Senin, 21 Mei 2012

MADRASAH DAN TRANSMISI ILMU PENGETAHUAN DALAM PERADABAN ISLAM


MADRASAH DAN TRANSMISI ILMU PENGETAHUAN
DALAM PERADABAN ISLAM

A.           Pendahuluan
Pendidikan adalah tonggak kemajuan sebuah peradaban, sebuah bangsa akan menjadi kuat jika pendidikannya dikelola dengan baik. Begitu juga sebaliknya, kemunduran atau keruntuhan sebuah bangsa akan dimulai jika manajemen pendidikan pada bangsa itu tidak baik. Satu contoh, berkembangnya peradaban Eropa, disebabkan karena tingginya kualitas ilmu pengetahuan yang didasari pada pendidikan yang berkualitas pula.[1] Kemunduran peradaban Islam era Daulah Abbasiyah di Baghdad, salah satu sebabnya adalah hancurnya pusat-pusat pendidikan yang menopang berkembangnya ilmu pengetahuan.[2]
Menilik seluk beluk pendidikan, akan membuka wacana kepada sistem dan institusi pendidikan itu sendiri. Islam, sebagai sebuah peradaban, memiliki kualitas peradaban yang jauh lebih dahulu maju dibandingkan dengan peradaban Barat (Eropa). Dalam sejarahnya, peradaban Islam memiliki sistem pendidikan yang akomodatif serta mampu menjadi inspirasi kemajuan berbagai peradaban lain.[3]
Pendidikan Islam, seiring dinamikanya, memiliki berbagai bentuk institusi yang selalu berkembang dari satu waktu dan tempat serta karakteristiknya, ke waktu dan kondisi yang berbeda. Dan salah satu institusi pendidikan Islam yang ada serta masih berkembang eksistensinya adalah ‘madrasah’. Sebuah institusi pendidikan Islam mencakup kepada tempat, pola dan manajemen.
Apa itu madrasah, bagaimana cikal bakal serta perkembangannya, juga urgensi dan peran madrasah dalam transmisi ilmu pengetahuan akan menjadi topic bahasan dalam makalah ini, tidak lupa penulis mencoba memberikan analisis dan kritik sederhana terhadapnya.

B.           Pembahasan
1.            Definisi
Madrasah artinya tempat belajar, merupakan bentuk ism makan (keterangan tempat) dalam ilmu shorf.[4] Madrasah berasal dari kata dalam bahasa Arab da-ra-sa yang artinya belajar, mempelajari. Madrasah adalah tempat pendidikan, sekolah atau perguruan[5] yang berbentuk bangunan sebagai tempat proses belajar-mengajar secara formal dan klasikal.[6]
Awalnya, madrasah adalah tempat belajar mangajar ilmu fiqh, sehingga dalam perkembangannya, istilah mazhab dalam fiqh Islam, sering disebut dengan madrasah, contohnya adalah Mazhab Hanafi disebut dengan Madrasah Hanafiyah. Dan begitu juga dengan mazhab-mazhab fiqh yang lain.[7]
Kata transmisi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan pengiriman (penerusan), penularan, penyebaran.[8] Transmisi adalah bentuk kata benda dari sebuah proses pemindahan atau penyebaran sesuatu dari satu tempat ke tempat yang lain. Dengan proses pemindahan ini, sesuatu yang berpindah tersebut bersifat dinamis dan aktif.
Peradaban berasal dari akar kata madana lahir kata benda tamaddun yang secara literal berarti peradaban (civilization) yang berarti juga kota berlandaskan kebudayaan (city base culture) atau kebudayaan kota (culture of the city). Di kalangan penulis Arab, perkataan tamaddun digunakan untuk pertama kalinya oleh Jurji Zaydan dalam sebuah judul buku Tarikh at-Tamaadun al-Islami (Sejarah Peradaban Islam), terbit 1902-1906. Sejak itu perkataan Tamaddun digunakan secara luas dikalangan umat Islam. Di dunia Melayu tamaddun digunakan untuk pengertian peradaban. Di Iran orang dengan sedikit berbeda menggunakan istilah tamaddon dan madaniyat. Namun di Turkey orang dengan menggunakan akar madinah atau madana atau madaniyyah menggunakan istilah medeniyet dan medeniyeti. Orang-orang Arab sendiri pada masa sekarang ini menggunakan kata hadharah untuk peradaban, namun kata tersebut tidak banyak diterima ummat Islam non-Arab yang kebanyakan lebih menyukai istilah tamaddun. Di anak benua Indo-Pakistan tamaddun digunakan hanya untuk pengertian kultur, sedangkan peradaban menggunakan istilah tahdhib.[9]
Dari paparan definisi di atas, dapat dijelaskan bahwa judul makalah MADRASAH DAN TRANSMISI ILMU PENGETAHUAN DALAM PERADABAN ISLAM bermaksud membahas tentang madrasah sebagai pusat penyebaran ilmu pengetahuan ke berbagai penjuru arah dan tempat, serta beberapa elemen dan latar belakang yang mendasarinya atau urgensi beserta seberapa besar peran madrasah dalam transmisi tersebut.

2.            Institusi Pendidikan dalam Peradaban Islam
Dalam sejarahnya, institusi pendidikan Islam mengalami berbagai dinamika pertumbuhan dan perkembangan serta kemunduran. Berbagai pola dan tipe muncul dan berubah seiring perkembangan pemikiran. Madrasah merupakan tonggak bersejarah bagi berkembangnya institusi pendidikan formal di dunia Islam.
Institusi pendidikan di dunia Islam terbagi ke dalam dua kategori, yakni lembaga pendidikan yang muncul sebelum munculnya madrasah (pra-madrasah) dan lembaga madrasah itu sendiri.[10] Tipe yang pertama, yakni periode pra-madrasah, lembaga pendidikan Islam yang ada antara lain berupa majlis-majlis ilmu, masjid, jami’, halaqah, maktab, kuttab, lembaga-lembaga sufi seperti zawiyah, ribat, dan khan. Tempat-tempat tersebut merupakan lembaga pendidikan yang tidak memasukkan ilmu-ilmu umum (foreign sciences) dalam kajiannya. Sedangkan lembaga pendidikan yang memasukkan ilmu-ilmu umum terdiri dari perpustakaan dan rumah sakit.[11]

Kategori Pra-Madrasah
Bangunan (rumah) adalah elemen pokok infrastruktur dalam sistem pendidikan Islam, maka menelusuri jejak madrasah tentunya harus memulai dari konsep dan praktek pendidikan pada masa awal Islam yaitu masa Rasulullah SAW mulai menanamkan cikal bakal atau benih pola pendidikan. Sejak Rasulullah SAW, mendapat wahyu dari Allah SWT, yaitu ayat-ayat al-Qur'an dan penafsirannya, saat itulah dimulai proses pendidikan dalam Islam. Hal ini kemudian Nabi Muhammad SAW mendapat tugas, untuk menyampaikan risalahNya disetiap kesempatan. Dengan memakai istilah yang sesuai dengan tema makalah, meski belum memakai istilah ‘madrasah’, maka disaat inilah proses transmisi ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam dimulai.
Ada beberapa tahapan dalam proses transmisi ilmu pengetahuan di masa Rasulullah SAW, diantaranya :[12]
a.             Pendidikan perorangan yang dilakukan secara rahasia.
b.             Seruan atau ajakan kepada Bani Abdul Muthalib ke dalam Islam.
c.             Seruan dan ajakan ke masyarakat luas.
Pada periode ini, Rasulullah SAW menggunakan Darul Arqam (rumah kediaman sahabat, al-Arqam bin Abi Al-Arqam r.a.) sebagai tempat (wadah) proses transmisi ilmu pengetahuan kepada para sahabatnya. Praktek belajar-mengajar yang dilakukan ketika itu, betul-betul sudah terorganisir dengan rapi, sesuai dengan target yang hendak dicapai terhadap peserta didik. Jadi bukan hanya sekadar pemahaman, hafalan, dan pelaksanaan, tetapi lebih dari itu untuk melahirkan kader-kader Islam. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Darul Arqam saat itu merupakan ‘lembaga pendidikan Islam’ (madrasah)[13] pertama yang diselenggarakan dalam peradaban Islam.[14]
Proses belajar-mengajar kemudian diteruskan ke beberapa tempat baru selain Darul Arqam. Perkembangan ini terjadi di masa Rasulullah dan masa Khulafa’ ar-Rasyidun. Adapun beberapa tempat tersebut adalah :
a.            Masjid
Secara bahasa, masjid artinya ‘tempat sujud’, sebuah tempat dimana umat Islam menjalankan ritual ibadah salat berjamaah. Namun kemudian, fungsi masjid bertambah, tidak hanya sebagai tempat salat saja, ia sebagai sarana untuk proses pengajaran bidang lain seperti latihan militer, diplomasi, musyawarah, dan lainnya.[15] Masjid Nabawi adalah salah satu tempat paling bersejarah dalam proses transmisi tersebut.[16]
b.            Kuttab
Kuttab berasal dari kata dasar ka-ta-ba yang berarti menulis. Tapi secara istilah, berarti tempat untuk belajar menulis dan membaca pada tingkat dasar. Kuttab terbagi menjadi dua macam, yaitu kuttab sebagai tempat khusus belajar membaca dan menulis, serta kuttab yang khusus mempelajari al-Qur’an dan pokok-pokok agama Islam.[17]
Sampai pada abad ke-2 H, lembaga kuttab ini semakin banyak didirikan oleh kaum Muslimin atas prakarsa mereka sendiri, dalam arti lepas dari campur tangan pemerintah. Di masa ini pula kuttab tersebar merata di setiap negeri, sehingga karakteristik kuttab sebagai lembaga pendidikan yang terbuka sangat menonjol, dalam arti siapa saja bisa memanfaatkannya sebagai sarana untuk menimba ilmu pengetahuan Islam.
c.             Rumah Ulama
Istilah rumah ulama bermula ketika Abdullah bin Ummu Maktum yang berhijrah ke Madinah, dan menjadikan rumahnya sebagai darul qurra’.[18] Rumah ini kemudian dijadikan pusat pembelajaran al-Qur’an dan lebih khusus lagi Tahfizh Al-Qur’an. [19]
d.            Halaqah ad-Dars
Halaqah al-dars (biasa disebut halaqah saja) atau "lingkaran belajar", disebut lingkaran karena orang yang ikut belajar mendengarkan penjelasan dengan cara duduk melingkar. Sang guru duduk membelakangi tembok atau tiang, dan para pelajar duduk dengan membentuk lingkaran di depan guru.[20] Halaqah ini adalah bentuk paling sederhana dalam system pendidikan Islam saat itu dan termasuk lembaga pendidikan Islam yang cukup dikenal sebelum lahirnya madrasah. Sebagian ahli bahkan mengatakan; bahwa halaqah masih ada dan dilangsungkan meskipun Madrasah. telah bermunculan di dunia Islam. Malah ada yang mengatakan bahwa Halaqah al-dars juga sering dilangsungkan di Madrasah.
e.            Al-Badiyah (Daerah Pedalaman)
Pada tahapan ini, banyak dari para pelajar yang sangat peduli akan orisinalitas kebahasaan mereka, dan memutuskan unutk pergi belajar bahasa ke ba’diyah (suku pedalaman/badui) bahkan banyak yang sampai menetap disana beberapa waktu demi pendalaman bahasa mereka yaitu pendalaman bahasa Arab murni.[21] Proses ini dimulai pada masa khalafah Bani Umayyah, Mu’awiyah mengirim putranya, Yazid ke wilayah badiyah tersebut.
f.              Maktabah (Perpustakaan)
Perpustakaan merupakan tempat dimana terdapat kumpulan-kumpulan atau koleksi buku yang dapat dibaca bahkan dipinjam. Perpustakaan berkembang luas pada masa Abbasiyyah, baik perpustakaan umum maupun perpustakaan pribadi. Faktor-faktor yang menyebabkan perkembangan itu antara lain ialah meluasnya penggunaan kertas untuk menyalin kitab-kitab, bermunculnya para penyalin kitab, dan berkembangnya halaqoh para sastarawan dan ulama. Disamping itu, penghargaan terhadap ilmu mendorong kaum muslimin untuk membeli kitab-kitab dari berbagai negeri.
Beberapa perpustakaan umum yang terkenal ialah perpustakaan Baitul Hikmah di Bagdad yang didirikan oleh Khalifah Harun al-Rasyid dan berkembang pesat pada masa Khalifah al-Makmun. Pada dasarnya, Baitul Hikmah di atas berfungsi sebagai perpustakaan (daur al-kutub}, yang tampaknya juga aktif di sana para guru, para ilmuwan, di samping aktivitas penerjemahan, penulisan naskah, dan penjilidannya. Kemudian perpustakaan Baitul Hikmah di Ruqadah, Afrika Utara yang didirikan oleh Ibrahim II dari Dinasti Aghlabi, seorang amir yang sangat cinta kepada ilmu dan pendiri kota Raqadah pada tahun 264H/878H. Perpustakaan Darul Hikmah Kairo yang didirikan oleh al-Hikmah bin Amrillah pada tahun 395H.[22]
Disamping perpustakaan umum terdapat pula perpustakaan khusus yang didirikan oleh para Amir di istana dan ulama dirumah mereka. Jumlah perpustakaan pribadi ini tidak terhitung. Semua ini menunjukkan bahwa kaum muslimin menaruh perhatian yang besar terhadap ilmu.
g.            Salon Satra
Salon sastra adalah suatu majlis khusus yang diadakan oleh khalifah untuk membahas berbagai macam ilmu pengetahuan. Majlis ini bermula sejak zaman Khulafaurrasyidin yang biasanya memberikan fatwa dan musyawarah serta diskusi dengan para sahabat untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi pada masa itu. Dalam majlis sastra tersebut bukan hanya dibahas dan didiskusikan masalah-masalah kesusasteraan saja melainkan berbagai macam ilmu pengatahuan dan berbagai kesenian. Biasanya, hanya khalifah saja yang dapat membuka diskusi atau tukar fikiran dalam salon tersebut.[23]
h.            Qusur (Pendidikan Rendah di Istana)
Pendidikan dikenalkan pada anak-anak di lingkungan Istana, dimana metode pendidikan dasar ini dirancang oleh orang tua murid (para Khalifah dan Pejabat) agar selaras dengan tujuannya dan sesuai dengan minat dan kemampuan anaknya, metode pembelajarannya pada garis besarnya sama dengan metode yang diterapkan pada anak-anak lain di kuttab-kuttab, hanya saja terkadang ditambah atau dikurangi menurut para pembesar yang bersangkutan dan sesuai dengan keinginan untuk menyiapkan anak mereka secara khusus untuk tanggungjawab yang akan dihadapinya dalam kehidupan yang akan datang. Para pengajarnya (mu’addib) diberi tempat tinggal di Istana.[24]
Beberapa lembaga pendidikan pra-madrasah yang bercorak sufi juga sudah muncul pada awal Islam, seperti :

a.            Khan
Khan berfungsi sebagai penyimpanan barang-barang dalam jumlah besar atau sebagai sarana komersial yang memiliki banyak toko. Awalnya, Khan dibangun untuk keperluan tempat menginap para pedagang yang berniaga dan singgah di satu kota.[25] Seperti Khan al-Narsi yang berlokasi di Alun-alun Karkh di Bagdad, selain itu khan juga berfungsi sebagai sarana untuk murid-murid dari luar kota yang hendak belajar hukum Islam di suatu majlis. Pada masa berkembangnya, khan lebih sering dibangun dengan menempel pada bangunan masjid.

b.            Ribath
Ribath artinya benteng, ia adalah tempat kegiatan kaum sufi yang ingin menjauhkan diri dari kehidupan duniawi dan mengkonsentrasikan diri untuk ibadah semata-mata. Ribath biasanya dihuni oleh sejumlah orang-orang miskin. Mereka bersama-sama melakukan praktik-praktik sufistik. Disamping melakukan praktek sufistik, mereka juga memberi perhatian kepada kegiatan keilmuwan. Pada umunya ribath dibangun untuk sufi laki-laki, tetapi ada juga ribath yang dibangun untuk sufi wanita dimana mereka bertempat tinggal, beribadah dan mengajarkan pelajaran agama di dalamnya.
Faktor munculnya lembaga pendidikan non formal sebelum periode madrasah. Pendidikan Islam dalam sejarah tercatat terbagi menjadi beberapa periode: yaitu salah satunya adalah pada periode sebelum madrasah. Tercatat banyak sekali berdiri berbagai macam lembaga-lembaga pendidikan pada saat itu. Beberapa faktor yang mendorong munculnya lembaga-lembaga tersebut adalah antara lain:
Pertama, terdorong oleh motivasi-motivasi untuk mengembangkan keilmuan. Kaum muslimin pada masa awal membutuhkan pemahaman al-Qur’an sebagai apa adanya, begitu juga butuh keterampilan membaca dan menulis, Ibnu Khaldun mencatat bahwa pada awal kedatangan Islam orang-orang Quraisy yang pandai membaca dan menulis hanya berjumlah 17 orang, semuanya laki-laki.
Kedua, terdorong berkembangnya kebutuhan pada masa awal Islam untuk mendakwahkan Islam, karena itu sasaran pun pada mulanya ditujukan untuk orang-orang dewasa. Menjadi semakin meluas tingkatan usianya, sehingga sampai pada usia anak-anak.
c.             Khawaniq
Khawaniq adalah rumah yang dibangun dan disiapkan untuk para sufi memperdalam ilmu dan sebagai tempat latihan ritual sufi. Istilah ini muncul pada abad ke 4 H, yang sudah diawali istilah ini pada tradisi Nasrani dan Yahudi.[26]

Transmisi ilmu pengetahuan pada masa pra-madrasah sudah menemui beberapa perkembangan keilmuannya. Hal ini terlihat dengan munculnya beberapa ulama (ahlul ‘ilmi) yang sudah tercatat dan menyebarkan keilmuannya. Terlebih lagi setelah dibangun beberapa perpustakaan sebelum munculnya istilah madrasah pada abad ke-4 H.[27]
Selain (perpustakaan) Baitul Hikmah di Baghdad, ada Baitul Hikmah yang terkenal yaitu Baitul Hikmah yang terdapat di Qairawan. Disebutkan bahwa Baitul Hikmah ini didirikan oleh Ziadatullah III al-Aghlabi (290-296 H), gubernur Dinasti Abbasiyah yang berkedudukan di Afrika Utara. Di lembaga Baitul Hikmah di Qairawan ini terdapat perpustakaan dan tempat dilakukannya aktivitas penterjemahan, karang mengarang, tempat pengajaran ilmu kedokteran, apoteker, matematika, astronomi, ilmu ukur, ilmu tumbuh-tumbuhan, musik, dan lain sebagainya.[28]

Kategori Madrasah
Seiring perkembangan lembaga-lembaga pendidikan dalam Islam, sebagaimana telah dijelaskan di atas, madrasah adalah hasil dinamika perkembangan masjid sebagai lembaga pendidikan. Sebelum berpindahnya lembaga pendidikan Islam dari masjid ke Madrasah, sebenarnya masjid sendiri secara fisik telah mengalami berbagai perubahan fungsi. Madrasah merupakan perkembangan berikutnya dari masjid dan masjid yang berasrama (masjid khan}, di mana fiqih merupakan bidang studi utamanya. Ini sesuai dengan pandangannya bahwa Madrasah adalah lembaga pendidikan hukum (college of law).
Selain itu, tempat-tempat yang disediakan oleh penguasa waktu itu (waqf) juga dipergunakan untuk bangunan-bangunan sebagai tempat kegiatan belajar mengajar. Perlu diketahui, bahwa para penguasa muslim secara umum menaruh perhatian pada kemajuan ilmu dan pendidikan dengan mengalokasikan banyak dana untuk itu.
Para ahli sejarah berbeda pendapat tentang awal munculnya Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam seperti yang dikenal sekarang. Hasan Ibrahim Hasan berpendapat bahwa: Madrasah belum berdiri sebelum abad 4 hijriyah (sebelum 10 Masehi).[29] Madrasah pertama adalah Al-Baihaqiyah di Naisapur. Al-Maqrizy juga mengemukakan hal yang sama, bahwa Madrasah yang mula-mula berdiri adalah Al-Baihaqiyah di Nishapur, Khurasan, Persia, oleh Abu Hasan Ali al-Baihaqi yang wafat pada 414 H.[30]
Pada tahun 859 M,[31] secara kelembagaan, telah ada madrasah yang didirikan oleh Fatimah Al-Fihri, puteri dari seorang saudagar bernama Muhammad Al-Fihri, di Fez, Maroko, yang saat ini diberi nama Jami’at Al-Qarawiyyin.[32] Sebagaimana, tradisi pendidikan Islam saat itu, Jami’ah Al-Qarawiyyin (Universitas Al-Qarawiyin) juga berada di dalam komplek masjid Al-Qarawiyun. Model ini kemudian dikembangkan oleh Jami’ah Al-Azhar di Mesir 970 M, Jami’ah Nizamiyah di Baghdad 1091, dan Jami’ah Al-Mustansyiriyah di Baghdad 1233 M. Namun, yang masih bertahan hingga saat ini hanya Jami’ah al-Azhar. Ilmu yang dipelajari meliputi Al-Qur’an, akidah, fiqih (hukum Islam), bahasa, sastra, dan etika Islam (akhlak).
Namun dalam perkembangannya, madrasah Nizamiyah menjadi sangat terkenal dan menjadi inspirasi bagi perkembangan pendidikan Islam sampai saat ini. Madrasah Nizamiyah adalah lembaga pendidikan Islam yang pertama mengembangkan sistem pendidikan modern, tercakup di dalamya elemen-elemen pendidikan secara holistik. Nizamiyah memadukan beberapa  elemen yang ada menjadi sebuah institusi pendidikan yang ‘sempurna’ dengan pengelolaan baru. Hal ini menjadi momentum perubahan tersendiri dalam perkembangan pendidikan Islam. Dalam pengelolaannya, madrasah memiliki beberapa elemen yang masuk di dalamnya, yaitu :[33]
1.            Mudarris (pengajar)
2.            Mu’id (asisten/wakil pengajar)
3.            Imam (Imam Salat)
4.            Qari’ (pembaca al-Qur’an)
5.            Mu’adzdzin (petugas adzan)
6.            Nazhir (pemberi wakaf tanah)
7.            Khadam (pengelola)
8.            Muwazhzhif (pustakawan)
9.            Thalib (pelajar)
10.        Maktabah (perpustakaan)
11.        Masakin Al-Tholabah (asrama siswa)

Dunia pendidikan Islam yang tampak menjulang hanya pendidikan tingginya, dengan berbagai universitas yang lahir dan mewarnai peradaban, sedangkan pendidikan dasar dan menengah tidak begitu menonjol. Universitas-universitas yang lahir dari peradaban Islam merupakan pengembangan dari sistem pendidikan yang lebih rendah, seperti maktab dan madrasah.

3.            Transmisi Ilmu Pengetahuan dalam Peradaban Islam
Peradaban Islam mengalami dinamika yang panjang dalam sejarahnya, mulai kemunculan, pertumbuhan, masa kegemilangan dan keruntuhannya. Semua dinamika ini selalu bertumpu kepada aspek pendidikan (ilmu pengetahuan) sebagai tolok ukur. Golden Age, yang tercatat dalam sejarah terjadi pada masa khilafah Abbasiyah pertama, merupakan era perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan peradaban Islam.
Transmisi ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam bermula sejak Islam muncul, tumbuh dan berkembang hingga saat ini. Di awal kehadiran Islam, di masa Rasulullah SAW dan khulafaur rasyidun, belum terlihat perkembangan yang pesat pada bidang ilmu pengetahuan. Transmisi yang ada bersifat pengembangan aspek keyakinan terhadap Allah SWT (tauhid). Hal ini disebabkan belum terjadi persentuhan yang kuat dengan peradaban besar lain yang sudah berkembang sebelum Islam hadir di Mekkah.
Ada beberapa hal yang perlu dibahas dalam tema transmisi ini, yaitu dari mana dasar ilmu pengetahuan yang masuk atau yang mempengaruhi ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam, adakah pengaruh dari peradaban luar dan faktor apa yang mempengaruhi proses tersebut. Tentunya, ada beberapa persentuhan dan saling mengisi dengan peradaban lain dalam proses transmisi ini.
Awal dari semua proses transmisi ilmu pengetahuan dimulai dari kebudayaan Yunani. Kemudian berbaur dengan beberapa peradaban lain seperti Hindu, Persia, Syirian (Nestorian) dan Aleksandrian (Mesir).[34] Ini terlihat dari sejak dinasti Umayyah yang membiarkan ilmu pengetahuan yang berasal dari dunia Helenistik tumbuh subur di Syiria, sekolah-sekolah Kristen dan Persian berkembang di Aleksandria.[35]  Namun konsentrasi khilafah Bani Umayyah nampaknya tidak tertuju ke pengembangan transmisi ilmu, tetapi lebih cenderung hanyut kepada masalah ekspansi serta penaklukan wilayah untuk dikuasai. Meskipun terlihat membiarkan perkembangan sekolah-sekolah Kristen dan Syiria, khalifah Bani Umayyah, beberapa waktu tercatat pernah menghanguskan karya-karya mereka. Hal ini terinspirasi dari kisah ketika Amr bin Ash menaklukan Mesir dan terkagum dengan perpustakaan besar di Aleksandria.[36] Setelah meminta nasehat dari khalifah Umar bin Khattab, maka buku-buku yang ada di perpustakaan tersebut dibawa ke pemandian Aleksandria dan akhirnya dimusnahkan. Kisah seperti ini terulang ketika Ibnu Waqqas menemukan perpustakaan dengan buku-buku yang banyak di Persia.
Beberapa faktor yang disinyalir menjadi sebab terjadinya transmisi ilmu ke dalam peradaban Islam, antara lain :[37]
1.            Pemisahan beberapa institusi dalam Kristen Ortodoks dengan Gereja Induk (Mother Church) karena alas an perbedaan doktrinal. Ini menyebabkan sekte Nestorian dan Monophysite dikucilkan dan akhirnya diusir dari wilayah kekaisaran Romawi. Ketika Islam menaklukkan Romawi, sekte-sekte ini mendapat perlindungan dari orang-orang Islam.
2.            Penaklukan Aleksander Agung serta penyebaran ilmu pengetahuan ke Persia dan India.
3.            Akademi Jundi-Shapur kekaisaran Persia yang mengembangkan kurikulum studi yang disusun oleh kalangan Universitas Aleksandria, sehingga terjadi penerjemahan besar ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani ke bahasa Persia.
4.            Karya penerjemahan Yahudi, para kaum terpelajar Yahudi menerjemahkan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Heberew dan Arab.

Yang paling berpengaruh dan konsisten terhadap transmisi ini adalah Akademi Jundi-Shapur, sebuah sekolah yang dibangun di kekaisaran Persia, Raja Anushirwan yang Adil. Selain Jundi-Shapur, ada sebuah kota yang menjadi pusat keilmuan khususnya kedokteran dan filsafat, yaitu Nishapur.[38] Tidak heran jika dijelaskan di atas bahwa salah satu madrasah awal yang dibangun dalam peradaban Islam adalah madrasah Nishapur.
Pertemuan Islam dan peradaban lain ini merupakan awal mula terbukanya proses transmisi ilmu pengetahuan secara besar yang membuat peradaban Islam dikenal di peradaban Barat. Proses selanjutnya adalah proses adaptatif Islam terhadap karya-karya Yunani dan Persia. Beberapa madrasah kemudian didirikan, sesuai dengan penjelasan di atas. Dari madrasah inilah dimulai beberapa hal yaitu penataan kembali sistem pendidikan Islam, perbaikan sarana pendidikan, salah satunya dengan membangun gedung dan melengkapi buku-buku perpustakaan. Kemudian yang paling pokok dalam proses transmisi ini adalah penerjemahan karya-karya peradaban Yunani, Persia, Mesir ke dalam bahasa Arab.
Baitul Hikmah di masa khalifah Ma’mun dan Harun Ar-Rasyid menjadi sarana terbesar dalam fase penerjemahan ini, sebelumnya sudah dilakukan penerjemahan tetapi tidak seperti di zaman kedua khalifah ini. Usaha ini tidak semulus yang dibayangkan, karena mendapat tentangan dari kelompok yang dinamakan kelompok Syu’ubiyah. Sebuah kelompok yang terdiri dari orang-orang Yahudi, Yunani, Mesir dan Spanyol, yang melakukan oposisi terhadap khilafah atas proses penerjemahan ini disebabkan anggapan mereka bahwa Islam memiliki hutang-budi kepada peradaban Persia dengan adanya penerjemahan.
Beberapa penerjemah Persia yang terkenal dan produktif antara lain :
1.            George Bakh-Tishu, putra Bakh-Thisu, dokter istana khilafah Abbasiyah.
2.            Zakariya Yuhanna Ibn Musa, dokter di rumah sakit Jundi-Shapur.
3.            Rabban at-Tabari atau Sahl at-Tabari
4.            Ibnul Muqaffa
5.            Muhammad al-Fazari
6.            Hunayn ibn Ishaq[39]
7.            Ishaq ibn Hunayn
8.            Dan lain-lain.
Tidak semua penerjemah yang ada pada masa itu beragama Islam, George Bakh-Tishu dan Hunayn ibn Ishaq adalah pemeluk sekte Nestorian (Ibadi) dan tidak memeluk Islam meskipun berkecimpung dan berjasa besar dalam perkembangan proses transmisi yang ada. Kecintaan terhadap ilmu pengetahuan menjadi dasar mereka melakukan hal-hal yang difasilitasi oleh penguasa muslim. Masa ini juga yang disebut beberapa sejarawan sebagai masa relasi damai antara Islam dan Kristen.
Penyebaran ilmu pengetahuan selanjutnya berkembang kepada dua sisi, pertama ke dalam peradaban Islam sendiri (Timur) dan kedua ke peradaban Eropa (Barat). Transmisi ke peradaban Islam beriring dengan perluasan ke beberapa wilayah di Maghribi Afrika Utara. Dinamika pendidikan Islam di Maghribi, terlihat hampir sama dengan apa yang terjadi di wilayah Arab pada awal Islam. Dimulai dengan masjid, kuttab dan akhirnya berdiri madrasah. Lembaga Madrasah yang pertama berdiri adalah madrasah al-Khulafa’iyin, atau dikenal dengan nama madrasah Ash-Shafarin, dibangun oleh Banu Murin pada tahun 680 H.[40] Kemudian disusul dengan madrasah-madrasah yang lain.
Perluasan kekuasaan Islam ke wilayah Afrika Utara membawa dampak yang besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan perkembangan peradaban secara umum. Dinasti Fatimiyah yang bermazhab Syi’ah memulai kekuasaannya dari wilalyah ini, dan kemudian mengembangkan kekuasaannya ke Kairo dengan perhatian besar terhadap ilmu pengetahuan diaplikasikan dengan mendirikan beberapa madrasah dan tercatat sebagai madrasah terbesar pada saat itu adalah Al-Azhar. Wilayah lain di Afrika Utara tidak luput dari transmisi ilmu, Maroko dan Tunisia merupakan kota besar sebagai pusat penngetahuan, begitu juga dengan Mali di Timbuktu.[41]
Tingginya ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam menjadi insirasi tersendiri bagi peradaban Barat (Eropa), sehingga mereka melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh peradaban Islam dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Ada dua metode yang dikenal dalam proses transmisi ilmu pengetahuan ke Barat, yaitu melalui peperangan (Perang Salib) dan melalui jalur pendidikan.
Perang Salib yang berlangsung beberapa abad, telah membuat elemen-elemen pendidikan Islam tidak berfungsi, mulai dari masjid, madrasah, perpustakaan dan banyak bangunan lain. Namun sesungguhnya dari sinilah proses transmisi ilmu pengetahuan peradaban Islam menyebar ke peradaban Barat. Banyak literatur yang dimusnahkan, tetapi setelah mereka mengetahui akan ketertinggalan Barat, maka mereka mulai mempelajari ilmu dari orang Islam.
Transmisi melalui pendidikan dimulai ketika banyak mahasiswa yang menjadi utusan sebuah Negara di Eropa belajar pada beberapa universitas (madrasah) yang didirikan oleh penguasa muslim, seperti di Andalusia, Cordova, dan beberapa universitas lain. Namun saying, saat ini wilayah Andalusia (Spanyol) yang sempat menjadi pusat ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam, dikuasai oleh orang Kristen-Latin dan tidak menyisakan serta tidak mengakui peradaban Islam.
Barat memulai transmisi ini dengan melakukan gerakan penerjemahan karya-karya berbahasa Arab ke bahasa Latin.[42] Pada fase penerjemahan inilah, Andalusia kembali direbut oleh Barat, seperti wilayah Toledo pada tahun 1080.
Sebelumnya, di Cordova, aktivitas ilmiah mulai berkembang pesat sejak masa pemerintahan Abdurrahman II (822-852 M). Ia mendirikan universitas, memperluas dan memperindah masjid (Abdul Karim, 2007: 239). Cordova kemudian menjadi sangat maju dan tampil sebagai pusat peradaban yang menyinari Eropa. Pada waktu itu, Eropa masih tenggelam pada keterbelakangan dan kegelapan Abad Pertengahan. Penggambaran keadaan Eropa pada masa itu nampak pada kalimat sebagai berikut,  "Jika matahari telah terbenam, seluruh kota besar Eropa terlihat gelap gulita. Di sisi lain, Cordova terang benderang disinari lampu-lampu umum. Eropa sangat kumuh, sementara di kota Cordova telah dibangun seribu WC umum. Eropa sangat kotor, sementara penduduk Cordova sangat concern dengan kebersihan. Eropa tenggelam dalam lumpur, sementara jalan-jalan Cordova telah mulus. Atap istana-istana Eropa sudah pada bocor, sementara istana-istana Cordova dihiasi dengan perhiasan yang mewah. Para tokoh Eropa tidak bisa menulis namanya sendiri, sementara anak-anak Cordova sudah mulai masuk sekolah.[43]
Penerjemahan ini dilakukan secara besar dan menyeluruh, sama seperti ketika Islam melakukan penerjemahan dari karya-karya Yunani. Karya-karya muslim menjadi yang muncul pada peradaban Islam, menjadi sasaran utama bagi gerakan ini. Tidak heran jika saat ini banyak ditemukan karya-karya ilmuwan muslim yang ditulis dalam bahasa Latin.
Akhirnya pada abad XV muncullah gerakan di Eropa yang dinamakan renaissance. Renaissance berasal dari kata renasseimento yang berarti lahir kembali atau rebirth sebagai manusia yang serba baru. Renaissance diartikan sebagai kelahiran kembali atau kebangkitan kembali jiwa atau semangat manusia yang selama Abad Pertengahan terbelenggu dan diliputi oleh mental inactivity. Renaissance disebut juga Abad Kebangkitan karena ia adalah awal kebangkitan manusia Eropa yang ingin bebas dan tidak lagi terbelenggu sebagai kehendak untuk merealisasikan hakikat manusia sendiri. Renaissance merupakan gerakan yang menaruh minat untuk mempelajari dan memahami kembali peradaban dan kebudayaan Yunani dan Romawi kuno.[44]
Pada masa Renaisans Eropa, peradaban Islam sudah memasuki masa kemunduran hebat. Terlihat dari tidak berfungsinya lembaga pendidikan Islam secara utuh dan tidak mampu bersaing dengan peradaban lain.  Ada beberapa factor kemunduran dalam transmisi ilmu pengetahuan ini, antara lain :[45]
1.            Oposisi dari kaum ortodok dalam Islam yang menolak ‘dialog peradaban’ dengan Barat, sehingga menolak semua yang datang darinya.[46]
2.            Kemunduran dimulai sejak penulisan buku ‘Tahafut Al-Falasifah’ oleh Abu Hamid Al-Ghazali.
3.            Invasi Mongol di Baghdad.
4.            Tidak adanya dukungan dari penguasa Muslim (political will) terhadap pengembangan keilmuan.
5.            Hilangnya pecinta ilmu.
6.            Kelemahan dalam tubuh umat Islam sendiri.
Proses transmisi ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam tidak lagi menemukan spirit yang pernah tercipta pada abad pertengahan. Yang tersisa hanya warisan kebesaran intelektual dan euphoria yang membius umat Islam untuk hanya memahami dan mengenang saja. Namun demikian, proses transmisi ini tetap berjalan sampai saat ini, dengan tumbuh dan bermunculan lembaga madrasah dalam dunia Islam dengan varian ciri dan karakter yang berbeda-beda.

4.            Urgensi Madrasah dalam Transmisi Ilmu Pengetahuan
Dari penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa madrasah dengan berbagai bentuknya menjadi subjek vital dalam proses transmisi. Dua kategori lembaga pendidikan Islam yang ada, pra-madrasah dan madrasah itu sendiri memiliki peran yang berbeda, khususnya dalam pengembangan keilmuan. Jika pra-madrasah lebih bersifat penyebaran ilmu agama (fiqh), maka madrasah, dalam prakteknya mengembangkan dan mengintegrasikan Islam dengan ilmu pengetahuan luas.
Ketika transmisi ilmu tidak dapat berkembang dan bahkan mengalami kemunduran yang hebat, saat ini telah muncul kesadaran baru di kalangan ahli pendidikan dengan membuat paradigma berfikir tentang pendidikan akan pentingnya reintegrasi islam dan ilmu pengetahuan[47]. Hal ini merupakan ekspresi baru dalam mewujudkan madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam yang menjadi pusat pengembangan peradaban serta menjadi pusat transmisi ilmu pengetahuan.
Sebelumnya, beberapa pemikir muslim telah mengeluarkan ide besar tentang urgensi paradigma reintegrasi, seperti Ismail Raji Al-Faruqi dengan tema Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Dikatakan bahwa salah satu sebab pokok kemunduran umat Islam dalam proses transmisi ilmu pengetahuan adalah sikap malaismei yang mewabah dan menjangkiti umat Islam sendiri.[48] Umat Islam harus disadarkan dan ditempa dalam kedisiplinan untuk mengungkapkan relevansi Islam sepanjang zaman, didasari tiga sumbu tauhid, yaitu :
1.            Kesatuan Pengetahuan antara aqli dan naqli.
2.            Kesatuan Hidup.
3.            Kesatuan Sejarah.
Kesadaran akan ketiga sumbu tersebut dimulai dari pembenahan sistem madrasah (lembaga pendidikan) menuju proses transmisi pengetahuan. Pemaduan sistem dan manajemen madrasah Islam dengan manajemen modern akan menghasilkan keuntungan-keuntungan seperti yang telah kita saksikan dari sejarah kegemilangan transmisi ilmu dalam peradaban Islam.
Senada dengan al-Faruqi, Fazlur Rahman dengan pendidikan modernnya, menekankan pentingnya memahami kembali bagaimana konsep awal pendidikan Islam pada abad pertengahan untuk kemudian diaplikasikan pada saat ini. Harus ada pembaharuan dalam pendidikan Islam sehingga tercipta bentuk baru pola manajemen pendidikan, khususnya di madrasah dengan berbagai bentuknya.

C.           Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat dituliskan beberapa catatan :
1.            Sejarah lembaga pendidikan Islam dibagi menjadi dua kategori, yaitu pra-madrasah dan madrasah  itu sendiri. Pra-madrasah adalah lembaga pendidikan dengan varian nama dan bentuk yang tidak memakai istilah atau nama madrasah. Sedangkan madrasah merupakan istilah yang dipakai untuk lembaga pendidikan Islam dengan manajemen lebih maju (modern) dan holistik. Nama madrasahi mulai digunakan sejak abad 4 H.
2.            Madrasah menjadi wadah utama dalam transmisi ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam, meskipun belum menggunakan nama madrasah. Ini terlihat dengan adanya beberapa lembaga pendidikan seperti maktabah, masjid, dll yang berfungsi sama seperti madrasah.
3.            Transmisi ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam dimulai dengan ‘dialog’ antara peradaban Islam dengan peradaban lain, seperti Yunani, Persia, Aleksandria (Mesir) dan peradaban Hindu. Efek dari ‘dialog’ inilah yang menjadikan proses transmisi menjadi lebih berkembang, hingga dapat memperluas wahana ilmu pengetahuan baik dalam peradaban Islam sendiri ataupun pada peradaban Barat (Eropa).
4.            Peradaban Eropa (Barat) yang mengalami renaisans sampai saat ini, terispirasi dari peradaban Islam yang lebih dulu melakukan berbagai inovasi, seperti gerakan penerjemahan, dll. Apa yang dilakukan Barat untuk mengembangkan ilmu pengetahuannya adalah mirip atau sama dengan apa yang dilakukan oleh umat Islam dalam mencapai Golden Age.
5.            Saat ini, transmisi ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam tidak menenmukan spirit karena beberapa hal, sehingga perlu adanya usaha reintegrasi Islam dan pengetahuan agar dapat mencapai puncak peradaban.































DAFTAR PUSTAKA

Armando, Nina M., (et. al), Ensklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2005).

Arnold, Sir Thomas & Alfred Guillaume, The Legacy of Islam, (Oxford: Clarendon Press, 1931).

‘Aziz, Muhammad ‘Adil Abdil, At-Tarbiyah al-Islamiyah fi Al-Maghrib, (Kairo: T.P., 1987).

Azra, Azyumardi, Islamic Education and Reintegration of Sciences, makalah tidak diterbitkan.

Blanchard, Christopher M., Islamic Religious Schools, Madrasas: Background, (New York: CRS Report, 2008).

Fahmi, Asma Hasan, Sejarah dan Fihafat Pendidikan Islam, edisi Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1979).

Al-Faruqi, Ismail Raji, Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1995).

Hasan, Hasan Ibrahim, Tarikh al-Islam al-Siyasi Wa al-Dini Wa al-Tsaqafi Wa al-Ijtimai.,]uz 4 Cet-IV (Mesir, Maktabah al-Nahdlah, 1967).

Hitti, Philip Khuri, The Origins of Islamic State, Vol. I (New York: Longman, 1916).

Hitti, Philip K., The History of Arabs; Rujukan Induk Paling Otoritatif tentang Sejarah Peradaban Islam, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta, 2005).

Iqbal, Muzaffar, Science and Islam, (London: Greenwood Press, 2007).

Lulat, YGM., A History of African Higher Education from Antiquity to the Present: A Critical Synthesis, (USA: Greenwodd Publisher, 2005).

Makdisi, George, The Rise of Colleges Institution of Learning in Islam, Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981.

Al-Maqrizi, al-Mawaizh wa al-I'tibar bi-Dzikr al-Khithath via al-Atsar. 2 Vol., (Beirut: Dar Shadir, t.t.). 

Munawwir, Ahmad Warson, Al-MunawwirKamus Arab Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997).

Nakosteen, Mehdi, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat : Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, terj. Joko S. Kahhar, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996).

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1993).

Rahman, Fazlur, Islam dan Modernitas Tentang Transformasi Intelektual, (Bandung: Pustaka, 1995)

Said, Muhammad Ra'fat, Rasulullah SAW. Profil Seorang Pendidik: Methodologi Pendidikan dan Pengajarannya, edisi Indonesia, (Jakarta: Firdaus, 1994).

Salam, Aiman Syahin, Al-Madaris Al-Islamiyah fi Misro fi Al-Ashr Al-Ayyubi, (TK., TP., 1999).

Soekarno dan Ahmad Supardi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung, Angkasa: 2001).

Suhamihardja, Agraha Suhandi, Sejarah Pemikiran Modern; Tonggak Perkembangan Ilmu Pengetahuan. (Bandung: Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, 2002).

Syalabi, Ahmad, Sejarah Pendidikan Islam, edisi Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1973).

Al-Wakil, Muhammad Sayyid,  Wajah Dunia Islam Dari Dinasti Bani Umayah Hingga Imperialisme Modern. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998).

Team, Khilafah, Science and Islam, (London: Khilafah Publication, 2002).

Zarkasyi, Hamid Fahmy, Membangun Kembali Peradaban Islam Secara Sinergis, simultan dan konsisten, makalah tidak diterbitkan.

http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php
http://ishacovic.multiply.com


[1] Kemajuan peradaban negara-negara Eropa (Renaisans) dimulai ketika Colombus menemukan Benua Amerika dan Vasco De Gama menemukan jalur ke wilayah Timur untuk perdagangan. Dari sinilah interaksi perdagangan dan keilmuan berkembang. Lihat Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1993), hlm. 174-175.
[2] Serbuan tentara Mongol menghancurkan pusat-pusat pendidikan Islam. Ibid, hlm. 85.
[3] Kaum Muslim yang berpendidikan, menghormati para cendekiawan Yahudi dan Kristen selama abad-abad pembentukan dan pematangan perkembangan kebudayaannya. Ini terlihat ketika para cendekiawan Nestorian, menduduki posisi terhormat di istana Khalifah Muslim. Lihat Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat : Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, terj. Joko S. Kahhar, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), hlm. 5.
[4] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 398.
[5] Kata Madrasah digunakan hanya dalam istilah yang ada pada agama Islam. http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php
[6] Nina M. Armando (et. al), Ensklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2005), hlm. 205.
[7] Christopher M. Blanchard, Islamic Religious Schools, Madrasas: Background, (New York: CRS Report, 2008), hlm. 2.
[8] http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php
[9] Hamid Fahmy Zarkasyi, Membangun Kembali Peradaban Islam Secara Sinergis, simultan dan konsisten, makalah tidak diterbitkan. Didownload dari situs http://ishacovic.multiply.-com/journal/item/55/Membangun_Kembali_Peradaban_Islam_Secara_Sinergis_simultan_dan_konsisten
[10] George Makdisi,  The Rise of Colleges Institution of Learning in Islam, Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981, hlm. 9-10. Tentang pembagian ilmu, dijelaskan bahwa peradaban Arab awal Islam mengenal ilmu pengetahuan terbagi kepada dua macam yaitu ilmu agama dan ilmu tentang tubuh manusia (jinsiyah) atau ilmu pengobatan. Lihat Hitti, Philip K., The History of Arabs; Rujukan Induk Paling Otoritatif tentang Sejarah Peradaban Islam, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta, 2005), hlm. 318.
[11] Ibid, hlm. 24.
[12] Soekarno dan Ahmad Supardi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Bandung, Angkasa: 2001, hlm. 31-50.
[13] Istilah "madrasah" dalam peradaban Islam belum ada pada zaman Nabi dan para sahabat, madrasah baru lahir pada abad ke-4 H. Lihat Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam al-Siyasi Wa al-Dini Wa al-Tsaqafi Wa al-Ijtimai.,]uz 4 Cet-IV (Mesir, Maktabah al-Nahdlah, 1967), hlm. 425O. 
[14] Muhammad Ra'fat Said, Rasulullah SAW. Profil Seorang Pendidik: Methodologi Pendidikan dan Pengajarannya, edisi Indonesia, Jakarta: Firdaus, 1994, hlm. 93 dan 108.
[15] Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Fihafat Pendidikan Islam, edisi Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 35-36.
[16] Soekarno dan Ahmad Supardi, Ibid,,hlm. 45.
[17] Soekarno dan Ahmad Supardi, Ibid,,hlm. 57.
[18] Darul Qurra’ artinya Rumah para Penghafal Qur’an. Abdullah bin Ummu Maktum berasal dari Bani Amir bin La’i, ibunya bernama Ummu Maktum, Atikah binti Abdillah Al-Makhzum, masih termasuk anggota Qabilah Bani Makhzum. Ulama berbeda pendapat tentang siapa ayahnya, ada yang mengatakan bahwa ayahnya adalah Za’id bin ‘Ashim. Namun ada pula yang mengatakan ayahnya adalah Qays bin Malik Al-‘Amiri. Lihat Aiman Syahin Salam, Al-Madaris Al-Islamiyah fi Misro fi Al-Ashr Al-Ayyubi, (TK., TP., 1999), hlm. 26-27.
[19] Dari rumah qurra’ inilah mulai menyebar orang-orang yang mengajarkan al-Qur’an ke berbagai penjuru. Dan dikatakan bahwa guru-guru (transmitter) paling pertama dalam Islam adalah para qurra’. Lihat Philip K. Hitti, The History of Arabs; Rujukan Induk Paling Otoritatif tentang Sejarah Peradaban Islam, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta, 2005), hlm. 317.
[20] Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat : Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, terj. Joko S. Kahhar, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), hlm. 60.
[21] Philip K. Hitti, Ibid, hlm. 316.
[22] Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, edisi Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 132-133.
[23] Mehdi Nakosteen, Ibid, hlm. 65.
[24] Mehdi Nakosteen, Ibid, hlm. 63.
[25] Lihat Aiman Syahin Salam, Al-Madaris Al-Islamiyah fi Misro fi Al-Ashr Al-Ayyubi, (TK., TP., 1999), hlm. 28-29.
[26] Lihat Aiman Syahin Salam, Al-Madaris Al-Islamiyah fi Misro fi Al-Ashr Al-Ayyubi, (TK., TP., 1999), hlm. 29-31.
[27] Pada abad ke-4 H, Syi'ah telah tumbuh menjadi faham dan gerakan keagamaan yang kuat yang berkembang dihampir seluruh dunia Islam. Syi'ah tidak hanya merupakan gerakan politik tetapi juga gerakan ilmu pengetahuan yang secara aktif dan sistematis menyebarkan ide-idenya melalui lembaga-lembaga pendidikan. Keadaan ini sangat menantang kaum Muslim dari kalangan Sunni. Karena itu mereka membangun Madrasah-Madrasah sebagai lembaga pendidikan yang oleh para ulama fiqih kemudian digunakan untuk mengembangkan sekaligus mempertahankan faham Ahlussunah. Catatan tentang madrasah syi’ah dan sunni mulai abad ke 4 H (10 M) dapat dilihat pada Mehdi Nakosteen, Ibid, hlm. 58.
[28] Ahmad Syalabi, Ibid,  hlm. 132-133 
[29] Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam al-Siyasi Wa al-Dini Wa al-Tsaqafi Wa al-Ijtimai.,]uz 4 Cet-IV (Mesir, Maktabah al-Nahdlah, 1967), hlm. 425O 
[30] Al-Maqrizi, al-Mawaizh wa al-I'tibar bi-Dzikr al-Khithath via al-Atsar. 2 Vol., (Beirut: Dar Shadir, t.t.), h. 212 dan 380. 
[31] Di tahun 859 M, tercatat dalam Guinnes Book of Records sebagai tahun pertama madrasah secara kelembagaan berdiri dalam peradaban Islam.
[32] YGM. Lulat, A History of African Higher Education from Antiquity to the Present: A Critical Synthesis, (USA: Greenwodd Publisher, 2005), hlm. 69.
[33] Aiman Syahin Salam, Al-Madaris Al-Islamiyah fi Misro fi Al-Ashr Al-Ayyubi, (TK., TP., 1999), hlm. 8-9.
[34] Mehdi Nakosteen, Ibid, hlm. 252.
[35] Mehdi Nakosteen, Ibid, hlm. 15.
[36] Penaklukan Aleksandria dapat dilihat pada Philip Khuri Hitti, The Origins of Islamic State, Vol. I (New York: Longman, 1916), hlm. 346. Buku ini adalah terjemahan dari Kitab Futuh Buldan karya Ahmad bin Yahya Al-Baladhuri.
[37] Mehdi Nakosteen, Ibid, hlm. 18-20.
[38] Kota Shapur berasal dari nama putra Raja Ardeshir, Shapur, meskipun penisbatan ini menjadi perdebatan di kalangan sejarawan. Orang Arab menyebut kota ini dengan Jandi-Sabur atau Jundaysabur atau Gundi-Shapur. Lihat Mehdi Nakosteen, Ibid, hlm. 25.
[39] Hunayn ibn Ishaq disebut sebagai great translator, karena sebagai Ketua Tim Penterjemah dan karya-karyanya juga menjadi sumber penting dalam proses transmisi ilmu pengetahuan. Lihat Sir Thomas Arnold & Alfred Guillaume, The Legacy of Islam, (Oxford: Clarendon Press, 1931), hlm. 318.
[40] Muhammad ‘Adil Abdil ‘Aziz, At-Tarbiyah al-Islamiyah fi Al-Maghrib, (Kairo: T.P., 1987), hlm. 44.
[41] YGM. Lulat, A History of African Higher Education from Antiquity to the Present: A Critical Synthesis, (USA: Greenwodd Publisher, 2005), hlm. 69.
[42] Muzaffar Iqbal, Science and Islam, (London: Greenwood Press, 2007), hlm. 103.
[43] Muhammad Sayyid Al-Wakil,  Wajah Dunia Islam Dari Dinasti Bani Umayah Hingga Imperialisme Modern. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998), hlm. 137.
[44] Agraha Suhandi Suhamihardja, Sejarah Pemikiran Modern; Tonggak Perkembangan Ilmu Pengetahuan. (Bandung: Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, 2002), hlm. 3-5.
[45] Muzaffar Iqbal, Science and Islam, (London: Greenwood Press, 2007), hlm. 124-125.
[46] Hal ini sama dengan fenomena gereja yang menolak ‘ilmu pengetahuan’ sehingga peradaban Barat masuk dalam abad kegelapan (Dark Age). Lihat Khilafah Team, Science and Islam, (London: Khilafah Publication, 2002), hlm. 8-9.
[47] Azyumardi Azra, Islamic Education and Reintegration of Sciences, makalah tidak diterbitkan, dimuat pada situs http://www.ilmupendidikan.net/-2010/03/21/islamic-education-and-reintegration-of-sciences.php. Diakses pada Hari Senin tanggal 19 April 2010.
[48] Ismail Raji Al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1995), hlm. 1-11.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar