MADRASAH
DAN TRANSMISI ILMU PENGETAHUAN
DALAM
PERADABAN ISLAM
A.
Pendahuluan
Pendidikan adalah tonggak kemajuan sebuah peradaban, sebuah bangsa akan
menjadi kuat jika pendidikannya dikelola dengan baik. Begitu juga sebaliknya,
kemunduran atau keruntuhan sebuah bangsa akan dimulai jika manajemen pendidikan
pada bangsa itu tidak baik. Satu contoh, berkembangnya peradaban Eropa,
disebabkan karena tingginya kualitas ilmu pengetahuan yang didasari pada
pendidikan yang berkualitas pula.[1] Kemunduran
peradaban Islam era Daulah Abbasiyah di Baghdad, salah satu sebabnya adalah
hancurnya pusat-pusat pendidikan yang menopang berkembangnya ilmu pengetahuan.[2]
Menilik seluk beluk pendidikan, akan membuka wacana kepada sistem dan
institusi pendidikan itu sendiri. Islam, sebagai sebuah peradaban, memiliki kualitas
peradaban yang jauh lebih dahulu maju dibandingkan dengan peradaban Barat
(Eropa). Dalam sejarahnya, peradaban Islam memiliki sistem pendidikan yang akomodatif
serta mampu menjadi inspirasi kemajuan berbagai peradaban lain.[3]
Pendidikan Islam, seiring dinamikanya, memiliki berbagai bentuk institusi
yang selalu berkembang dari satu waktu dan tempat serta karakteristiknya, ke
waktu dan kondisi yang berbeda. Dan salah satu institusi pendidikan Islam yang
ada serta masih berkembang eksistensinya adalah ‘madrasah’. Sebuah institusi
pendidikan Islam mencakup kepada tempat, pola dan manajemen.
Apa itu madrasah, bagaimana cikal bakal serta perkembangannya, juga
urgensi dan peran madrasah dalam transmisi ilmu pengetahuan akan menjadi topic
bahasan dalam makalah ini, tidak lupa penulis mencoba memberikan analisis dan
kritik sederhana terhadapnya.
B.
Pembahasan
1.
Definisi
Madrasah artinya
tempat belajar, merupakan bentuk ism makan (keterangan tempat) dalam
ilmu shorf.[4] Madrasah
berasal dari kata dalam bahasa Arab da-ra-sa yang artinya belajar, mempelajari.
Madrasah adalah
tempat pendidikan, sekolah atau perguruan[5]
yang berbentuk bangunan sebagai tempat proses belajar-mengajar secara formal
dan klasikal.[6]
Awalnya, madrasah adalah tempat belajar mangajar ilmu fiqh, sehingga
dalam perkembangannya, istilah mazhab dalam fiqh Islam, sering disebut dengan madrasah,
contohnya adalah Mazhab Hanafi disebut dengan Madrasah Hanafiyah. Dan begitu
juga dengan mazhab-mazhab fiqh yang lain.[7]
Kata transmisi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan pengiriman
(penerusan), penularan, penyebaran.[8]
Transmisi adalah bentuk kata benda dari sebuah proses pemindahan atau
penyebaran sesuatu dari satu tempat ke tempat yang lain. Dengan proses
pemindahan ini, sesuatu yang berpindah tersebut bersifat dinamis dan aktif.
Peradaban berasal dari akar kata madana lahir kata benda tamaddun
yang secara literal berarti peradaban (civilization) yang berarti juga kota berlandaskan kebudayaan (city base culture)
atau kebudayaan kota
(culture of the city). Di kalangan penulis Arab, perkataan tamaddun
digunakan untuk pertama kalinya oleh Jurji Zaydan dalam sebuah judul buku Tarikh
at-Tamaadun al-Islami (Sejarah Peradaban Islam), terbit 1902-1906. Sejak
itu perkataan Tamaddun digunakan secara luas dikalangan umat Islam. Di
dunia Melayu tamaddun digunakan untuk pengertian peradaban. Di Iran
orang dengan sedikit berbeda menggunakan istilah tamaddon dan madaniyat.
Namun di Turkey orang dengan menggunakan akar madinah atau madana
atau madaniyyah menggunakan istilah medeniyet dan medeniyeti.
Orang-orang Arab sendiri pada masa sekarang ini menggunakan kata hadharah
untuk peradaban, namun kata tersebut tidak banyak diterima ummat Islam non-Arab
yang kebanyakan lebih menyukai istilah tamaddun. Di anak benua
Indo-Pakistan tamaddun digunakan hanya untuk pengertian kultur,
sedangkan peradaban menggunakan istilah tahdhib.[9]
Dari paparan definisi di atas, dapat dijelaskan bahwa judul makalah MADRASAH
DAN TRANSMISI ILMU PENGETAHUAN DALAM PERADABAN ISLAM bermaksud membahas
tentang madrasah sebagai pusat penyebaran ilmu pengetahuan ke berbagai penjuru
arah dan tempat, serta beberapa elemen dan latar belakang yang mendasarinya
atau urgensi beserta seberapa besar peran madrasah dalam transmisi tersebut.
2.
Institusi Pendidikan dalam
Peradaban Islam
Dalam sejarahnya, institusi pendidikan Islam mengalami berbagai dinamika
pertumbuhan dan perkembangan serta kemunduran. Berbagai pola dan tipe muncul
dan berubah seiring perkembangan pemikiran. Madrasah merupakan tonggak
bersejarah bagi berkembangnya institusi pendidikan formal di dunia Islam.
Institusi pendidikan di dunia Islam terbagi ke dalam dua kategori, yakni lembaga
pendidikan yang muncul sebelum munculnya madrasah (pra-madrasah) dan lembaga
madrasah itu sendiri.[10] Tipe yang pertama, yakni periode
pra-madrasah, lembaga pendidikan Islam yang ada antara lain berupa
majlis-majlis ilmu, masjid, jami’, halaqah, maktab, kuttab, lembaga-lembaga
sufi seperti zawiyah, ribat, dan khan. Tempat-tempat tersebut merupakan lembaga
pendidikan yang tidak memasukkan ilmu-ilmu umum (foreign sciences) dalam
kajiannya. Sedangkan lembaga pendidikan yang memasukkan ilmu-ilmu umum terdiri
dari perpustakaan dan rumah sakit.[11]
Kategori Pra-Madrasah
Bangunan (rumah) adalah elemen pokok
infrastruktur dalam sistem pendidikan Islam, maka menelusuri jejak madrasah
tentunya harus memulai dari konsep dan praktek pendidikan pada masa awal Islam
yaitu masa Rasulullah SAW mulai menanamkan cikal bakal atau benih pola
pendidikan. Sejak Rasulullah SAW, mendapat wahyu dari Allah SWT, yaitu ayat-ayat
al-Qur'an dan penafsirannya, saat itulah dimulai proses pendidikan dalam Islam.
Hal ini kemudian Nabi Muhammad SAW mendapat tugas, untuk menyampaikan
risalahNya disetiap kesempatan. Dengan memakai istilah yang sesuai dengan tema
makalah, meski belum memakai istilah ‘madrasah’, maka disaat inilah proses transmisi
ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam dimulai.
Ada beberapa tahapan dalam proses
transmisi ilmu pengetahuan di masa Rasulullah SAW, diantaranya :[12]
a.
Pendidikan perorangan yang dilakukan secara rahasia.
b.
Seruan atau ajakan kepada Bani Abdul Muthalib ke dalam Islam.
c.
Seruan dan ajakan ke masyarakat luas.
Pada periode ini, Rasulullah SAW menggunakan
Darul Arqam (rumah kediaman sahabat, al-Arqam bin Abi Al-Arqam r.a.) sebagai
tempat (wadah) proses transmisi ilmu pengetahuan kepada para sahabatnya.
Praktek belajar-mengajar yang dilakukan ketika itu, betul-betul sudah
terorganisir dengan rapi, sesuai dengan target yang hendak dicapai terhadap peserta
didik. Jadi bukan hanya sekadar pemahaman, hafalan, dan pelaksanaan, tetapi
lebih dari itu untuk melahirkan kader-kader Islam. Tidak berlebihan jika
dikatakan bahwa Darul Arqam saat itu merupakan ‘lembaga pendidikan Islam’ (madrasah)[13]
pertama yang diselenggarakan dalam peradaban Islam.[14]
Proses belajar-mengajar kemudian diteruskan
ke beberapa tempat baru selain Darul Arqam. Perkembangan ini terjadi di masa
Rasulullah dan masa Khulafa’ ar-Rasyidun. Adapun beberapa tempat tersebut
adalah :
a.
Masjid
Secara
bahasa, masjid artinya ‘tempat sujud’, sebuah tempat dimana umat Islam
menjalankan ritual ibadah salat berjamaah. Namun kemudian, fungsi masjid
bertambah, tidak hanya sebagai tempat salat saja, ia sebagai sarana untuk
proses pengajaran bidang lain seperti latihan militer, diplomasi, musyawarah, dan lainnya.[15]
Masjid Nabawi adalah salah satu tempat paling bersejarah dalam proses transmisi
tersebut.[16]
b.
Kuttab
Kuttab berasal dari kata dasar ka-ta-ba
yang berarti menulis. Tapi secara istilah, berarti tempat untuk belajar menulis
dan membaca pada tingkat dasar. Kuttab terbagi menjadi dua macam, yaitu kuttab
sebagai tempat khusus belajar membaca dan menulis, serta kuttab yang khusus
mempelajari al-Qur’an dan pokok-pokok agama Islam.[17]
Sampai pada abad ke-2 H, lembaga kuttab
ini semakin banyak didirikan oleh kaum Muslimin atas prakarsa mereka
sendiri, dalam arti lepas dari campur tangan pemerintah. Di masa ini pula kuttab
tersebar merata di setiap negeri, sehingga karakteristik kuttab sebagai
lembaga pendidikan yang terbuka sangat menonjol, dalam arti siapa saja bisa
memanfaatkannya sebagai sarana untuk menimba ilmu pengetahuan Islam.
c.
Rumah Ulama
Istilah
rumah ulama bermula ketika Abdullah bin Ummu Maktum yang berhijrah ke Madinah,
dan menjadikan rumahnya sebagai darul qurra’.[18]
Rumah ini kemudian dijadikan pusat pembelajaran al-Qur’an dan lebih khusus lagi
Tahfizh Al-Qur’an. [19]
d.
Halaqah ad-Dars
Halaqah al-dars (biasa disebut halaqah saja)
atau "lingkaran belajar", disebut lingkaran karena orang yang ikut
belajar mendengarkan penjelasan dengan cara duduk melingkar. Sang guru duduk
membelakangi tembok atau tiang, dan para pelajar duduk dengan membentuk
lingkaran di depan guru.[20]
Halaqah ini adalah bentuk paling sederhana dalam system pendidikan Islam saat
itu dan termasuk lembaga pendidikan Islam yang cukup dikenal sebelum lahirnya madrasah.
Sebagian ahli bahkan mengatakan; bahwa halaqah masih ada dan dilangsungkan
meskipun Madrasah. telah bermunculan di dunia Islam. Malah ada yang
mengatakan bahwa Halaqah al-dars juga sering dilangsungkan di Madrasah.
e.
Al-Badiyah (Daerah Pedalaman)
Pada
tahapan ini, banyak dari para pelajar yang sangat peduli akan orisinalitas
kebahasaan mereka, dan memutuskan unutk pergi belajar bahasa ke ba’diyah
(suku pedalaman/badui) bahkan banyak yang sampai menetap disana beberapa waktu
demi pendalaman bahasa mereka yaitu pendalaman bahasa Arab murni.[21]
Proses ini dimulai pada masa khalafah Bani Umayyah, Mu’awiyah mengirim
putranya, Yazid ke wilayah badiyah tersebut.
f.
Maktabah (Perpustakaan)
Perpustakaan
merupakan tempat dimana terdapat kumpulan-kumpulan atau koleksi buku yang dapat
dibaca bahkan dipinjam. Perpustakaan berkembang luas pada masa Abbasiyyah, baik
perpustakaan umum maupun perpustakaan pribadi. Faktor-faktor yang menyebabkan
perkembangan itu antara lain ialah meluasnya penggunaan kertas untuk menyalin
kitab-kitab, bermunculnya para penyalin kitab, dan berkembangnya halaqoh para
sastarawan dan ulama. Disamping itu, penghargaan terhadap ilmu mendorong kaum
muslimin untuk membeli kitab-kitab dari berbagai negeri.
Beberapa
perpustakaan umum yang terkenal ialah perpustakaan Baitul Hikmah di Bagdad
yang didirikan oleh Khalifah Harun al-Rasyid dan berkembang pesat pada masa
Khalifah al-Makmun. Pada
dasarnya, Baitul Hikmah di atas berfungsi sebagai perpustakaan (daur al-kutub},
yang tampaknya juga aktif di sana
para guru, para ilmuwan, di samping aktivitas penerjemahan, penulisan naskah,
dan penjilidannya. Kemudian perpustakaan Baitul Hikmah di Ruqadah, Afrika Utara yang didirikan
oleh Ibrahim II dari Dinasti Aghlabi, seorang amir yang sangat cinta kepada
ilmu dan pendiri kota
Raqadah pada tahun 264H/878H. Perpustakaan Darul Hikmah Kairo yang didirikan
oleh al-Hikmah bin Amrillah pada tahun 395H.[22]
Disamping
perpustakaan umum terdapat pula perpustakaan khusus yang didirikan oleh para
Amir di istana dan ulama dirumah mereka. Jumlah perpustakaan pribadi ini tidak
terhitung. Semua ini menunjukkan bahwa kaum muslimin menaruh perhatian yang
besar terhadap ilmu.
g.
Salon Satra
Salon
sastra adalah suatu majlis khusus yang diadakan oleh khalifah untuk
membahas berbagai macam ilmu pengetahuan. Majlis ini bermula sejak zaman
Khulafaurrasyidin yang biasanya memberikan fatwa dan musyawarah serta diskusi
dengan para sahabat untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi pada masa
itu. Dalam majlis sastra tersebut bukan hanya dibahas dan didiskusikan
masalah-masalah kesusasteraan saja melainkan berbagai macam ilmu pengatahuan
dan berbagai kesenian. Biasanya, hanya khalifah saja yang dapat membuka diskusi
atau tukar fikiran dalam salon tersebut.[23]
h.
Qusur (Pendidikan Rendah di
Istana)
Pendidikan
dikenalkan pada anak-anak di lingkungan Istana, dimana metode pendidikan dasar
ini dirancang oleh orang tua murid (para Khalifah dan Pejabat) agar selaras
dengan tujuannya dan sesuai dengan minat dan kemampuan anaknya, metode
pembelajarannya pada garis besarnya sama dengan metode yang diterapkan pada
anak-anak lain di kuttab-kuttab, hanya saja terkadang ditambah atau dikurangi
menurut para pembesar yang bersangkutan dan sesuai dengan keinginan untuk
menyiapkan anak mereka secara khusus untuk tanggungjawab yang akan dihadapinya
dalam kehidupan yang akan datang. Para
pengajarnya (mu’addib) diberi tempat tinggal di Istana.[24]
Beberapa
lembaga pendidikan pra-madrasah yang bercorak sufi juga sudah muncul pada awal Islam,
seperti :
a.
Khan
Khan
berfungsi sebagai penyimpanan barang-barang dalam jumlah besar atau sebagai
sarana komersial yang memiliki banyak toko. Awalnya, Khan dibangun untuk
keperluan tempat menginap para pedagang yang berniaga dan singgah di satu kota.[25]
Seperti Khan al-Narsi yang berlokasi di Alun-alun Karkh di Bagdad, selain itu
khan juga berfungsi sebagai sarana untuk murid-murid dari luar kota yang hendak belajar
hukum Islam di suatu majlis. Pada masa berkembangnya, khan lebih sering dibangun
dengan menempel pada bangunan masjid.
b.
Ribath
Ribath
artinya benteng, ia adalah tempat kegiatan kaum sufi yang ingin menjauhkan diri
dari kehidupan duniawi dan mengkonsentrasikan diri untuk ibadah semata-mata.
Ribath biasanya dihuni oleh sejumlah orang-orang miskin. Mereka bersama-sama
melakukan praktik-praktik sufistik. Disamping melakukan praktek sufistik,
mereka juga memberi perhatian kepada kegiatan keilmuwan. Pada umunya ribath
dibangun untuk sufi laki-laki, tetapi ada juga ribath yang dibangun untuk sufi
wanita dimana mereka bertempat tinggal, beribadah dan mengajarkan pelajaran
agama di dalamnya.
Faktor
munculnya lembaga pendidikan non formal sebelum periode madrasah. Pendidikan Islam
dalam sejarah tercatat terbagi menjadi beberapa periode: yaitu salah satunya
adalah pada periode sebelum madrasah. Tercatat banyak sekali berdiri berbagai
macam lembaga-lembaga pendidikan pada saat itu. Beberapa faktor yang mendorong
munculnya lembaga-lembaga tersebut adalah antara lain:
Pertama,
terdorong oleh motivasi-motivasi untuk mengembangkan keilmuan. Kaum muslimin
pada masa awal membutuhkan pemahaman al-Qur’an sebagai apa adanya, begitu juga
butuh keterampilan membaca dan menulis, Ibnu Khaldun mencatat bahwa pada awal
kedatangan Islam orang-orang Quraisy yang pandai membaca dan menulis hanya
berjumlah 17 orang, semuanya laki-laki.
Kedua,
terdorong berkembangnya kebutuhan pada masa awal Islam untuk mendakwahkan Islam,
karena itu sasaran pun pada mulanya ditujukan untuk orang-orang dewasa. Menjadi
semakin meluas tingkatan usianya, sehingga sampai pada usia anak-anak.
c.
Khawaniq
Khawaniq adalah rumah yang dibangun
dan disiapkan untuk para sufi memperdalam ilmu dan sebagai tempat latihan ritual
sufi. Istilah ini muncul pada abad ke 4 H, yang sudah diawali istilah ini pada
tradisi Nasrani dan Yahudi.[26]
Transmisi
ilmu pengetahuan pada masa pra-madrasah sudah menemui beberapa perkembangan keilmuannya.
Hal ini terlihat dengan munculnya beberapa ulama (ahlul ‘ilmi) yang sudah
tercatat dan menyebarkan keilmuannya. Terlebih lagi setelah dibangun beberapa
perpustakaan sebelum munculnya istilah madrasah pada abad ke-4 H.[27]
Selain (perpustakaan) Baitul Hikmah
di Baghdad, ada Baitul Hikmah yang terkenal yaitu Baitul Hikmah yang terdapat
di Qairawan. Disebutkan bahwa Baitul Hikmah ini didirikan oleh Ziadatullah III
al-Aghlabi (290-296 H), gubernur Dinasti Abbasiyah yang berkedudukan di Afrika
Utara. Di lembaga Baitul Hikmah di Qairawan ini terdapat perpustakaan dan
tempat dilakukannya aktivitas penterjemahan, karang mengarang, tempat
pengajaran ilmu kedokteran, apoteker, matematika, astronomi, ilmu ukur, ilmu
tumbuh-tumbuhan, musik, dan lain sebagainya.[28]
Kategori Madrasah
Seiring perkembangan
lembaga-lembaga pendidikan dalam Islam, sebagaimana telah dijelaskan di atas, madrasah
adalah hasil dinamika perkembangan masjid sebagai lembaga pendidikan.
Sebelum berpindahnya lembaga pendidikan Islam dari masjid ke Madrasah,
sebenarnya masjid sendiri secara fisik telah mengalami berbagai perubahan
fungsi. Madrasah merupakan perkembangan berikutnya dari masjid dan
masjid yang berasrama (masjid khan}, di
mana fiqih merupakan bidang studi utamanya. Ini sesuai dengan pandangannya
bahwa Madrasah adalah lembaga pendidikan hukum (college of law).
Selain itu, tempat-tempat yang disediakan oleh penguasa waktu itu (waqf)
juga dipergunakan untuk bangunan-bangunan sebagai tempat kegiatan belajar
mengajar. Perlu diketahui, bahwa para penguasa muslim secara umum menaruh
perhatian pada kemajuan ilmu dan pendidikan dengan mengalokasikan banyak dana
untuk itu.
Para ahli sejarah berbeda pendapat
tentang awal munculnya Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam seperti
yang dikenal sekarang. Hasan Ibrahim Hasan berpendapat bahwa: Madrasah belum
berdiri sebelum abad 4 hijriyah (sebelum 10 Masehi).[29] Madrasah pertama adalah Al-Baihaqiyah di Naisapur. Al-Maqrizy juga
mengemukakan hal yang sama, bahwa Madrasah yang mula-mula berdiri adalah
Al-Baihaqiyah di Nishapur, Khurasan, Persia, oleh Abu Hasan Ali al-Baihaqi yang
wafat pada 414 H.[30]
Pada tahun 859 M,[31]
secara kelembagaan, telah ada madrasah yang didirikan oleh Fatimah Al-Fihri,
puteri dari seorang saudagar bernama Muhammad Al-Fihri, di Fez, Maroko, yang saat
ini diberi nama Jami’at Al-Qarawiyyin.[32]
Sebagaimana, tradisi pendidikan Islam saat itu, Jami’ah Al-Qarawiyyin
(Universitas Al-Qarawiyin) juga berada di dalam komplek masjid Al-Qarawiyun.
Model ini kemudian dikembangkan oleh Jami’ah Al-Azhar di Mesir 970 M, Jami’ah
Nizamiyah di Baghdad 1091, dan Jami’ah Al-Mustansyiriyah di Baghdad 1233 M.
Namun, yang masih bertahan hingga saat ini hanya Jami’ah al-Azhar. Ilmu yang
dipelajari meliputi Al-Qur’an, akidah, fiqih (hukum Islam), bahasa, sastra, dan
etika Islam (akhlak).
Namun
dalam perkembangannya, madrasah Nizamiyah menjadi sangat terkenal dan menjadi
inspirasi bagi perkembangan pendidikan Islam sampai saat ini. Madrasah Nizamiyah adalah lembaga pendidikan
Islam yang pertama mengembangkan sistem pendidikan modern, tercakup di dalamya
elemen-elemen pendidikan secara holistik. Nizamiyah memadukan beberapa elemen yang ada menjadi sebuah institusi
pendidikan yang ‘sempurna’ dengan pengelolaan baru. Hal ini menjadi momentum
perubahan tersendiri dalam perkembangan pendidikan Islam. Dalam pengelolaannya,
madrasah memiliki beberapa elemen yang masuk di dalamnya, yaitu :[33]
1.
Mudarris (pengajar)
2.
Mu’id (asisten/wakil pengajar)
3.
Imam (Imam Salat)
4.
Qari’ (pembaca al-Qur’an)
5.
Mu’adzdzin (petugas adzan)
6.
Nazhir (pemberi wakaf tanah)
7.
Khadam (pengelola)
8.
Muwazhzhif (pustakawan)
9.
Thalib (pelajar)
10.
Maktabah (perpustakaan)
11.
Masakin Al-Tholabah (asrama siswa)
Dunia pendidikan Islam yang tampak menjulang hanya pendidikan tingginya,
dengan berbagai universitas yang lahir dan mewarnai peradaban, sedangkan
pendidikan dasar dan menengah tidak begitu menonjol. Universitas-universitas
yang lahir dari peradaban Islam merupakan pengembangan dari sistem pendidikan
yang lebih rendah, seperti maktab dan madrasah.
3.
Transmisi
Ilmu Pengetahuan dalam
Peradaban Islam
Peradaban Islam mengalami dinamika yang panjang dalam sejarahnya, mulai
kemunculan, pertumbuhan, masa kegemilangan dan keruntuhannya. Semua dinamika
ini selalu bertumpu kepada aspek pendidikan (ilmu pengetahuan) sebagai tolok ukur. Golden
Age, yang tercatat dalam sejarah terjadi pada masa khilafah Abbasiyah pertama,
merupakan era perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan peradaban Islam.
Transmisi ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam bermula sejak Islam
muncul, tumbuh dan berkembang hingga saat ini. Di awal kehadiran Islam, di masa
Rasulullah SAW dan khulafaur rasyidun, belum terlihat perkembangan yang pesat
pada bidang ilmu pengetahuan. Transmisi yang ada bersifat pengembangan aspek
keyakinan terhadap Allah SWT (tauhid). Hal ini disebabkan belum terjadi
persentuhan yang kuat dengan peradaban besar lain yang sudah berkembang sebelum
Islam hadir di Mekkah.
Ada
beberapa hal yang perlu dibahas dalam tema transmisi ini, yaitu dari mana dasar
ilmu pengetahuan yang masuk atau yang mempengaruhi ilmu pengetahuan dalam
peradaban Islam, adakah pengaruh dari peradaban luar dan faktor apa yang mempengaruhi
proses tersebut. Tentunya, ada beberapa persentuhan dan saling mengisi dengan
peradaban lain dalam proses transmisi ini.
Awal dari semua
proses transmisi ilmu pengetahuan dimulai dari kebudayaan Yunani. Kemudian berbaur
dengan beberapa peradaban lain seperti Hindu,
Persia, Syirian
(Nestorian) dan Aleksandrian (Mesir).[34] Ini
terlihat dari sejak dinasti Umayyah yang membiarkan ilmu pengetahuan yang
berasal dari dunia Helenistik tumbuh subur di Syiria, sekolah-sekolah Kristen
dan Persian
berkembang di Aleksandria.[35] Namun konsentrasi khilafah Bani Umayyah nampaknya tidak tertuju
ke pengembangan transmisi ilmu, tetapi lebih cenderung hanyut kepada masalah
ekspansi serta penaklukan wilayah untuk dikuasai. Meskipun terlihat membiarkan
perkembangan sekolah-sekolah Kristen dan Syiria, khalifah Bani Umayyah, beberapa
waktu tercatat pernah menghanguskan karya-karya mereka. Hal ini terinspirasi
dari kisah ketika Amr bin Ash menaklukan Mesir dan terkagum dengan perpustakaan
besar di Aleksandria.[36] Setelah
meminta nasehat dari khalifah Umar bin Khattab, maka buku-buku yang ada di
perpustakaan tersebut dibawa ke pemandian Aleksandria dan akhirnya dimusnahkan.
Kisah seperti ini terulang ketika Ibnu Waqqas menemukan perpustakaan dengan buku-buku yang
banyak di Persia.
Beberapa faktor yang disinyalir menjadi sebab terjadinya transmisi ilmu
ke dalam peradaban Islam, antara lain :[37]
1.
Pemisahan beberapa institusi dalam
Kristen Ortodoks dengan Gereja Induk (Mother Church) karena alas an
perbedaan doktrinal. Ini menyebabkan sekte Nestorian dan Monophysite dikucilkan
dan akhirnya diusir dari wilayah kekaisaran Romawi. Ketika Islam menaklukkan
Romawi, sekte-sekte ini mendapat perlindungan dari orang-orang Islam.
2.
Penaklukan Aleksander Agung serta
penyebaran ilmu pengetahuan ke Persia
dan India.
3.
Akademi Jundi-Shapur kekaisaran Persia yang mengembangkan kurikulum studi yang
disusun oleh kalangan Universitas Aleksandria, sehingga terjadi penerjemahan
besar ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani ke bahasa Persia.
4.
Karya penerjemahan Yahudi, para kaum
terpelajar Yahudi menerjemahkan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Heberew dan
Arab.
Yang paling berpengaruh dan konsisten terhadap transmisi ini adalah
Akademi Jundi-Shapur, sebuah sekolah yang dibangun di kekaisaran Persia,
Raja Anushirwan yang Adil. Selain Jundi-Shapur, ada sebuah kota yang menjadi pusat keilmuan khususnya
kedokteran dan filsafat, yaitu Nishapur.[38] Tidak
heran jika dijelaskan di atas bahwa salah satu madrasah awal yang dibangun
dalam peradaban Islam adalah madrasah Nishapur.
Pertemuan Islam dan peradaban lain ini merupakan awal mula terbukanya
proses transmisi ilmu pengetahuan secara besar yang membuat peradaban Islam
dikenal di peradaban Barat. Proses selanjutnya adalah proses adaptatif Islam
terhadap karya-karya Yunani dan Persia.
Beberapa madrasah kemudian didirikan, sesuai dengan penjelasan di atas. Dari
madrasah inilah dimulai beberapa hal yaitu penataan kembali sistem pendidikan
Islam, perbaikan sarana pendidikan, salah satunya dengan membangun gedung dan melengkapi
buku-buku perpustakaan. Kemudian yang paling pokok dalam proses transmisi ini
adalah penerjemahan karya-karya peradaban Yunani,
Persia, Mesir
ke dalam bahasa Arab.
Baitul Hikmah di masa khalifah Ma’mun dan Harun Ar-Rasyid menjadi sarana
terbesar dalam fase penerjemahan ini, sebelumnya sudah dilakukan penerjemahan
tetapi tidak seperti di zaman kedua khalifah ini. Usaha ini tidak semulus yang
dibayangkan, karena mendapat tentangan dari kelompok yang dinamakan kelompok Syu’ubiyah.
Sebuah kelompok yang terdiri dari orang-orang
Yahudi, Yunani, Mesir dan Spanyol, yang melakukan oposisi terhadap khilafah
atas proses penerjemahan ini disebabkan anggapan mereka bahwa Islam memiliki
hutang-budi kepada peradaban Persia
dengan adanya penerjemahan.
Beberapa penerjemah Persia
yang terkenal dan produktif antara lain :
1.
George Bakh-Tishu, putra Bakh-Thisu, dokter
istana khilafah Abbasiyah.
2.
Zakariya Yuhanna Ibn Musa, dokter di
rumah sakit Jundi-Shapur.
3.
Rabban at-Tabari atau Sahl at-Tabari
4.
Ibnul Muqaffa
5.
Muhammad al-Fazari
6.
Hunayn ibn Ishaq[39]
7.
Ishaq ibn Hunayn
8.
Dan lain-lain.
Tidak semua penerjemah yang ada pada masa itu beragama Islam, George
Bakh-Tishu dan Hunayn ibn Ishaq adalah pemeluk sekte Nestorian (Ibadi) dan
tidak memeluk Islam meskipun berkecimpung dan berjasa besar dalam perkembangan
proses transmisi yang ada. Kecintaan terhadap ilmu pengetahuan menjadi dasar
mereka melakukan hal-hal yang difasilitasi oleh penguasa muslim. Masa ini juga
yang disebut beberapa sejarawan sebagai masa relasi damai antara Islam dan
Kristen.
Penyebaran ilmu pengetahuan selanjutnya berkembang kepada dua sisi, pertama
ke dalam peradaban Islam sendiri (Timur) dan kedua ke peradaban Eropa (Barat).
Transmisi ke peradaban Islam beriring dengan perluasan ke beberapa wilayah di Maghribi
Afrika Utara.
Dinamika pendidikan Islam di Maghribi, terlihat hampir sama dengan apa yang
terjadi di wilayah Arab pada awal Islam. Dimulai dengan masjid, kuttab dan
akhirnya berdiri madrasah. Lembaga Madrasah yang pertama berdiri adalah
madrasah al-Khulafa’iyin, atau dikenal dengan nama madrasah Ash-Shafarin,
dibangun oleh Banu Murin pada tahun 680 H.[40]
Kemudian disusul dengan madrasah-madrasah yang lain.
Perluasan kekuasaan Islam ke wilayah Afrika Utara
membawa dampak yang besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan
perkembangan peradaban secara umum. Dinasti Fatimiyah yang bermazhab Syi’ah
memulai kekuasaannya dari wilalyah ini, dan kemudian mengembangkan kekuasaannya
ke Kairo dengan perhatian besar terhadap ilmu pengetahuan diaplikasikan dengan
mendirikan beberapa madrasah dan tercatat sebagai madrasah terbesar pada saat
itu adalah Al-Azhar. Wilayah lain di Afrika Utara tidak luput dari transmisi
ilmu, Maroko dan Tunisia merupakan
kota besar sebagai
pusat penngetahuan, begitu juga dengan Mali
di Timbuktu.[41]
Tingginya ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam menjadi insirasi
tersendiri bagi peradaban Barat (Eropa), sehingga mereka melakukan hal yang
sama dengan apa yang dilakukan oleh peradaban Islam dalam pengembangan ilmu
pengetahuan. Ada
dua metode yang dikenal dalam proses transmisi ilmu pengetahuan ke Barat, yaitu
melalui peperangan (Perang Salib) dan melalui jalur pendidikan.
Perang Salib yang berlangsung beberapa abad, telah membuat elemen-elemen pendidikan
Islam tidak berfungsi, mulai dari masjid, madrasah, perpustakaan dan banyak
bangunan lain. Namun
sesungguhnya dari sinilah proses transmisi ilmu pengetahuan peradaban Islam menyebar
ke peradaban Barat. Banyak literatur yang dimusnahkan, tetapi setelah mereka
mengetahui akan ketertinggalan Barat, maka mereka mulai mempelajari ilmu dari orang Islam.
Transmisi melalui pendidikan dimulai ketika banyak mahasiswa yang menjadi
utusan sebuah Negara di Eropa belajar pada beberapa universitas (madrasah) yang
didirikan oleh penguasa muslim, seperti di Andalusia, Cordova, dan beberapa
universitas lain. Namun
saying, saat ini wilayah Andalusia (Spanyol)
yang sempat menjadi pusat ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam, dikuasai oleh
orang Kristen-Latin dan tidak menyisakan serta
tidak mengakui peradaban Islam.
Barat memulai transmisi ini dengan melakukan gerakan penerjemahan karya-karya berbahasa
Arab ke bahasa Latin.[42]
Pada fase penerjemahan inilah, Andalusia kembali direbut oleh Barat, seperti
wilayah Toledo
pada tahun 1080.
Sebelumnya, di Cordova,
aktivitas ilmiah mulai berkembang pesat sejak masa pemerintahan Abdurrahman II
(822-852 M). Ia mendirikan universitas, memperluas dan memperindah masjid
(Abdul Karim, 2007: 239). Cordova kemudian menjadi sangat maju dan tampil
sebagai pusat peradaban yang menyinari Eropa. Pada waktu itu, Eropa masih
tenggelam pada keterbelakangan dan kegelapan Abad Pertengahan. Penggambaran keadaan
Eropa pada masa itu nampak pada kalimat sebagai berikut, "Jika
matahari telah terbenam, seluruh kota besar Eropa terlihat gelap gulita. Di
sisi lain, Cordova terang benderang disinari lampu-lampu umum. Eropa sangat
kumuh, sementara di kota Cordova telah dibangun seribu WC umum. Eropa sangat
kotor, sementara penduduk Cordova sangat concern dengan kebersihan. Eropa
tenggelam dalam lumpur, sementara jalan-jalan Cordova telah mulus. Atap
istana-istana Eropa sudah pada bocor, sementara istana-istana Cordova dihiasi
dengan perhiasan yang mewah. Para tokoh Eropa tidak bisa menulis namanya
sendiri, sementara anak-anak Cordova sudah mulai masuk sekolah.[43]
Penerjemahan ini dilakukan secara besar dan menyeluruh, sama seperti
ketika Islam melakukan penerjemahan dari karya-karya Yunani. Karya-karya muslim
menjadi yang muncul pada peradaban Islam, menjadi sasaran utama bagi gerakan ini. Tidak heran
jika saat ini banyak ditemukan karya-karya ilmuwan muslim yang ditulis dalam
bahasa Latin.
Akhirnya pada abad XV
muncullah gerakan di Eropa yang dinamakan renaissance. Renaissance
berasal dari kata renasseimento yang berarti lahir kembali atau rebirth
sebagai manusia yang serba baru. Renaissance diartikan sebagai kelahiran
kembali atau kebangkitan kembali jiwa atau semangat manusia yang selama Abad
Pertengahan terbelenggu dan diliputi oleh mental inactivity. Renaissance
disebut juga Abad Kebangkitan karena ia adalah awal kebangkitan manusia Eropa
yang ingin bebas dan tidak lagi terbelenggu sebagai kehendak untuk
merealisasikan hakikat manusia sendiri. Renaissance merupakan gerakan yang
menaruh minat untuk mempelajari dan memahami kembali peradaban dan kebudayaan
Yunani dan Romawi kuno.[44]
Pada masa Renaisans Eropa, peradaban Islam sudah memasuki masa kemunduran
hebat. Terlihat dari tidak berfungsinya lembaga pendidikan Islam secara utuh
dan tidak mampu bersaing dengan peradaban lain. Ada
beberapa factor kemunduran dalam transmisi ilmu pengetahuan ini, antara lain :[45]
1.
Oposisi dari kaum ortodok dalam Islam
yang menolak ‘dialog peradaban’ dengan Barat, sehingga menolak semua yang
datang darinya.[46]
2.
Kemunduran dimulai sejak penulisan buku ‘Tahafut
Al-Falasifah’ oleh Abu Hamid Al-Ghazali.
3.
Invasi Mongol di Baghdad.
4.
Tidak adanya dukungan dari penguasa
Muslim (political will) terhadap pengembangan keilmuan.
5.
Hilangnya pecinta ilmu.
6.
Kelemahan dalam tubuh umat Islam sendiri.
Proses transmisi ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam tidak lagi
menemukan spirit yang pernah tercipta pada abad pertengahan. Yang tersisa hanya
warisan kebesaran intelektual dan euphoria yang membius umat Islam untuk hanya memahami
dan mengenang saja. Namun
demikian, proses transmisi ini tetap berjalan sampai saat ini, dengan tumbuh
dan bermunculan lembaga madrasah dalam dunia Islam dengan varian ciri dan
karakter yang berbeda-beda.
4.
Urgensi Madrasah dalam Transmisi
Ilmu Pengetahuan
Dari penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa madrasah dengan berbagai
bentuknya menjadi subjek vital dalam proses transmisi. Dua kategori lembaga
pendidikan Islam yang ada, pra-madrasah dan madrasah itu sendiri memiliki peran
yang berbeda, khususnya dalam pengembangan keilmuan. Jika pra-madrasah lebih
bersifat penyebaran ilmu agama (fiqh), maka madrasah, dalam prakteknya mengembangkan
dan mengintegrasikan Islam dengan ilmu pengetahuan luas.
Ketika transmisi ilmu tidak dapat berkembang dan bahkan mengalami
kemunduran yang hebat, saat ini telah muncul kesadaran baru di kalangan ahli
pendidikan dengan membuat paradigma berfikir tentang pendidikan akan pentingnya
reintegrasi islam dan ilmu pengetahuan[47].
Hal ini merupakan ekspresi baru dalam mewujudkan madrasah sebagai lembaga
pendidikan Islam yang menjadi pusat pengembangan peradaban serta menjadi pusat
transmisi ilmu pengetahuan.
Sebelumnya, beberapa pemikir muslim telah mengeluarkan ide besar tentang urgensi paradigma reintegrasi, seperti Ismail Raji
Al-Faruqi dengan tema Islamisasi
Ilmu Pengetahuan. Dikatakan bahwa
salah satu sebab pokok kemunduran umat Islam dalam proses transmisi ilmu
pengetahuan adalah sikap malaismei yang mewabah dan menjangkiti umat
Islam sendiri.[48] Umat
Islam harus disadarkan dan ditempa dalam kedisiplinan untuk mengungkapkan
relevansi Islam sepanjang zaman, didasari tiga sumbu tauhid, yaitu :
1.
Kesatuan Pengetahuan antara aqli dan
naqli.
2.
Kesatuan Hidup.
3.
Kesatuan Sejarah.
Kesadaran akan ketiga sumbu tersebut dimulai dari pembenahan sistem
madrasah (lembaga pendidikan) menuju proses transmisi pengetahuan. Pemaduan
sistem dan manajemen madrasah Islam dengan manajemen modern akan menghasilkan keuntungan-keuntungan
seperti yang telah kita saksikan dari sejarah kegemilangan transmisi ilmu dalam
peradaban Islam.
Senada dengan al-Faruqi, Fazlur Rahman dengan pendidikan modernnya, menekankan
pentingnya memahami kembali bagaimana konsep awal pendidikan Islam pada abad
pertengahan untuk kemudian diaplikasikan pada saat ini. Harus ada pembaharuan
dalam pendidikan Islam sehingga tercipta bentuk baru pola manajemen pendidikan,
khususnya di madrasah dengan berbagai bentuknya.
C.
Kesimpulan
Dari uraian
di atas, dapat dituliskan beberapa catatan :
1.
Sejarah lembaga pendidikan Islam dibagi
menjadi dua kategori, yaitu pra-madrasah dan madrasah itu sendiri. Pra-madrasah adalah lembaga
pendidikan dengan varian nama dan bentuk yang tidak memakai istilah atau nama madrasah.
Sedangkan madrasah merupakan istilah yang dipakai untuk lembaga
pendidikan Islam dengan manajemen lebih maju (modern) dan holistik. Nama madrasahi
mulai digunakan sejak abad 4 H.
2.
Madrasah
menjadi wadah utama dalam transmisi ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam,
meskipun belum menggunakan nama madrasah. Ini terlihat dengan adanya beberapa
lembaga pendidikan seperti maktabah, masjid, dll yang berfungsi sama seperti
madrasah.
3.
Transmisi ilmu pengetahuan dalam
peradaban Islam dimulai dengan ‘dialog’ antara peradaban Islam dengan peradaban
lain, seperti Yunani, Persia, Aleksandria (Mesir) dan
peradaban Hindu. Efek dari ‘dialog’ inilah yang menjadikan proses transmisi
menjadi lebih berkembang, hingga dapat memperluas wahana ilmu pengetahuan baik
dalam peradaban Islam sendiri ataupun pada peradaban Barat (Eropa).
4.
Peradaban Eropa (Barat) yang mengalami
renaisans sampai saat ini, terispirasi dari peradaban Islam yang lebih dulu
melakukan berbagai inovasi, seperti gerakan
penerjemahan, dll. Apa yang dilakukan Barat untuk mengembangkan ilmu
pengetahuannya adalah mirip atau sama dengan apa yang dilakukan oleh umat Islam
dalam mencapai Golden Age.
5.
Saat ini, transmisi ilmu pengetahuan
dalam peradaban Islam tidak menenmukan spirit karena beberapa hal, sehingga
perlu adanya usaha
reintegrasi Islam dan pengetahuan agar dapat mencapai puncak peradaban.
DAFTAR PUSTAKA
Armando, Nina M., (et. al), Ensklopedi
Islam, (Jakarta:
Ichtiar Baru van Hoeve, 2005).
Arnold, Sir Thomas & Alfred Guillaume, The Legacy of
Islam, (Oxford: Clarendon Press, 1931).
‘Aziz, Muhammad ‘Adil Abdil, At-Tarbiyah
al-Islamiyah fi Al-Maghrib, (Kairo: T.P., 1987).
Azra,
Azyumardi, Islamic Education
and Reintegration of Sciences, makalah tidak diterbitkan.
Blanchard, Christopher M., Islamic Religious
Schools, Madrasas: Background,
(New York:
CRS Report, 2008).
Fahmi, Asma Hasan, Sejarah dan
Fihafat Pendidikan Islam, edisi Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang,
1979).
Al-Faruqi, Ismail Raji, Islamisasi
Pengetahuan, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1995).
Hasan, Hasan Ibrahim, Tarikh
al-Islam al-Siyasi Wa al-Dini Wa al-Tsaqafi Wa al-Ijtimai.,]uz 4 Cet-IV
(Mesir, Maktabah al-Nahdlah, 1967).
Hitti, Philip Khuri, The Origins of
Islamic State, Vol. I (New York: Longman, 1916).
Hitti, Philip K., The History of
Arabs; Rujukan Induk Paling Otoritatif tentang Sejarah Peradaban Islam,
terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta, 2005).
Iqbal, Muzaffar, Science and Islam, (London: Greenwood
Press, 2007).
Lulat, YGM., A History of African
Higher Education from Antiquity to the Present: A Critical Synthesis, (USA:
Greenwodd Publisher, 2005).
Makdisi, George, The Rise of
Colleges Institution of Learning in Islam, Edinburgh: Edinburgh University
Press, 1981.
Al-Maqrizi, al-Mawaizh wa al-I'tibar
bi-Dzikr al-Khithath via al-Atsar. 2 Vol., (Beirut: Dar Shadir, t.t.).
Munawwir, Ahmad Warson, Al-MunawwirKamus
Arab Indonesia,
(Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997).
Nakosteen, Mehdi, Kontribusi Islam
atas Dunia Intelektual Barat : Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, terj.
Joko S. Kahhar, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996).
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban
Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1993).
Rahman, Fazlur, Islam dan Modernitas
Tentang Transformasi Intelektual, (Bandung: Pustaka, 1995)
Said, Muhammad Ra'fat, Rasulullah
SAW. Profil Seorang Pendidik: Methodologi Pendidikan dan Pengajarannya,
edisi Indonesia,
(Jakarta: Firdaus, 1994).
Salam, Aiman Syahin, Al-Madaris
Al-Islamiyah fi Misro fi Al-Ashr Al-Ayyubi, (TK., TP., 1999).
Soekarno dan Ahmad Supardi, Sejarah
dan Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung,
Angkasa: 2001).
Suhamihardja,
Agraha Suhandi, Sejarah Pemikiran Modern; Tonggak Perkembangan Ilmu
Pengetahuan. (Bandung: Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, 2002).
Syalabi, Ahmad, Sejarah Pendidikan
Islam, edisi Indonesia
(Jakarta: Bulan Bintang, 1973).
Al-Wakil,
Muhammad Sayyid, Wajah Dunia Islam
Dari Dinasti Bani Umayah Hingga Imperialisme Modern. (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 1998).
Team, Khilafah, Science and Islam,
(London:
Khilafah Publication, 2002).
Zarkasyi, Hamid
Fahmy, Membangun Kembali Peradaban Islam Secara Sinergis,
simultan dan konsisten, makalah tidak
diterbitkan.
http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php
http://ishacovic.multiply.com
[1] Kemajuan peradaban negara-negara Eropa (Renaisans)
dimulai ketika Colombus menemukan Benua Amerika dan Vasco De Gama menemukan
jalur ke wilayah Timur untuk perdagangan. Dari sinilah interaksi perdagangan
dan keilmuan berkembang. Lihat Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah
Islamiyah II, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1993), hlm. 174-175.
[2] Serbuan tentara Mongol menghancurkan pusat-pusat
pendidikan Islam. Ibid, hlm. 85.
[3] Kaum Muslim yang berpendidikan, menghormati para
cendekiawan Yahudi dan Kristen selama abad-abad pembentukan dan pematangan
perkembangan kebudayaannya. Ini terlihat ketika para cendekiawan Nestorian,
menduduki posisi terhormat di istana Khalifah Muslim. Lihat Mehdi Nakosteen, Kontribusi
Islam atas Dunia Intelektual Barat : Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, terj.
Joko S. Kahhar, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), hlm. 5.
[4] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab
Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 398.
[5] Kata Madrasah digunakan hanya dalam istilah yang ada
pada agama Islam. http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php
[6] Nina M. Armando (et. al), Ensklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van
Hoeve, 2005), hlm. 205.
[7] Christopher M. Blanchard, Islamic Religious Schools, Madrasas:
Background, (New York:
CRS Report, 2008), hlm. 2.
[8] http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php
[9] Hamid Fahmy
Zarkasyi, Membangun Kembali Peradaban Islam Secara Sinergis,
simultan dan konsisten, makalah tidak diterbitkan. Didownload dari situs
http://ishacovic.multiply.-com/journal/item/55/Membangun_Kembali_Peradaban_Islam_Secara_Sinergis_simultan_dan_konsisten
[10] George Makdisi,
The Rise of Colleges Institution of Learning in Islam, Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1981, hlm. 9-10. Tentang pembagian ilmu, dijelaskan
bahwa peradaban Arab awal Islam mengenal ilmu pengetahuan terbagi kepada dua
macam yaitu ilmu agama dan ilmu tentang tubuh manusia (jinsiyah) atau ilmu
pengobatan. Lihat Hitti, Philip K., The History of Arabs; Rujukan Induk
Paling Otoritatif tentang Sejarah Peradaban Islam, terj. R. Cecep Lukman
Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta
: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2005), hlm. 318.
[11] Ibid, hlm. 24.
[12] Soekarno dan Ahmad Supardi, Sejarah dan Filsafat
Pendidikan Islam, Bandung,
Angkasa: 2001, hlm. 31-50.
[13] Istilah "madrasah" dalam peradaban Islam
belum ada pada zaman Nabi dan para sahabat, madrasah baru lahir pada abad ke-4
H. Lihat Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam al-Siyasi Wa al-Dini Wa
al-Tsaqafi Wa al-Ijtimai.,]uz 4 Cet-IV (Mesir, Maktabah al-Nahdlah, 1967),
hlm. 425O.
[14] Muhammad Ra'fat Said, Rasulullah SAW. Profil
Seorang Pendidik: Methodologi Pendidikan dan Pengajarannya, edisi Indonesia, Jakarta:
Firdaus, 1994, hlm. 93 dan 108.
[15] Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Fihafat Pendidikan
Islam, edisi Indonesia
(Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 35-36.
[16] Soekarno dan Ahmad Supardi, Ibid,,hlm. 45.
[17] Soekarno dan Ahmad Supardi, Ibid,,hlm. 57.
[18] Darul Qurra’ artinya Rumah para Penghafal
Qur’an. Abdullah bin Ummu Maktum berasal dari Bani Amir bin La’i, ibunya
bernama Ummu Maktum, Atikah binti Abdillah Al-Makhzum, masih termasuk anggota
Qabilah Bani Makhzum. Ulama berbeda pendapat tentang siapa ayahnya, ada yang
mengatakan bahwa ayahnya adalah Za’id bin ‘Ashim. Namun ada pula yang
mengatakan ayahnya adalah Qays bin Malik Al-‘Amiri. Lihat Aiman Syahin Salam, Al-Madaris
Al-Islamiyah fi Misro fi Al-Ashr Al-Ayyubi, (TK., TP., 1999), hlm. 26-27.
[19] Dari rumah qurra’ inilah mulai menyebar orang-orang
yang mengajarkan al-Qur’an ke berbagai penjuru. Dan dikatakan bahwa guru-guru (transmitter)
paling pertama dalam Islam adalah para qurra’. Lihat Philip K. Hitti, The
History of Arabs; Rujukan Induk Paling Otoritatif tentang Sejarah Peradaban
Islam, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta : PT. Serambi Ilmu
Semesta, 2005), hlm. 317.
[20] Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia
Intelektual Barat : Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, terj. Joko S.
Kahhar, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), hlm. 60.
[21] Philip K. Hitti, Ibid, hlm. 316.
[22] Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, edisi
Indonesia
(Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 132-133.
[23] Mehdi Nakosteen, Ibid, hlm. 65.
[24] Mehdi Nakosteen, Ibid, hlm. 63.
[25] Lihat Aiman Syahin Salam, Al-Madaris Al-Islamiyah
fi Misro fi Al-Ashr Al-Ayyubi, (TK., TP., 1999), hlm. 28-29.
[26] Lihat Aiman Syahin Salam, Al-Madaris Al-Islamiyah
fi Misro fi Al-Ashr Al-Ayyubi, (TK., TP., 1999), hlm. 29-31.
[27] Pada abad ke-4 H, Syi'ah telah tumbuh menjadi faham
dan gerakan keagamaan yang kuat yang berkembang dihampir seluruh dunia Islam.
Syi'ah tidak hanya merupakan gerakan politik tetapi juga gerakan ilmu
pengetahuan yang secara aktif dan sistematis menyebarkan ide-idenya melalui
lembaga-lembaga pendidikan. Keadaan ini sangat menantang kaum Muslim dari
kalangan Sunni. Karena itu mereka membangun Madrasah-Madrasah sebagai
lembaga pendidikan yang oleh para ulama fiqih kemudian digunakan untuk
mengembangkan sekaligus mempertahankan faham Ahlussunah. Catatan tentang
madrasah syi’ah dan sunni mulai abad ke 4 H (10 M) dapat dilihat pada Mehdi
Nakosteen, Ibid, hlm. 58.
[28] Ahmad Syalabi, Ibid, hlm. 132-133
[29] Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam al-Siyasi Wa
al-Dini Wa al-Tsaqafi Wa al-Ijtimai.,]uz 4 Cet-IV (Mesir, Maktabah
al-Nahdlah, 1967), hlm. 425O
[30] Al-Maqrizi, al-Mawaizh wa al-I'tibar bi-Dzikr
al-Khithath via al-Atsar. 2 Vol., (Beirut:
Dar Shadir, t.t.), h. 212 dan 380.
[31] Di tahun 859 M, tercatat dalam Guinnes Book of
Records sebagai tahun pertama madrasah secara kelembagaan berdiri dalam
peradaban Islam.
[32] YGM. Lulat, A History of African Higher Education
from Antiquity to the Present: A Critical Synthesis, (USA: Greenwodd Publisher, 2005),
hlm. 69.
[33] Aiman Syahin Salam, Al-Madaris Al-Islamiyah fi
Misro fi Al-Ashr Al-Ayyubi, (TK., TP., 1999), hlm. 8-9.
[34] Mehdi Nakosteen, Ibid, hlm. 252.
[35] Mehdi Nakosteen, Ibid, hlm. 15.
[36] Penaklukan Aleksandria dapat dilihat pada Philip
Khuri Hitti, The Origins of Islamic State, Vol. I (New York: Longman,
1916), hlm. 346. Buku ini adalah terjemahan dari Kitab Futuh Buldan karya Ahmad
bin Yahya Al-Baladhuri.
[37] Mehdi Nakosteen, Ibid, hlm. 18-20.
[38] Kota Shapur berasal dari nama putra Raja Ardeshir,
Shapur, meskipun penisbatan ini menjadi perdebatan di kalangan sejarawan. Orang
Arab menyebut kota
ini dengan Jandi-Sabur atau Jundaysabur atau Gundi-Shapur.
Lihat Mehdi Nakosteen, Ibid, hlm. 25.
[39] Hunayn ibn Ishaq disebut sebagai great translator,
karena sebagai Ketua Tim Penterjemah dan karya-karyanya juga menjadi sumber
penting dalam proses transmisi ilmu pengetahuan. Lihat Sir Thomas Arnold &
Alfred Guillaume, The Legacy of Islam, (Oxford: Clarendon Press, 1931),
hlm. 318.
[40] Muhammad ‘Adil Abdil ‘Aziz, At-Tarbiyah
al-Islamiyah fi Al-Maghrib, (Kairo: T.P., 1987), hlm. 44.
[41] YGM. Lulat, A History of African Higher Education
from Antiquity to the Present: A Critical Synthesis, (USA: Greenwodd Publisher, 2005),
hlm. 69.
[42] Muzaffar Iqbal, Science and Islam, (London: Greenwood Press,
2007), hlm. 103.
[43] Muhammad Sayyid Al-Wakil,
Wajah Dunia Islam Dari Dinasti Bani Umayah Hingga Imperialisme
Modern. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998), hlm. 137.
[44] Agraha Suhandi
Suhamihardja, Sejarah Pemikiran Modern; Tonggak Perkembangan Ilmu
Pengetahuan. (Bandung: Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, 2002), hlm.
3-5.
[45] Muzaffar Iqbal, Science and Islam, (London: Greenwood Press,
2007), hlm. 124-125.
[46] Hal ini sama dengan fenomena gereja yang menolak
‘ilmu pengetahuan’ sehingga peradaban Barat masuk dalam abad kegelapan (Dark
Age). Lihat Khilafah Team, Science and Islam, (London: Khilafah Publication, 2002), hlm.
8-9.
[47] Azyumardi
Azra, Islamic Education and Reintegration of Sciences, makalah
tidak diterbitkan, dimuat pada situs http://www.ilmupendidikan.net/-2010/03/21/islamic-education-and-reintegration-of-sciences.php.
Diakses pada Hari Senin tanggal 19 April 2010.
[48] Ismail Raji Al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, terj.
Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1995), hlm. 1-11.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar