Wacana
Intelektual islam di Indonesia : antara Perubahan dan Perkembangan
Pendahuluan
Beragamnya corak pemikiran
keagamaan yang berkembang dalam sejarah Islam di Indonesia—dari Islam yang
bercorak sufistik, tradisionalis, revivalis dan modernis hingga neo-modernis—dengan
jelas memperteguh kekayaan khazanah keislaman negeri ini. Fenomena ini juga
membuktikan beragamnya pengaruh yang masuk ke dalam wacana Islam yang
berkembang di kepulauan Nusantara. Dalam perspektif sejarah perkembangan intelektual, ini menunjukkan bahwa
telah terjadi pergeseran visi dan orientasi di dalam corak pemahaman keagamaan
di kalangan Muslim Indonesia
Perode akhir abad ke 16 sampai
akhir abad ke 19 bahkan memunculkan tongggak awal intelektualisme islam di
Indonesia yang cemerlang dengan melalui karya-karya monumental, namun
karya-karya ini belum dikaji secara menyeluruh dan cermat.
Salah satu dimensi
keberagamaan yang inheren dalam Islam di Indonesia adalah dimensi esoterik atau
mistik—di samping dimensi eksoterik—yang dalam terminologi lebih populer
dikenal dengan tasawuf atau sufisme. Sebagai sebuah realitas keberagamaan
penganut Islam, dimensi ini mengalami perkembangan yang alami dan berjalan
beriringan dengan proses tumbuh dan berkembangnya agama Islam itu sendiri.
Tasawuf atau sufisme, seperti dikemukakan Harun Nasution, adalah
terminologi yang lazim digunakan untuk menggambarkan mistisisme dalam Islam.[1]
Tasawuf pada umumnya bermakna menempuh kehidupan zuhud, menghindari
gemerlap duniawi, melakukan berbagai amalan ibadah (riyâdhah rûhâniyyah),
dan sebagainya, dalam rangka memperkuat dimensi keruhanian[2]. Maka
dalam pengertian ini tasawuf adalah upaya menaklukkan dimensi jasmani manusia
agar tunduk kepada dimensi ruhani (al-nafs), melalui berbagai latihan,
sembari bergerak menuju kesempurnaan akhlak serta berupaya meraih pengetahuan
tentang Zat Ilahi dan kesempurnaan-Nya (ma‘rifah al-haqîqah).
Oleh karena
itu, sejalan dengan pengertian di atas, maka tasawuf dimaksudkan sebagai media
untuk meraih hubungan langsung dan kedekatan dengan Tuhan (taqarrub ilallâh)
sehingga benar-benar dapat diwujudkan kesadaran akan adanya komunikasi dan
dialog langsung antara ruh manusia dengan Tuhan melalui kontemplasi dan mengasingkan
diri[3].
Kecenderungan
eroterik ini, dengan demikian, telah menjadi bagian dari aktivisme sebagian
umat Islam di dunia begitu juga di Indonesian dari waktu ke waktu. Maka dalam
praktiknya muncul pula model pemikiran yang melandasi praktik tasawuf mereka,
ada yang cenderung filosofis (falsafi) dan ada yang bersifat praktis (sunni)
dengan senantiasa berpegang teguh terhadap teks-teks suci secara ketat.
Dalam konteks
ini, tasawuf yang berkembang di Nusantara, sebagaimana yang juga berkembang di
dunia pada umumnya, dapat dipetakan ke dalam dua tipologi, yaitu falsafi
dan sunni. Tasawuf falsafi merujuk pada konsep tasawuf yang
dihubungkan dengan mistisisme panteistik Ibnu Arabi. Sedangkan tasawuf sunni
dihubungkan dengan model pengamalan al-Ghazali.
Keberadaan
kedua aliran tersebut bukannya tidak menyisakan persoalan. Tidak jarang terjadi
pergesekan wacana intelektual, bahkan sempat memunculkan polemik serius yang
melibatkan beberapa tokoh sufi terkemuka, terutama pada rentang abad ke-16 M
hingga abad ke-18 M. Oleh karena itu, makalah ini akan membahas wacana
intelektual islam di Indonesia antara perubahan dan perkembangan dalam dinamika
tasawuf falsafi dan tasawuf sunni dengan berbagai pernik-pernik
yang melingkupinya.
Pembahasan
A. Asal usul intelektual
islam di Indonesia
perubahan dan perkembangannya
Terkait
dengan siklus perjalanan sejarah perilaku keberagamaan esoterik umat Islam, Abu
al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, menjelaskan fase perkembangan tasawuf dan
para sufi[4]. Pertama,
fase asketisisme, yang meneropong dinamika umat Islam pada abad pertama dan
kedua hijriyah. Fase ini ditandai dengan munculnya figur-figur umat Islam yang
memiliki kecenderungan memfokuskan aktivitas hidupnya pada dimensi ritual,
dengan tidak terlampau perduli dengan hiruk-pikuk kebendaan. Kecenderungan ini
sudah tampak, meski masih bersifat individual, seperti yang dilakukan oleh
Hasan al-Bashri (w. 110 H) dan Rabi’ah al-‘Adawiyah (w. 185 H)
Fase
selanjutnya, terhitung sejak abad ketiga hijriyah, perhatian para sufi beralih
kepada diskursus jiwa dan tingkah laku. Pada era ini perilaku tasawuf—yang
sebelumnya tampak sebagai sikap alami dan cenderung privacy—kemudian
tumbuh dan berkembang menjadi ilmu moral keagamaan, yang pada perkembangan
selanjutnya mendorong mereka melakukan kajian lebih mendalam tentang akhlak,
terutama membincang persoalan dzat Ilahi dalam hubungannya dengan manusia, yang
kemudian disusul dengan perbincangan tentang fana yang dipelopori oleh
Abu Yazid al-Busthami. Oleh karenanya, tasawuf tidak lagi dipandang sebagai
bagian dari ritualitas keagamaan semata, tapi telah dicanangkan sebagai sebuah
himpunan ilmu-ilmu.
Di samping
itu, dalam rentang abad ketiga hingga keempat hijriyah, dianggap sebagai fase
munculnya institusi sufi yang kemudian dikenal dengan tharîqah
(tarikat), sebuah wadah ‘formal’ pembinaan tawawwuf (sufi order) baik
aspek teoritis maupun prakris. Tokoh-tokoh sufi seperti al-Junaid, al-Sirri
al-Saqathi, dan Kharraz beserta murid-muridnya dapat ditunjuk sebagai bukti
berkembangnya majlis-majlis sufi. Namun, pada saat yang sama muncul pola
pemikiran sufi yang dianggap kontroversial, antara lain diwakili oleh
al-Hallaj, yang kemudian dieksekusi mati pada 309 H lantaran mengusung
pemikiran tentang hulûl.
Pada abad
kelima hijriah muncul Imam al-Ghazali yang menggagas tasawuf dengan landasan
Alquran dan Sunnah. Dia dikenal
sangat kritis terhadap pemikiran falsafi, muktazilah, dan batiniah. Dialah pula
yang kemudian dianggap sebagai perumus prinsip-prinsip tasawuf moderat yang
selaras dengan aliran ahl al-sunnah wa al-jamâ’ah. Sedemikian kuatnya
pengaruh ketokohan al-Ghazali dengan konsep tasawuf yang asketis dan moralis,
terutama pada abad keenam hijriyah, mendorong terjadinya booming
tarikat-tarikat sunni yang dipelopori oleh, misalnya: Syaikh Ahmad al-Rifa’i
(w. 570 H) dan Syaikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani (w. 651 H).
Namun seiring dengan geliat tasawwuf
sunni, yang dipelopori al-Ghazali dan para pengikutnya, pada saat yang sama
muncul kelompok sufi yang pandangan-pandangannya dianggap terpengaruh oleh alam
pemikiran falsafi Yunani, terutama Neo-Platonisme. Di antara tokoh yang dapat
disebut di sini adalah al-Sukhrawardi al-Maqtul (w. 549H) dengan magnum
opus-nya, Hikmah al-Isyraq, Syaikh Akbar Muhy al-Din ibn ‘Arabi
(w. 638 H), ‘Umar ibn al-Faridh (w. 632 H), dan lain-lain.
Tak pelak, kemunculan dua kutub pemikiran ini pada gilirannnya telah pula
melahirkan dua aliran tasawuf[5].
Pertama, tasawuf sunni, yang dalam analisis al-Qusyairi (w.
465 H) dalam al-Risalah, direpresentasikan oleh para sufi abad ketiga dan
keempat Hijriyah, Imam al-Ghazali, dan para pemimpin tarikat lainnya yang
sejalan dengannya.Kedua, tasawuf falsafi. Suatu
kelompok yang memadukan pemikiran tasawuf dengan filsafat. Para
sufi yang juga filosof ini menuai kritik dan kecaman dari para ahli hukum
(fukaha) sebagai reaksi terhadap pernyataan-pernyataan mereka yang dianggap
berbau panteistis. Dan faqîh yang paling keras mengecam di antaranya
adalah Imam Ibnu Taimiyah (w. 728).
Pergumulan
antara tasawuf sunni dan tasawuf falsafi, termasuk di Indonesia, seperti disitir
Abdurrahman Wahid[6]. menjadi
topik yang menarik dikaji lebih lanjut meski hingga pada gambaran yang paling vulgar
sekalipun. Lebih lanjut dia berkomentar, bahwa tasawuf sunni banyak
sekali mengadopsi ajaran-ajaran al-Ghazali melalui tokoh Imam al-Qusyairi (w.
465 H) yang berperan melempangkan jalan bagi al-Ghazali untuk “memenangkan”
tasawuf sunni di Dunia Islam.
Tasawuf sunni
yang merujuk pada model al-Ghazali—yang ketat memegang syariat
Islam—dikembangkan di Aceh oleh Al-Raniri beserta murid-muridnya. Di Jawa,
ajaran itu dikembangkan oleh Wali Sanga. Wali Sanga sendiri, menurut
penelusuran Alwi[7], berasal
dari komunitas yang sama, yakni sebagai keturunan dari Syaikh Ahmad bin Isa
Muhajir dari Hadramaut. Beliau dikenal sebagai tempat pelarian bagi para
keturunan Nabi dari Arab Saudi dan daerah Arab lain yang tidak menganut Syiah.
Komunitas tasawuf Sunni kemudian dikembangkan lewat tarekat dan
pesantren oleh murid-murid dan keturunan Wali Sanga.
Sufisme dan
proses islamisasi di Indonesia
adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Ajaran tasawuf, yang cenderung mistis , telah menunjukkan kemampuannya
dalam menyelaraskan ajaran Islam lewat medium-medium yang telah ada dalam
komunitas yang sarat budaya. Bahkan, sedemikian erat hubungan di antara
keduanya sehingga dapat dikatakan bahwa Islam yang kali pertama dikenal di
Nusantara adalah Islam (bercorak) tasawuf.
Ira M.
Lapidus menunjuk peran kelompok sufi ketika mengulas tiga teori tentang proses
islamisasi di Nusantara[8]. Pertama,
menekankan peran saudagar yang secara sadar melembagakan diri dalam pranata
lokal melalui jalur perkawinan dengan keluarga penguasa pesisir. Langkah ini
telah memunculkan pelbagai keuntungan. Secara politis kedua belah pihak meraih
legitimasi untuk memperoleh tujuan masing-masing, baik secara ekonomis maupun
situasi politik lokal yang tengah terjadi. Kedua, menekankan peran
kaum ‘misionaris’ (pendakwah, ulama, sufi) dari Gujarat, Bengal, dan Arabia. Kehadiran mereka (sufi), di tengah-tengah
komunitas yang sarat budaya itu, mampu mengubah orientasi sikap kebudayaan
masyarakat lokal menyatu dalam dengan ajaran Islam yang inklufis. Uniknya,
dalam proses sosialisasi ajaran Islam, para sufi tidak hanya memerankan dirinya
sebagai guru agama, tapi juga berperan sebagai pedagang dan sekaligus politisi.
Perluasan peran ini, berakibat kian luasnya jaringan yang terbangun sehingga
memungkinkan Islam masuk sampai wilayah pedalaman.
Bahkan, pada
gilirannya mereka mampu mengkomunikasikan visi agama mereka dalam bentuknya
yang selaras dengan keyakinan yang telah eksis di Nusantara. Seperti diakui
Lapidus, beberapa doktrin panteistik yang berkembang di sekitar umat Islam pada
masa awal islamisasi Nusantara dianggap sebagai pengaruh kuat ajaran Hindu.
Demikian halnya dengan sikap pemujaan terhadap figur-figur wali juga tidak
lepas dari pengaruh doktrin sebelumnya.
Ketiga,
lebih menekankan makna Islam bagi masyarakat kebanyakan ketimbang bagi kelompok
elit penguasa. Dalam amatan Lapidus, pada konteks ini Islam diangap telah
berhasil menyumbangkan sebuah landasan ideologis bagi kebajikan individual,
solidaritas kaum tani, komunitas pedagang, dan bagi integrasi kelompok parochial
yang lebih kecil menjadi komunitas yang lebih besar. Tampaknya, teori ini
bermaksud menjelaskan bagaimana peran individu dalam proses islamisasi mampu
membawa Islam menyatu dalam kebudayaan lokal tanpa harus menggunakan tangan
kekuasaan, atau meminjam istilah Badri Yatim[9].
sebagai proses islamisasi secara struktural.
Munculnya
tiga teori tersebut paling tidak menyadarkan kita bahwa sejarah islamisasi
Nusantara tidak mengenal apa yang disebut dengan proses tunggal. Dalam arti
kata lain, diyakini banyak ruang yang dibuka dan sekat yang ditembus untuk
menyosialisasikan ajaran Islam di tengah masyarakat. Namun kita tentu sepakat
dalam satu hal, bahwa dalam proses ini para sufi dan pedagang—juga sufi yang
pedangan atau pedagang yang sufi—telah memainkan perannya yang sangat
signifikan dan sentral.
Jika kita
menengok tradisi Islam di sekitar wilayah India dan Timur Tengah, terutama
struktur organisasi sufi, maka hampir akan selalu ditemukan suatu pondokan atau
Zawiyah yang digunakan tempat berkumpul murud sufi yang hendak
melakukan wirid atau suluk. Oleh karena itu, menurut Nurcholis Madjid, tradisi
mendirikan Zawiyah ini kemudian merembes ke wilayah Nusantara, hinga
pada masa berikutnya menjadi cikal bakal pondok pesantren yang dikenal saat ini[10].
Ini membuktikan bahwa sufi juga memainkan perannya dalam mewariskan pranata
pendidikan, sebagai salah satu wahana penyebaran Islam di Nusantara.
Dengan
demikian, tasawuf sebagai faktor penting islamisasi di Nusantara menjadi hal
yang tak terbantahkan. Namun akan muncul persoalan mengenai kedatangan tarikat,
apakah bersamaan dengan Islam atau datang kemudian[11].
Demikian halnya perbedaan muncul menyangkut keberadaan tasawuf falsafi
yang diasumsikan oleh sebagian orang sebagai sumber inspirasi penentuan metode
dakwah yang dipilih dalam proses penyebaran Islam di Nusantara[12].
Namun Alwi
menampik asumsi tersebut. Dia justeru berkesimpulan sebaliknya, bahwa inisiatif
dakwah Islam di Nusantara berada pada lingkaran tasawuf sunni, bukan
tasawuf falsafi. Lebih lanjut dia menunjuk bukti kecenderungan para
dai pada waktu itu dalam menyampaikan dakwahnya melalui konsep yang ditunjukkan
kelompok ‘Alawiyyin—yang sangat terikat dalam aturan tasawuf sunni—yakni
dengan praktik, keteladanan, dan pengajaran yang baik. Metode semacam itu
terbukti efektif. Penyebaran Islam yang dimotori ‘Alawiyyin mengalami
sukses yang berarti, dimulai di Sumatera pada abad ke-13 M, dan kemudian
berkembang pesat di pulau Jawa pada abad ke-15 M dan abad ke-16 M dengan
tokoh-tokoh sentral Wali Sanga.
Memang, tak
ditemukan bukti yang meyakinkan tentang pengakuan para dai terkait dengan homebase
aliran tasawuf yang menjadi tradisinya. Namun, dalam beberapa kesempatan para
dai tersebut acapkali mengatasnamakan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.[13] Hal
ini kemudian mendorong Pigeand (1967), seperti dikutip Alwi, membuat
klasifikasi umat Islam Indonesia antara abad ke-15 dan ke-19 menjadi dua
golongan, yakni golongan sufi dan golongan Ahl al-Sunnah wa
al-Jama’ah. Demikian pendapat Pigeand.
Kelompok pertama menunjuk kepada
komunitas penganut tradisi tasawuf falsafi, seperti Hamzah Fansuri dan
al-Sumatrani di Sumatera, dan Ronggowarsito di Jawa yang notabene
menganut aliran panteisme. Sementara itu, Pigeand tidak menyebut kelompok kedua
sebagai sufi lantaran tidak menganut panteisme. Tolok ukur semacam ini jelas
tidak benar, karena dalam kriteria yang lebih ortodoks, kelompok kedua justeru
lebih laik disebut sebagai sufi sejati. Lagi pula, kriterium yang diajukan
Pigeand bermuara pada penafian klasifikasi tasawuf sunni, di samping tasawuf
falsafi.. Pembagian tasawuf falsafi dan tasawuf sunni hanya apologi pihak-pihak
yang tidak suka dengan filsafat. Dan oleh karenanya klasifikasi itu keliru.
Bebeda dengan
kesepakatan di atas, menyangkut peran penting sufi dalam penyebaran Islam,
Cristian Snouck Hurgronje (1913), menilai ajaran-ajaran tasawuf pada saat itu
tidak lebih dari sekadar bid’ah dan dongeng-dongeng yang tidak ada hubungannya
dengan Syariat. Dan, justeru inilah yang secara tidak sadar yang menimbulkan
simpati masyarakat terhadap ajaran tasawuf, yang memang kukuh memegang
keyakinan terdahulu. Hal senada dikemukakan Supardi (1978). Dia mensinyalisasi
adanya upaya akomodasi para dai terhadap kepercayaan lokal Hindu atau Budha.[14]
Malahan, secara agak diplomatis Azyumardi Azra[15].
memuji kemahiran para sufi dalam mengemas Islam yang dianggap lebih atraktif
dan menarik.
Terlepas dari
perbedaan pandangan di atas, pola penyebaran Islam yang dilakukan sufi,
disadari atau tidak, telah berupaya melakukan penyelarasan dengan tradisi
lokal. Dan faktor inilah yang kemudian menimbulkan simpati masyarakat untuk
bergabung dengan Islam, yang diangapnya memiliki kesesuaian dengan doktrin
sebelumnya. Dalam arti kata lain, faktor keberhasilan dakwah para sufi, baik
sunni maupun falsafi, tidak sepenuhnya berada pada substansi ajaran, tapi lebih
pada metode atau pendekatan yang digunakan.
Sementara itu,
menjelang akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20—ketika bangsa Indonesia,
termasuk kalangan Muslim terpelajarnya berkenalan dengan ide-ide Barat secara
lebih intensif—telah secara signifikan mempengaruhi cara pandang masyarakat
Islam, terutama para cendekiawannya, untuk lebih memahami dan
mereaktualisasikan ajaran-ajaran Islam ke dalam realitas sosial mereka. Dalam
konteks ini, muncul sejumlah pemikir Muslim Indonesia seperti Moh. Natsir
dan Agus Salim, dan beberapa dekade sebelumnya telah muncul berbagai gerakan
pembaharuan Islam seperti Muhammadiyah dan Persis yang sudah mulai melibatkan
pemikiran keislaman mereka dengan berbagai tantangan sosial dan budaya bahkan
kebangsaan yang mereka hadapi saat itu. Namun demikian, karena pada saat yang
hampir bersamaan juga muncul pengaruh pemikiran Islam dari luar, khususnya
negeri-negeri Arab, corak pemikiran Islam ini lebih cenderung puritan, sehingga
terkadang juga disebut ortodoks. Tidaklah mengherankan, meskipun sudah berkenalan dengan
gagasan-gagasan modernisme yang sekuler, masih ditemukan ide-ide puritan
mengenai wawasan keagamaan dan kebangsaan yang secara ideologis mencita-citakan
negara "Islam". Kecenderungan seperti ini cukup dominan mewarnai
corak pemikiran keagamaan kalangan yang kemudian sering disebut sebagai Muslim
modernis awal tersebut.
Hingga awal abad
ke-20, pusat-pusat studi Islam tertinggi bagi kalangan masyarakat Muslim
Nusantara masih berada di wilayah Timur Tengah, khususnya Mekah, Saudi Arabia,
sebelum akhirnya bergeser ke Kairo, Mesir. Meskipun demikian, patut
dicatat adanya beberapa upaya yang dilakukan oleh kalangan terpelajar Muslim
pada tahun 1930-an untuk mendirikan berbagai lembaga pendidikan tinggi yang
diharapkan setingkat dengan lembaga akademis.
Pada tahun 1960,
pemerintah secara resmi mendirikan IAIN (Institut Agama Islam Negeri) di
Jakarta dan Yogyakarta, yang merupakan perpanjangan dari lembaga pendidikan
tinggi agama yang telah dikembangkan jauh sebelumnya pada tahun 1940-an. Sampai
pada dekade 1960-an, IAIN hanya memiliki ratusan mahasiswa dan umumnya masih
mengandalkan dosen-dosen dari kalangan pesantren, sarjana Indonesia lulusan
Timur Tengah dan lulusan IAIN sendiri.
Pada era 1970-an,
wacana pembaharuan pemikiran keislaman semakin marak. Generasi muda dari
kalangan terpelajar Muslim pada dekade ini sudah lebih menunjukkan
kecenderungan pemikiran yang tidak lagi normatif memandang agama.
Mereka—tidak seperti pada masa Islam yang bercorak mistis dan sufistik—kemudian
lebih tertarik dengan pemahaman keislaman yang berdasarkan kepada
pendekatan-pendekatan empiris dan historis di dalam pembentukan visi
keagamaannya. Hal itu, misalnya, dengan tepat digambarkan oleh Richard C.
Martin, Mark R. Woodward dan Dwi S. Atmaja yang mengatakan bahwa:
“Indonesian Muslim intellectuals
are increasingly concerned with the questions of the proper role of Islam in
national development and how Islamic values can be reconciled with Western
rationalism, rather than with the nature of an Islamic state...What
distinguishes thinkers associated with this movement from earlier modernists is
the combination of empirical and historical approaches they employ in
formulating a vision of an Islamic society.”[16]
Tidak dapat disangkal bahwa perubahan visi dan orientasi
itu sejalan dengan masuknya pengaruh pembaharuan Islam, yang utamanya, dibawa
oleh kelompok Muslim modernis "generasi kedua" ini. Namun demikian,
jelas sekali bahwa perkembangan wacana intelektual Islam seperti yang dimaksud
oleh Martin, Woodward dan Atmaja di atas sudah memasuki babak baru, karena
sudah menyangkut metodogi yang lebih empirik dan historis yang dipergunakan di
dalam memformulasikan masalah keislaman dan masalah kemasyarakatan. Begitu juga
sejak dibukanya program pascasarjana di lingkungan IAIN pada tahun 1982,
pengaruh pendekatan historis dan empiris seperti ini sudah sedemikian nyata. Dalam konteks seperti ini, IAIN
dapat dilihat sebagai sebuah institusi pendidikan tinggi Islam yang memberikan
"wadah" dan kesempatan bagi kalangan Muslim terpelajar untuk
mengembangkan tradisi studi Islam yang empiris dan tidak lagi
normatif.
Dengan
demikian, bisa dilihat adanya pergeseran orientasi dan visi yang signifikan di
dalam mendekati, memahami dan mengkaji Islam di kalangan terpelajar Muslim
Indonesia ini. Perkembangan ini menunjukkan semakin menguatnya kecenderungan
untuk melihat Islam dan masayarakat Muslim sebagai sebuah obyek studi,
penelitian dan pengkajian--tidak melulu sebagai sesuatu yang harus “dipeluk”
dan “diimani” saja--sehingga hasil-hasil studi yang dilakukan bukan saja tidak
melulu diharapkan bersifat apologetik dan merupakan “pembenaran” terhadap agama
yang dianutnya, melainkan juga bersikap kritis. Sikap ini penting untuk dilihat
secara lebih seksama, mengingat aspek-aspek seperti inilah yang bisa mendorong
tumbuhnya tradisi ilmiah di kalangan terpelajar Muslim, khususnya seperti
mereka yang menyerap dan mewarisi tradisi seperti itu di lembaga pendidikan
Islam seperti IAIN. Seperti yang akan kita bahas lebih lanjut, inilah
aspek-aspek terpenting dari awal mula peranan IAIN di dalam wacana intelektual
berupa perluasan horison pemikiran Islam di Indonesia.
B. Wacana Krusial dan Tokoh Mistiko
Filosofi
Isu utama yang mencuat dalam
diskursus tasawuf falsafi adalah tentang doktrin wahdatul wujud atau wujudiyah.
Doktrin ini berpusat pada ajaran tentang penciptaan alam dan manusia melalui
penampakan diri Tuhan dalam tujuh martabat.[17]
Konsep ini kemudian dikenal dengan teori “martabat tujuh” yang terdiri dari ahadiyah,
wahdah, wahidiyah, alam misal, alam arwah, alam ajsam, dan insan kamil.
Teori yang ide dasarnya berasal dari ajaran Ibnu Arabi ini, untuk kali pertama
dikembangkan oleh Ibnu Fadlullah al-Burhanpuri dalam Tuhfah al-Mursalah ila
Ruh al-Nabi.[18]
Dikursus wahdatul wujud atau wujudiyah
selalu menjadi bahan polemik di kalangan ulama sufi. Dan, klimaks dari
polemik ini terjadi di Aceh pada kurun abad ke-17. Menurut Oman[19], disinyalisasi
paling tidak ada dua faktor utama yang memicu terjadinya polemik, yaitu faktor
politis dan faktor yang timbul disebabkan perbedaan pemahaman terhadap konsep
tersebut. Dalam sejarahnya, polemik itu berakhir tragis, dengan pembakaran
karya-karya Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani serta pengejaran bahkan
pembunuhan terhadap pengikut-pengikutnya yang enggan bertobat.
Berikut ini
akan dikemukakan empat orang tokoh sufi yang memiliki keterkaitan dengan
polemik konsep wahdatul wujud atau wujudiyah. Yakni: Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani,
Nuruddin al-Raniri, dan Abdurrauf al-Sinkili. Nama yang pertama dan kedua
dianggap sebagai aktor utama pengusung konsep tersebut, sedangkan yang dua nama
terakhir merupakan penanggap atas konsep dimaksud.
Pertama, Hamzah Fansuri. Dia seorang cendikiawan ulama
tasawuf, satrawan, dan budayawan terkemukan yang diperkirakan hidup antara
pertengahan abad ke-16 sampai awal abad ke-17. nama gelarannya atau takhallus
yang tercantum di belakang nama kecilnya memperlihatkan bahwa pendekar puisi
dan ilmu suluk ini berasal dari Fansur, sebutan orang-orang Ara terhadap Barus.[20]
Lebih tegas Alwi Shihab menulis, bahwa
Hamzah diperkirakan hidup pada masa Sultan Ala’uddin Ri’ayat Syah dan pada awal
pemerintahan Sultan Iskandar Muda di Kerajaan Aceh antara tahun 1550-1605 M,
seperti termaktub dalam tulisannya[21]. Dalam karya-karyanya disebutkan bahwa
dia menguasai dua bahasa asing: Arab dan Persia, disamping bahasa aslinya,
Melayu Indonesia.
Kedua, Syamsuddin
al-Sumatrani. Ia adalah murid dan sahabat hamzah Fansuri yang mengkaji insan
Kamil melalui martabat tujuh yang sebelumnya dicetuskan oleh Muhammad Ibn
fadlil al-Burhanpuri (w. 1620 M) di Gujarat. Syamsuddin adalah salah seorang
tokoh tasawuf falsafi yang mendapat kecaman dari al-Raniri.
Ketiga,
Nuruddin al-Raniri. Adalah salah seorang murid Sayyid Abd al-Qadir al-Idrus,
keturunan Arab bermazhab Syafi’i, dan dilahirkan di Ranir, India.
Dia menetap di Aceh, Sumatera, selama tujuh tahun sebagai mufti. Dalam bidang
tulis menulis, dia sangat produktif. Menulis tidak kurang dari 3o judul buku.
Dikenal banyak melakukan kritik terhadap pemikiran-pemikiran Hamzah Fansuri dan
Syamsuddin al-Sumatrani yang beraliran tasawuf falsafi.[22]
Keempat,
Abdurrauf al-Sinkili. Adalah seorang Melayu dari Fansur, Sinkil, di wilayah
pantai barat, laut Aceh. Ayahnya adalah seorang Arab bernama Seikh Ali. Hingga
saat ini tidak ada data pasti mengenai tanggal dan tahun kelahirannya.
Abdurrauf telah belajar agama di tanah kelahirannya, baik dari ayahnya sendiri
maupun dari para ulama setepat lainnya, hingga pada sekitar tahun 1642, ia
mengembara untuk menambah pengetahuan agama ke tanah Arab.
C. Respons dan Pergulatan Wacana Intelektual islam di Indonesia
Tidak seperti
yang dibayangkan banyak orang, ternyata dunia tasawuf menunjukkan dinamika yang
mengagumkan, seperti yang disinyalisasi Abdul Hadi WM.[23]
Menurut dia, tradisi tasawuf—dalam hal ini para sufi—telah berhasil menciptakan
peradabannya sendiri yang khas. Melalui tangan-tangan mereka telah lahir
karya-karya monumental dalam berbagai bidang, seperti seni, terutama sastera,
hukum, dan sebagainya.
Lebih lanjut
Abdul Hadi menjelaskan, bahwa keunggulan kretivitas para sufi—yang muncul dalam
masterpice mereka—terletak pada keselarasan dan keluasan diskursus
yang dikemukakan, yakni mencakup psikologi, teologi, estetika, falsafah,
metafisika, dan antropologi budaya. Terutama dalam karya sastra, puisi-puisi
yang ditulis para sufi memiliki kedalaman perasaan dan pikiran, penuh
imajinasi, dan penggunaan bahasa yang mencerahkan. Karya-karya tersebut menjadi
kian menarik ketika porsi yang diberikan untuk aspek mistik dan estetik
sedemikian proporsional.
Aspek-aspek
ini, dengan demikian, tidak hanya memperlihatkan keindahan ajaran Islam, tetapi
juga berperan memberikan dorongan kreatif dan kekuatan yang luar biasa bagi
umat Islam. Justeru aspek-aspek inilah yang kerapkali diabaikan oleh kelompok
di luar tasawuf. Dari sisi ini jelas, kontribusi dunia tasawuf telah mengambil
bagiannya secara memadai dalam konteks pengembangan kebudayaan umat Islam. Dan
ini patut diapresiasi.
Namun pada
sisi lain dalam sejarah, Islam tasawuf sendiri tidak sepi konflik, khususnya
antara tasawuf sunni dan tasawuf falsafi, bersamaan dengan kemunculan
tarekat-tarekat yang sebagian besar mulai mengorientasikan pandangannya pada
fikih dan syariat.
Pergumulan
wacana mistiko filosofi atau pemikiran tasawuf falsafi di Nusantara, yang oleh
Gus Dur dianggap telah mengambil bentuknya yang paling vulgar, mencuat terutama
peristiwa perseteruan antara Nuruddin al-Raniri versus pengikut ajaran
wujudiyah Hamzah Fansuri dan Syamsudin al- Sumatrani.[24]
Dalam catatan sejarah, kontroversi doktrin wujudiyah di Aceh terjadi
pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Sani (1637-1641 M). Menurut Oman,
latar belakang kontroversi tersebut dimulai ketika Nuruddin al-Raniri (w. 1666)
mengeluarkan pernyataan (fatwa) yang cukup tegas dan sangat kontroversial
bahwa ajaran wujudiyah Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al- Sumatrani
adalah sesat.[25]
Bahkan,
seperti dikemukakan Azyumardi Azra, al-Raniri, yang notabene termasuk
ulama ortodoks tersebut, secara intensif menyebarkan propaganda tentang
kesesatan mereka dan menganggap kelompok ini menganut paham banyak Tuhan
(politeis) yang dengan demikian niscaya untuk dihukum mati.[26]
Melihat
sepintas polemik tersebut menimbulkan pertanyaan, benarkah tasawuf falsafi
telah menyimpang? Menurut Alwi Shihab, Al-Raniri menyerang Fansuri dengan tidak
mengikuti pendekatan “ilmiah obyektif” melainkan cara-cara propaganda
apologetik.[27] Ia
menghujat penganut tasawuf falsafi sebagai murtad yang kemudian dihalalkan
darahnya dan menyebabkan jatuhnya ribuan korban yang tak berdosa.
Meskipun
demikian, Al-Raniri cukup berjasa dalam menancapkan akar tasawuf sunni, tetapi
jasa baik itu tak lantas membuat kita menutup mata dari kesewenang-wenangan
fatwanya tersebut. Demikian Alwi menilai.
Penutup
Kesimpulan.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa,
tasawuf telah memainkan perannya dalam menentukan arah dan dinamika kehidupan
masyarakat. Kehadirannya meski sering menimbulkan kontroversi, namun
kenyataan menunjukkan bahwa ia memiliki pengaruh tersendiri dan laik
diperhitungkan dalam upaya menuntaskan problem-problem kehidupan sosial yang
senantiasa berkembang mengikuti gerak dinamikanya.
Tradisi
tasawuf falsafi dan sunni keduanya sama-sama memiliki akar yang kuat dalam
sejarah intelektual Islam di Nusantara. Tasawuf falsafi pernah memperoleh masa
kejayaannya di Aceh pada masa Syaikh Hamzah Fansuri dan Syaikh Syamsuddin
Sumatrani. Di Pulau Jawa, tasawuf falsafi dikembangkan oleh Syaikh Siti Jenar
beserta murid-muridnya seperti Ki Ageng Pengging dan Jaka Tingkir.
Di Aceh,
tasawuf falsafi mengalami kemunduran sejak munculnya Syaikh Nuruddin Al-Raniri
sebagai mufti kerajaan menggantikan Al-Sumatrani. Ketika itu, terjadi
pembunuhan terhadap penganut tasawuf falsafi dan pembakaran buku-bukunya. Di
Jawa, Syaikh Siti Jenar dieksekusi oleh “dewan Wali Sanga”. Namun, tidak sedikit murid Fansuri dan Siti Jenar
yang sempat menyelamatkan diri. Salah seorang muridnya di Jawa yang kemudian
meneruskan ajaran tersebut adalah Ronggowarsito yang dikenal sebagai pencetus
ajaran Manunggaling Kawula-Gusti.
Wallau a’lam bisshawab
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah
bin Nuh, al-Imam al-Muhajir, Jakarta, tp, 1960
Ali,
Yunasril, Manusia Citra Ilahi, Jakarta: Paramadina, 1997
Abubakar
Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat, Jakarta, tp, 1966
Azra,
Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII
dan XVIII Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia,
Bandung: Mizan, 1999
Dahlan,
Abdul Aziz, Penilaian Teologis atas Paham Wahdat al-Wujud (Kesatuan Wujud)
Tuhan- Alam-Manusia dalam Tasawuf Syamsuddin Sumatrani, Padang: IAIN-IB
Press Padang, 1999
Fathurahman,
Oman, Tanbih al-Masy: menyoal Wahdatul Wujud: Kasus Abdurrauf Singkel di
Aceh Abad 17, Bandung: Mizan, 1999
Hilal,
Ibrahim, Tasauf Antara Agama dan Filsafat: Sebuah Kritik Metodologis,
Terjemahan, Jakarta: Pustaka Hidayah, 2002
Lapidus,
Ira. M., Sejarah Sosial Umat Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1999
Madjid,
Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta:
Paramadina, 1997
Shihab,
Alwi, Islam Sufistik: Islam Pertama dan Pengaruhnya Hingga Kini di
Indonesia, Bandung: Mizan, 2001
Tafzani,
al, Abu al-Wafa al-Ghanimi, Sufi Dari Zaman Kezaman, Suatu Pengantar
Tentang Tasauf, Terjemahan, Bandung, Penerbit Pusaka: 1984
W.M.,
Abdul Hadi, Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya,
Bandung: Mizan, 1995
_______________, Tasawuf Yang Tertindas, Kajian Hermeneutik Terhadap
Karya-Karya Hamzah Fansuri, Jakarta, Paramadina: 2001
[1] Kalangan orientalis Barat biasa
menyebut tasawuf dengan “sufism”. Namun peristilahan ini tidak merujuk kepada
tradisi mistisisme yang dipraktikkan oleh penganut agama-agama lain. Tampaknya
terminologi ini cukup khas bagi tradisi esoterik umat Islam. Harun Nasution, Falsafat
dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), cet. ke-9, h.
56.
[2] Ibrahim Hilal, Tasauf Antara
Agama dan Filsafat: Sebuah Kritik Metodologis, Terjemahan, (Jakarta:
Pustaka Hidayah, 2002), h. 19
[3] Harun Nasution, Falsafat dan
Mistisisme Dalam Islam, h. 56 Pada gilirannya, gambaran tentang kedekatan
dengan Tuhan dapat diwujudkan dalam pelbagai pola, hal mana puncak dari
kedekatan seorang hamba dengan tuhannya dapat mengambil bentuk “ittihad”:
menyatu secara spiritual dengan Tuhan.
[4] Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Tafzani, Sufi
Dari Zaman ke Zaman, Suatu Pengantar Tentang Tasauf, Terjemahan, (Bandung:
Penerbit Pusaka, 1984) h. 16-20
[5] Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Tafzani, Sufi
Dari Zaman ke Zaman, h.18
[6] Abdurrahman Wahid, Antara
Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi, pengantar dalam Alwi Shihab, Islam
Sufistik: Islam Pertama dan Pengaruhnya Hingga Kini di Indonesia, (Bandung:
Mizan, 2001), h. xxi
[7] Alwi Shihab, Islam Sufistik:
Islam Pertama dan Pengaruhnya Hingga Kini di Indonesia, (Bandung: Mizan,
2001), h. 43
[8] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial
Umat Islam, terj. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), h. 720-1
[9] Guru Besar sejarah Islam UIN,
Jakarta.
[10] Nurcholish Madjid, Bilik-bilik
Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 55
[11] Abubakar Atjeh, Pengantar Ilmu
Tarekat, Jakarta, tp, 1966), h. 409
[12] Alwi Shihab, Islam Sufistik: Islam
Pertama, h. 36
[13] Abdullah
bin Nuh, al-Imâm al-Muhâjir, (Jakarta, tp, 1960), h.182
[14] Alwi Shihab, Islam Sufistik: Islam
Pertama, h. 14
[15] Azyumardi
Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan
XVIII Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung:
Mizan, 1999), h. 32
[16] Richard C. Martin, Mark R.
Woodward dan Dwi S. Atmaja, Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism from
Medieval School to Modern Symbol (Oxford, England: Oneworld Publications,
1997), halaman 148
[17] Oman
Fathurahman, Tanbih al-Masy: Menyoal Wahdatul Wujud: Kasus Abdurrauf
Singkel di Aceh Abad 17, (Bandung: Mizan, 1999), h. 21
[18] Azyumardi Azra, ibid, h. 278
[19] Oman
Fathurahman, Tanbih al-Masy: Menyoal Wahdatul Wujud, h. 21
[20] Alwi Shihab, Islam Sufistik: Islam
Pertama, h. 125
[21] Alwi Shihab, Islam Sufistik: Islam
Pertama, h. 125
[22] Alwi Shihab, Islam Sufistik: Islam
Pertama, h. 125
[23] Abdul
Hadi WM, Tasawuf Yang Tertindas, Kajian Hermeneutik Terhadap Karya-Karya Hamzah
Fansuri, (Jakarta,
Paramadina: 2001), h. 1
[24] Abdurrahman
Wahid, Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi, h. xxv
[25] Oman
Fathurahman, Tanbih al-Masy: Menyoal Wahdatul Wujud, h. 36
[26] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur
Tengah, h. 182
[27] Alwi Shihab, Islam Sufistik: Islam
Pertama, h. 264
Tidak ada komentar:
Posting Komentar