hikmah Zakat Fitrah
Dari Ibnu Abbas radhiallahu
'anhuma, iberkata:
فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِطُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ
“Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah sebagai penyuci bagi
orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata kotor serta
sebagai pemberian makanan untuk orang-orang miskin.” (Hasan, HR. Abu Dawud
Kitabul Zakat Bab. Zakatul Fitr: 17 no. 1609)
Merujuk Hadtis tersebut, bahwa mengeluarkan Zakat Fitrah merupakan
sebagai penyuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan
perkataan yang kotor serta sebagai pemberi makan untuk orang-orang miskin.
Bagaimana Hukum Mendirikan Semacam Badan Amil
Zakat
Telah diajukan sebuah
pertanyaan kepada Al-Lajnah Ad-Da`imah tentang sebuah organisasi yang bernama
Jum’iyyatul Bir di Jeddah, Saudi Arabia yang mengelola anak yatim dan bantuan
kepada keluarga yang membutuhkan, menerima zakat dan menyalurkannya kepada
orang-orang yang membutuhkan.
Al-Lajnah Ad-Da`imah menjawab:
“Organisasi tersebut wajib untuk menyalurkan zakat fitrah kepada orang-orang
yang berhak sebelum diselenggarakan Shalat Id, tidak boleh menundanya dari
waktu itu. Karena Nabi memerintahkan untuk disampaikan kepada orang-orang fakir
sebelum Shalat Id. Organisasi itu kedudukannya sebagai wakil dari muzakki
(pemberi zakat), dan organisasi tersebut tidak diperkenankan untuk menerima
zakat fitrah kecuali seukuran yang ia mampu untuk menyalurkannya kepada
orang-orang fakir sebelum Shalat Id. Dan tidak boleh pula membayar zakat fitrah
dalam bentuk uang karena dalil-dalil syar’i menunjukkan wajibnya mengeluarkan
zakat fitrah dalam bentuk makanan, juga tidak boleh berpaling dari dalil syar’i
kepada pendapat seseorang manusia.
Apabila muzakki membayarkan
kepada organisasi itu dalam bentuk uang untuk dibelikan makanan untuk
orang-orang fakir, maka itu wajib dilaksanakan sebelum Shalat Id dan tidak
boleh bagi organisasi itu untuk mengeluarkannya dalam bentuk uang.” (Fatawa
Al-Lajnah, 9/379, ditandatangani Asy-Syaikh Ibnu Baz, Asy-Syaikh Abdurrazzaq
Afifi, dan Asy-Syaikh Abdullah Ghudayyan. Lihat pula 9/389)
Akan tetapi pada asalnya zakat fitrah langsung diberikan oleh muzakki kepada yang berhak. (Fatawa Lajnah, 9/389)
Akan tetapi pada asalnya zakat fitrah langsung diberikan oleh muzakki kepada yang berhak. (Fatawa Lajnah, 9/389)
Bila ia memberikannya kepada Badan
Amil Zakat maka harus diperhatikan minimalnya dua hal:
1.
Mereka benar-benar orang yang mengetahui hukum sehingga tahu seluk-beluk
hukum zakat dan yang berhak menerimanya.
2.
Mereka adalah orang yang amanah, benar-benar menyampaikannya kepada yang
berhak, sesuai dengan aturan syar’i.
Hal ini kami tegaskan karena di masa ini banyak orang yang tidak tahu hukum, lebih-lebih tidak sedikit yang tidak amanah. Ada yang mengambilnya tanpa hak dan ada yang menyalurkannya tidak tepat sasaran. Justru zakat itu dikembangkan atau untuk kesejahteraan organisasi/partainya. Atau terkadang dia menundanya, yang berarti menunda pemberian kepada orang yang sangat membutuhkan, walaupun terkadang melegitimasi perbuatan mereka dengan alasan-alasan ‘syar’i’ yang dibuat-buat.
Hal ini kami tegaskan karena di masa ini banyak orang yang tidak tahu hukum, lebih-lebih tidak sedikit yang tidak amanah. Ada yang mengambilnya tanpa hak dan ada yang menyalurkannya tidak tepat sasaran. Justru zakat itu dikembangkan atau untuk kesejahteraan organisasi/partainya. Atau terkadang dia menundanya, yang berarti menunda pemberian kepada orang yang sangat membutuhkan, walaupun terkadang melegitimasi perbuatan mereka dengan alasan-alasan ‘syar’i’ yang dibuat-buat.
. Fatawa Al-Lajnah, 9/384,
ditandatangani oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz, Asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi,
Asy-Syaikh Abdullah Ghudayyan, dan Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud. Lihat Fatawa
Ramadhan, 2/943)
Penutup
Kesimpulan.
Dari uraian diatas, maka penulis
simpulkan bahwa :
Zakat itu sendiri dibagi 2
yaitu zakat fitrah dan zakat mal. sedangkan. Zakat fitrah atau
disebut juga dengan zakat jiwa yang artinya
adalah untuk menyucikan badan atau jiwa. Sebutan
yang lebih populer di kalangan para ulama
disebutِ Zakat Fitrah atau صَدَقَةُ الْفِطْر Shadaqah Fithri. Kata Fithri di sini kembali
kepada makna berbuka dari puasa Ramadhan, karena kewajiban tersebut ada setelah selesai
menunaikan puasa bulan Ramadhan.merupakan kewajiaban setiap muslim baik
anak-anak maupun dewasa laki-laki dan perempuan yang ditunaikan di bulan
romadhon sebelum sholat Idul Fitri.
Bagi orang muslim zakat adalah
kewajiban pribadi (fardlu ain) dan termasuk
rukun islam yang ke 4. dan perintah Membayar zakat ini dimulai pada tahun ke 2
Hijriah. Dengan kata lain membayar Zakat Fitrah merupakan kewajiban bagi
setiap muslim baik kaya atau miskin, laki-laki dan perempuan, tua dan muda,
merdeka atau hamba untuk mengeluarkan sebagian dari makanan pokok menurut
syari’at agama islam setelah mengerjakan puasa bulan Ramadhan pada setiap tahun
Adapun Hikmah mengeluarkan
Zakat Fitrah merupakan sebagai penyuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan
yang sia-sia dan perkataan yang kotor serta sebagai pemberi makan untuk
orang-orang miskin.
Daftar Pustaka
Al Faridy, Hasan Rifa'i, 1996, Panduan Zakat
Praktis, Dompet Dhuafa Republika
Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an
dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah),
As-Suyuti,Jalal Ad-din Abd Rahman, Al Hawi La Al Fatawa, Juz 1&II,
Beirut Darul Kutub Al Illamiyah,1983.
Ebook, Sahih Al Bukhari, Kairo, Natata
Sofware,2002.
Ebook,Sahih Muslim, Kairo, Natata Sofware,2002.
Fatawa Al-Lajnah, 9/384, ditandatangani oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz,
Asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi, Asy-Syaikh Abdullah Ghudayyan, dan Asy-Syaikh
Abdullah bin Qu’ud. Lihat Fatawa Ramadhan, 2/943)
Kitab Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al ‘Asqolani syarah Kitab Shahih Al
Bukhari yang disebarluaskan melalui intenet oleh kampungsunnah.wordpress.com
Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, Fatawa
Arkaanil Islam atau Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji, terj. Munirul Abidin,
M.Ag. (Darul Falah 1426 H.),
Muhammad bin
Shaleh Al-Utsaimin, Fatawa Arkaanil Islam atau Tuntunan Tanya
Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji, terj. Munirul Abidin, M.Ag.
(Darul Falah 1426 H.),
Munawir, Ahmad
Warson,1998, Kamus Al Munawir, Pustaka Progresif
[1] Muhammad
bin Shaleh Al-Utsaimin, Fatawa Arkaanil Islam atau Tuntunan Tanya
Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji, terj. Munirul Abidin, M.Ag.
(Darul Falah 1426 H.), hlm. 57
[2] Munawir,
Ahmad Warson,1998, Kamus Al Munawir, Pustaka Progresif, Hal. 365.
[3] Al Faridy, Hasan Rifa'i, 1996,Panduan
Zakat Praktis, Dompet Dhuafa Republika, Hal.96
[4] Kitab Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al
‘Asqolani syarah Kitab Shahih Al Bukhari yang disebarluaskan melalui intenet oleh
kampungsunnah.wordpress.com, hlm.367.
[5] Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, hlm,76.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar