Rabu, 30 Mei 2012

Islam Moderen


ISLAM MODEREN

I.             Pendahuluan
Ada dua sisi pandang yang dapat ditelaah pada tema Islam modern, pertama, periodisasi waktu, dan kedua, pola atau corak pemikiran. Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, periodisasi sejarah Islam terbagi pada 3 periode :[1]
1.            Periode Klasik (650-1250 M)
         Meliputi dua masa kemajuan yaitu masa Rasulullah SAW, Khulafaurrasyidin, Bani Umayyah, dan masa-masa permulaan Dawlah Abbasiyah.
2.            Periode Pertengahan (1250-1800 M.)
         Pada periode ini terjadi dua masa kemunduran dan masa Tiga Kerajaan Besar. Turki Utsmani, Daulah Shafawiyah, dan Daulah Mughaliyah di India. Fase tiga Kerajaan Besar mengalami kemajuan pada tahun 1500-1700 M. dan mengalami kemunduran kembali pada 1700-1800 M.
3.            Periode Modern (1800- sekarang)
         Pada periode ini umat Islam banyak belajar dari dunia Barat dalam rangka mengembalikan balance of power. Dalam era ini Islam mulai bangkit kembali dengan melakukan pembaharuan (tajdid)
Dilihat dari corak pemikiran, Islam modern yang bertumpu pada Qur’an dan Sunnah berupaya untuk mengembalikan kembali umat Islam kepada sumber ajarannya yang tidak pernah usang ditelan zaman, namun perlu sebuah penelaahan lebih mendalam dari nash yang ada.[2] Hal ini menimbulkan beberapa reaksi dari umat Islam sendiri, dengan beragam ekspresinya.
Makalah ini mencoba menelaah tentang Islam modern, apa dan sebab-sebab timbul, bagaimana pemikiran Islam , disertai dengan analisis ringan dari masing-masing bahasan.


II.          Pembahasan
A.           Apa Definisi Islam Modern
Kata modern diwakili dengan makna terbaru atau mutakhir, atau sikap dan cara berpikir serta cara bertindak sesuai dengan tuntutan zaman.[3] Jika kata modern disebut dengan modernisme, maka kata ini berarti gerakan yg bertujuan menafsirkan kembali doktrin tradisional, menyesuaikannya dengan aliran-aliran modern seperti filsafat, sejarah, dan ilmu pengetahuan.[4] Kemudian, istilah modernis, bermakna orang atau pelaku yang ikut dalam proses modernisasi.[5]
Islam Modern[6] dalam hal pemikiran berarti corak pemikiran dalam Islam yang berlaku sesuai dengan tuntutan zaman. Ia selalu akan menyesuaikan dengan sesuatu model yang baru, berupaya dengan sungguh-sungguh untuk melakukan re-interpretasi terhadap pemahaman, pemikiran dan pendapat tentang masalah ke-Islaman yang dilakukan oleh pemikiran terdahulu untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman.[7] Kata modern erat kaitannya dengan modernisasi yang berarti pembaharuan atau tajdid dalam bahasa Arab.[8] Modernisasi dalam masyarakat barat adalah pikiran, aliran, gerakan atau usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi lama, dan sebagainya untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.[9]
Kata Tajdid atau pembaharuan adalah proses menjadikan sesuatu yang terlihat usang untuk dijadikan baru kembali. Tajdid berakar dari kata Jaddada, diartikan dengan menjadikan baru lagi.[10] Tajdid dalam pemikiran berarti aktifitas koreksi ulang atau konseptualisasi ulang terhadap aktifitas keIslaman, dengan mengoreksi hal-hal yang bersifat tidak sesuai dengan konteks baru.
Ada beberapa hal yang dapat ditelaah lebih dalam dari penjelasan makna Islam Modern di atas, yaitu :
1.            Apakah makna Modern sama dengan Tajdid (pembaharuan) karena dua kata atau istilah tersebut sering disandingkan oleh beberapa peneliti atau sejarawan.
2.            Apakah ada perbedaan asasi antara kedua istilah di atas? Sehingga tidak dapat disamakan.
3.            Jika tidak dapat disamakan, apakah dampak atau implikasi dari penyandingan dua istilah tersebut?
Istilah modern berasal dari tradisi barat (Kristen) yang ingin menjadikan sebuah paham akan kesesuaian agama dengan dunia baru, meski awalnya istilah modern adalah paham akan ilmu pengetahuan.[11] Paham inilah yang mengarahkan agama dan ajaran mereka kepada bentuk sekularisme.
Makna ini selintas mirip dengan arti Tajdid dalam Islam, hanya dalam pemahaman pembaharuan Islam, paham ini tidak dapat mengubah ajaran-ajaran yang bersifat mutlak (tak dapat dirubah). Tajdid hanya bertempat pada wilayah penafsiran atau interpretasi dari ajaran Islam, seperti aspek teologi, hukum, politik, ekonomi, dll.
Jika tidak dipahami secara mendasar tentang perbedaan Modern dan Tajdid, maka implikasi yang timbul adalah pengarahan ajaran Islam kepada paham sekulerisme. Hal ini telah terjadi saat ini dengan munculnya paham Liberalisme. Penting untuk kembali menelisik asal-usul paham modern sehingga tidak terjebak kedalam pemahaman yang keliru.[12] Keharusan terhadap pemikiran modern, mengharuskan sikap rasional yang kritis terhadap ajaran Islam, sangat mungkin rasio akan melebihi kadarnya dibandingkan dengan sumber nash itu sendiri jika tidak memahami perbedaan kedua istilah di atas.

B.           Latar Belakang Pemikiran Islam Modern
Melihat periodisasi sejarah umat Islam, gerakan modern ini dimulai pada abad ke 18, yaitu ketika peradaban barat mulai menemukan dan mengembangkan paham rasionalismenya ke peradaban lain. Meskipun dalam sejarahnya, peradaban Islamlah yang menginspirasi barat dalam menemukan kejayaannya.
Pemikiran Islam modern muncul atau respon dari keterbelakangan umat Islam di berbagai bidang, ekonomi, pendidikan, ilmu pengetahuan, politik dan hal-hal lainnya.[13] Paling tidak ada lima macam kemunduran dan keterbelakangan umat Islam yang menyebabkan munculnya gerakan pemikiran Islam modern: [14]
1.            Kemunduran umat Islam karena telah meninggalkan ajaran Islam yang sebenarnya dan mengikuti ajaran-ajaran yang datang dari luar. Ini terlihat dari munculnya gerakan fatalisme dalam qada’ dan qadar.
2.            Sebab politis, yaitu pertentangan dan persaingan serta perpecahan dalam sistem kepemimpinan yang absolut.
3.            Lemahnya persaudaraan dalam umat Islam.
4.            Pemahaman yang jumud (statis, membeku) yang tetap mempertahankan tradisi.
5.            Masuknya berbagai macam bid’ah, paham animistis yang dibawa oleh orang non-Arab ke dalam Islam.

Persoalan kepemimpinan (khilafah) dalam Islam, tercatat dalam sejarah merupakan hal yang selalu membawa kepada perpecahan dan pertumpahan darah. Pergantian khilafah dari beberapa khilafah Islam, selalu diwarnai dengan peerangan yang disebabkan keteguhan masing-masing pihak tentang makna khilafah dan keabsolutannya.
Pada abad ke 18, secara politis, kondisi umat Islam sedang berada dalam penjajahan Negara-negara Eropa (kolonial) yang berupaya mengambil dan mengeruk keuntungan dari negeri yang dijajahnya. Peradaban Barat sedang mengalami puncak keemasannya. Sebelumnya, bagi masyarakat Eropa, abad ke 15 Masehi adalah titik kulminasi yang menghantarkan mereka kepada kemajuan serta berlepas diri dari abad kegelapan (the dark age). Sebelum memasuki abad 15, masyarakat Eropa mengalami berbagai guncangan sejarah, dimana peradaban mereka sangat tertinggal dari anak benua lain, terutama jika dibandingkan dengan peradaban Islam yang saat itu sedang berada di titik kejayaannya.
Kemajuan di Eropa tersebut diiringi dengan semakin maraknya gerakan anti-agama. Setidaknya ada dua faktor yang telah menyebabkan masyarakat Eropa menjauhi agama: pertama, akibat trauma kemunduran yang sebelumnya dialami masyarakat Eropa, dimana gereja sangat mendominasi seluruh sisi kehidupan masyarakat. Kedua, perkembangan ilmu-ilmu empiris yang sangat pesat, telah banyak mementahkan doktrin-doktrin gereja yang banyak mengandung unsur irasionalitas.
Satu hal yang harus diingat, bahwa masa peralihan yang dialami masyarakat Eropa dari the dark age menuju kepada peradaban modern, ditopang oleh berbagai pemikiran yang berkembang saat itu, terutama filsafat dan ilmu-ilmu eksakta, seperti terjadinya Aufklarung di Jerman. Minimal ada empat faktor yang telah mengantarkan Eropa mencapai renaissance:
1.            Penerjemahan buku-buku hasil karya kaum Muslimin ke dalam bahasa Latin. Hal ini berlangsung antara abad 13 dan 14 Masehi. Pengaruh pemikiran Arab inilah yang telah memberi amunisi besar bagi masyarakat Barat untuk melanjutkan berbagai inovasi dan penemuan ilmiah ilmuwan Arab-Muslim.
2.            Ketika Turki berhasil menaklukkan Konstantinopel pada tahun 1452 M, banyak ilmuwan Yunani yang hijrah ke Italia dan bekerjasama dengan komunitas yang sudah lama berusaha menghidupkan tradisi filsafat Platonis.
3.            Mulai banyak berdirinya lembaga-lembaga pendidikan yang mempelajari ilmu pengetahuan secara independen dan jauh dari tekanan gereja.

Tekanan politik Barat terhadap peradaban dan umat Islam, membuat persatuan umat Islam terpecah, dan hal ini dimanfaatkan oleh barat untuk menggiring pemahaman yang mendorong umat Islam melupakan ajarannya sendiri. Kita ingat, berdirinya kerajaan Sa’ud di Arab Saudi adalah atas jasa politik Barat (Inggris dan Amerika), sehingga sampai saat ini kedua negara adikuasa tersebut masih kuat pengaruhnya terhadap kerajaan Arab Saudi.
Menyadari kondisi umat Islam yang semakin terbelakang, muncullah beberapa ulama yang mengeluarkan dan mengajarkan tentang paham modern. Didasari atas ketidakmampuan umat Islam untuk tetap bertahan pada pemahaman ‘tradisi’nya akan ajaran, tokoh-tokoh ini mengajak umat Islam untuk mengedepankan rasionalitas dalam memahami inti ajaran.
Ada klasifikasi generasi Islam modern dalam sejarah Islam, seperti yang digambarkan dengan penjelasan di bawah ini :
1.            Generasi pertama Islam modernis diwakili Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh.[15] Kedua tokoh itu hidup dalam konteks sejarah kolonial, dimana banyak bangsa Muslim menjadi korban penindasan politik dan eksploitasi ekonomi oleh bangsa-bangsa Barat. Karena itu, semangat generasi pertama Islam modernis adalah melawan para penjajah Barat dengan ilmu dan teknologi modern—yang notabene dikembangkan oleh orang-orang Barat. Salah satu fokus dari usaha umat Islam waktu itu adalah mengembangkan sistem pendidikan modern, yang tidak hanya mengajarkan agama dan tradisi namun juga penguasaan ilmu dan teknologi.
2.            Generasi kedua Islam modernis dicirikan oleh berkurangnya, atau hilangnya, semangat permusuhan antara Islam dan Barat, dan berganti dengan dialog dan kerjasama. Generasi kedua hidup di era pasca-kolonial, sehingga atmosfir politik yang ada sudah bukan lagi permusuhan, melainkan kebutuhan akan kerjasama. Salah satu tokoh utama generasi ini adalah almarhum Fazlur Rahman—intelektual kelahiran Pakistan yang menjadi professor di The University of Chicago, Amerika.[16] Menurut Rahman, umat Islam harus bisa melihat bahwa etika Islam bersifat universal dan memiliki banyak kesamaan dengan peradaban Barat.[17] Permusuhan dan pertentangan antara Islam dan Barat adalah sejarah masa lalu. Sekarang, umat Islam dan bangsa-bangsa Barat memiliki agenda yang sama untuk bangkit dari sejarah permusuhan, dan bersama membangun peradaban umat manusia yang lebih baik.[18]
3.            Generasi ketiga Islam modernis yang lahir dari perjumpaan dengan modernitas yang dibawa oleh bangsa penjajah dari Eropa yang menduduki sebagian besar dunia Islam. Fakta itu melahirkan pertanyaan: mengapa umat Islam bisa dikalahkan oleh umat lain? Penggagas Islam modernis menemukan jawaban bahwa umat Islam telah terjebak pada tradisi-tradisi Islam yang partikular, yang tidak kompatibel dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Padahal, Islam sama sekali tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemajuan dan perkembangan peradaban. Oleh karena itu, mereka menyerukan supaya umat Islam kembali kepada Islam yang universal, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah, supaya bisa mengejar ketertinggalan—dan membebaskan diri dari penindasan—bangsa lain.

C.           Pemikiran Islam Modern di Indonesia
Ciri utama pemikiran Islam modern adalah selalu dan pasti cenderung atau membawa pemikiran dan kehidupan umat Islam kepada harmoni kehidupan saat ini.[19] Tentunya disebabkan beberapa faktor yang telah diterangkan di atas.
Mark Woodward mengelompokkan umat Islam di Indonesia atas perubahan zaman ke dalam lima kelompok.[20] Pengelompokan Woodward ini tampaknya melihat dari sudut doktrin dan akar-akar sosial di dalam masyarakat Islam Indonesia yang lama maupun yang baru.
Pertama, Indigenized Islam. Indigenized Islam adalah sebuah ekspresi Islam yang bersifat lokal; secara formal mereka mengaku beragama Islam, tetapi biasanya mereka lebih mengikuti aturan-aturan ritual lokalitas ketimbang ortodoksi Islam. Karakteristik ini paralel dengan apa yang disebut Clifford Geertz sebagai Islam Abangan untuk konteks Jawa. Dalam hubungan politik dan agama, secara given mereka mengikuti cara berpikir sekuler dan enggan membawa masalah agama ke ranah negara dan sebaliknya.
Kedua, kelompok tradisional Nahdlatul Ulama (NU). NU adalah penganut aliran Sunni terbesar di Indonesia yang dianggap memiliki ekspresinya sendiri, karena di samping ia memiliki kekhasan yang tidak dimiliki kelompok lain seperti basis yang kuat di pesantren dan di pedesaan, hubungan guru murid yang khas, mereka juga dicirikan oleh akomodasi yang kuat atas ekspresi Islam lokal sejauh tidak bertentangan dengan Islam sebagai keyakinan. Ia tampaknya tidak berusaha untuk memaksakan “Arabisme” ke dalam kehidupan keislaman sehari-hari.
Ketiga, Islam modernis. Mereka terutama berbasis pada Muhammadiyah, organisasi terbesar kedua setelah Nahdlatul Ulama. Ia berbasis pada pelayanan sosial seperti pendidikan dan kesehatan. Ia memperkenalkan ide-ide modernisasi dalam pengertian klasik. Ia misalnya, dalam arus utamanya, menolak ekspresi lokal dan lebih mengukuhkan ekspresi puritanisme yang lebih menonjolkan “ke-Arab-an”.
Keempat, Islamisme atau Islamis. Gerakan yang disebut terakhir ini tidak hanya mengusung Arabisme dan konservatisme, tetapi juga di dalam dirinya terdapat paradigma ideologi Islam Arab. Tidak heran kalau Jihad dan penerapan Syari’ah Islam menjadi karakter utama dari kelompok ini. Kelompok ini juga tidak segan-segan membentuk barisan Islam paramiliter untuk melawan siapa saja yang diidentifikasi sebagai musuh Islam yang mereka definisikan.
Kelima, neo-modernisme Islam. Ia lebih dicirikan dengan gerakan intelektual dan kritiknya terhadap doktrin Islam yang mapan. Ia berasal dari berbagai kelompok, termasuk kalangan tradisional maupun dari kalangan modernis. Mereka biasanya tergabung dalam berbagai NGO dan institusi-institusi riset, perguruan tinggi Islam dan pemimpin Islam tradisional tertentu. Mereka juga melakukan pencarian tafsir baru terhadap berbagai doktrin Islam berlandaskan pada realitas masyarakat dan penggunaan filsafat dan metode-metode baru seperti hermeneutika.
Pemikiran modern di Indonesia telah terlihat pada akhir abad ke-19, ketika generasi ulama Indonesia yang belajar di Haramain (Mekkah dan Madinah) yang dikenal dengan Ashhab Al-Jawiyyin, menyadari bahwa metode dan tatanan berfikir (mindset) tradisional dalam Islam tidak akan sanggup menghadapi tantangan kolonialisme dan peradaban modern.[21] Dari pengaruh Arab ini kemudian menjadikan beberapa perubahan aktifitas keIslaman di Indonesia terutama dalam bidang pendidikan. Genealogi intelektual di Indonesia terbagi menjadi tiga, pertama, mereka yang berorientasi Barat yang saat itu biasa disebut sebagai kaum terpelajar atau kemadjoean. Kedua, adalah mereka yang masih berpegang teguh pada khazanah agung. “Mereka ini diwakili oleh kaum tradisionalis-konservatif”. Ketiga, mereka yang berhaluan pembaharuan atau modernisme Islam.
Jika dikatakan bahwa Islam modern di Indonesia direpresentasikan oleh Muhammadiyah, sebagai reaksi dari kelompok Indigenized Islam dan kelompok tradisonal, ternyata tidak berhenti pada tiga kelompok ini saja. Masih ada kelompok Islamisme, yang mengusung konsep ‘Arabisme’ dalam pemikirannya dan kelompok Neo-Modernisme yang mengusung ide-ide liberalisme dalam isu-isu pemikirannya. Fenomena ini membagi kelompok Islam modern di Indonesia kepada dua tipe :
1.            Modernis yang mengakomodir ide modernisasi Barat dengan mengadopsi metode berfikirnya.
2.            Modernis yang menolak metode berfikir Barat, meskipun tidak menolak produknya.
Lantas, dimana posisi Muhammadiyah yang digolongkan sebagai kaum modernis? Tentunya tidak masuk ke dalam dua tipe di atas. Disatu sisi Muhammadiyah terlahir dari ide-ide puritanisme Wahhabi dan tajdid Abduh,[22] namun di sisi lain, Muhammadiyah tidak menerima seutuhnya metode berfikir yang dipakai oleh kelompok neo-modernisme. Sebagai organisasi pembaharu, tentunya Muhammadiyah selalu menyesuaikan diri dengan kondisi yang selalu baru (modern) dan tidak terjebak dalam konsep kemapanan modern.
Jika dahulu, gerakan modern selalu ‘berkonflik’ dengan kelompok tradisional, saat ini peta dinamika pemikiran modern mulai berubah. Konflik pemikiran yang diusung kelompok modern dahulu tentang puritanisme, menjadi ide besar yang diusung oleh kelompok Islamisme baru yang berkiblat kepada ‘Arabisme’. Di lain panggung, kelompok modern berhadapan dengan berbagai generasi ketiga pemikiran modern yaitu neo-modernisme yang mengusung istilah ‘liberating’ atau pembebasan dari kejumudan pemikiran ajaran Islam. Dan uniknya, kelompok ‘liberating’ ini adalah kader-kader utama dari kelompok modern.

Salafi, Islamisme Baru dalam Dinamika Pemikiran Islam Indonesia
Indonesia merupakan lahan subur untuk lahir dan tumbuhnya berbagai gerakan Islam dengan berbagai ragamnya; baik yang “hanya sekedar” perpanjangan tangan dari gerakan yang sebelumnya telah ada, ataupun yang dapat dikategorikan sebagai gerakan yang benar-benar baru. Dan sejarah pergerakan Islam Indonesia benar-benar telah menjadi saksi mata terhadap kenyataan itu selama beberapa kurun waktu lamanya.
Dan kini, di era modern ini,  mata sejarah semakin “dimanjakan” oleh kenyataan itu dengan tumbuhnya aneka gerakan Islam modern yang masing-masing menyimpan keunikannya tersendiri. Jagat pergerakan Islam Indonesia modern tidak hanya diramaikan oleh organisasi semacam Muhammadiyah dan NU, tapi disana ada pemain-pemain baru yang juga secara perlahan –namun pasti- mulai menanamkan pengaruhnya. Mulai dari yang mengandalkan perjuangan politis hingga yang lebih memilih jalur gerakan sosial-kemasyarakatan. Salah satu gerakan Islam tersebut adalah yang menyebut diri mereka sebagai Salafi atau Salafiyah.[23] Salah satu peristiwa fenomenal gerakan ini yang sempat “menghebohkan” adalah kelahiran Laskar Jihad yang dimotori oleh Ja’far Umar Thalib pada 6 April 2000 pasca meletusnya konflik bernuansa SARA di Ambon dan Poso.
Tidak dapat dipungkiri bahwa gerakan Salafi di Indonesia banyak dipengaruhi oleh ide dan gerakan pembaruan yang dilancarkan oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab di kawasan Jazirah Arabia. Menurut Abu Abdirrahman al-Thalibi[6], ide pembaruan Ibn ‘Abd al-Wahhab diduga pertama kali dibawa masuk ke kawasan Nusantara oleh beberapa ulama asal Sumatera Barat pada awal abad ke-19. Inilah gerakan Salafiyah pertama di tanah air yang kemudian lebih dikenal dengan gerakan kaum Padri, yang salah satu tokoh utamanya adalah Tuanku Imam Bonjol. Gerakan ini sendiri berlangsung dalam kurun waktu 1803 hingga sekitar 1832. Tapi, Ja’far Umar Thalib mengklaim –dalam salah satu tulisannya[7]- bahwa gerakan ini sebenarnya telah mulai muncul bibitnya pada masa Sultan Aceh Iskandar Muda (1603-1637).
Disamping itu, ide pembaruan ini secara relatif juga kemudian memberikan pengaruh pada gerakan-gerakan Islam modern yang lahir kemudian, seperti Muhammadiyah, PERSIS, dan Al-Irsyad. “Kembali kepada al-Quran dan al-Sunnah” serta pemberantasan takhayul, bid’ah dan khurafat kemudian menjadi semacam isu mendasar yang diusung oleh gerakan-gerakan ini. Meskipun satu hal yang patut dicatat bahwa nampaknya gerakan-gerakan ini tidak sepenuhnya mengambil apalagi menjalankan ide-ide yang dibawa oleh gerakan purifikasi Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab. Apalagi dengan munculnya ide pembaruan lain yang datang belakangan, seperti ide liberalisasi Islam yang nyaris dapat dikatakan telah menempati posisinya di setiap gerakan tersebut.
Di tahun 80-an, -seiring dengan maraknya gerakan kembali kepada Islam di berbagai kampus di Tanah air- mungkin dapat dikatakan sebagai tonggak awal kemunculan gerakan Salafiyah modern di Indonesia. Adalah Ja’far Umar Thalib salah satu tokoh utama yang berperan dalam hal ini.
Ada beberapa ide penting dan khas gerakan Salafi Modern dengan gerakan-gerakan tersebut, yaitu:
1.            Hajr Mubtadi’ (Pengisoliran terhadap pelaku bid’ah)
Sebagai sebuah gerakan purifikasi Islam, isu bid’ah tentu menjadi hal yang mendapatkan perhatian gerakan ini secara khusus. Upaya-upaya yang mereka kerahkan salah satunya terpusat pada usaha keras untuk mengkritisi dan membersihkan ragam bid’ah yang selama ini diyakini dan diamalkan oleh berbagai lapisan masyarakat Islam.[24]
2.            Sikap terhadap politik (parlemen dan pemilu).
Hal lain yang menjadi ide utama gerakan ini adalah bahwa gerakan Salafi bukanlah gerakan politik dalam arti yang bersifat praktis. Bahkan mereka memandang keterlibatan dalam semua proses politik praktis seperti pemilihan umum sebagai sebuah bid’ah dan penyimpangan. Ide ini terutama dipegangi dan disebarkan dengan gencar oleh pendukung Salafi Yamani. Muhammad As-Sewed mislanya –yang saat itu masih menjabat sebagai ketua FKAWJ mengulas kerusakan-kerusakan pemilu sebagai berikut:
a.             Pemilu adalah sebuah upaya menyekutukan Allah (syirik) karena menetapkan aturan berdasarkan suara terbanyak (rakyat), padahal yang berhak untuk itu hanya Allah.
b.            Apa yang disepakati suara terbanyak itulah yang dianggap sah, meskipun bertentangan dengan agama atau aturan Allah dan Rasul-Nya.
c.             Pemilu adalah tuduhan tidak langsung kepada islam bahwa ia tidak mampu menciptakan masyarakat yang adil sehingga membutuhkan sistem lain.
d.            Partai-partai Islam tidak punya pilihan selain mengikuti aturan yang ada, meskipun aturan itu bertentangan dengan Islam.
e.             Dalam pemilu terdapat prinsip jahannamiyah, yaitu menghalalkan segala cara demi tercapainya tujuan-tujuan politis, dan sangat sedikit yang selamat dari itu.
f.              Pemilu berpotensi besar menanamkan fanatisme jahiliah terhadap partai-partai yang ada.

3.            Sikap terhadap gerakan Islam yang lain.
Pandangan pendukung gerakan Salafi modern di Indonesia terhadap berbagai gerakan lain yang ada sepenuhnya merupakan imbas aksiomatis dari penerapan prinsip hajr al-mubtadi’ yang telah dijelaskan terdahulu. Baik Salafi Yamani maupun Haraki, sikap keduanya terhadap gerakan Islam lain sangat dipengaruhi oleh pandangan mereka dalam penerapan hajr al-mubtadi’. Sehingga tidak mengherankan dalam poin inipun mereka berbeda pandangan.
Jika Salafi Haraki cenderung ‘moderat’ dalam menyikapi gerakan lain, maka Salafi Yamani dikenal sangat ekstrim bahkan seringkali tanpa kompromi sama sekali.
Fenomena sikap keras Salafi Yamani terhadap gerakan Islam lainnya dapat dilihat dalam beberapa contoh berikut:
a.            Sikap terhadap Ikhwanul Muslimin
Barangkali tidak berlebihan jika dikatakan Ikhwanul Muslimin nampaknya menjadi musuh utama di kalangan Salafi Yamani. Mereka bahkan seringkali memelesetkannya menjadi “Ikhwanul Muflisin”.[21] Tokoh-tokoh utama gerakan ini tidak pelak lagi menjadi sasaran utama kritik tajam yang bertubi-tubi dari kelompok ini. Di Saudi sendiri –yang menjadi asal gerakan ini-, fenomena ‘kebencian’ pada Ikhwanul Muslimin dapat dikatakan mencuat seiring bermulanya kisah Perang Teluk bagian pertama. Adalah DR. Rabi’ ibn Hadi al-Madkhali yang pertama kali menyusun berbagai buku yang secara spesifik menyerang Sayyid Quthb dan karya-karyanya. Salah satunya dalam buku yang diberi judul “Matha’in Sayyid Quthb fi Ashab al-Rasul” (Tikaman-tikaman Sayyid Quthub terhadap Para Sahabat Rasul).
Secara umum, ada beberapa hal yang dianggap sebagai penyimpangan oleh kalangan Salafi Yamani dalam tubuh Ikhwanul Muslimin, diantaranya:
-               Bai’at yang dianggap seperti bai’at sufiyah dan kemiliteran.
-               Adanya marhalah (fase-fase) dalam dakwah yang menyerupai prinsip aliran Bathiniyah.
-               Organisasi kepartaian (tanzhim hizb).

Berbeda dengan yang disebut Salafi Haraki, mereka cenderung kooperatif dalam melihat gerakan-gerakan Islam yang ada dalam bingkai “nata’awan fima ittafaqna ‘alaih, wa natanashahu fima ikhtalafna fihi.”[29] Karena itu, faksi ini cenderung lebih mudah memahami bahkan berinteraksi dengan kelompok lain, termasuk misalnya Ikhwanul Muslimin. Meskipun untuk itu kelompok inipun harus rela diberi cap “Sururi” oleh kelompok Salafi Yamani. Yayasan Al-Sofwa, misalnya, masih mengakomodir kaset-kaset ceramah beberapa tokoh PKS seperti DR. Ahzami Sami’un Jazuli.

b.            Sikap terhadap Sururiyah
Secara umum, Sururi atau Sururiyah adalah label yang disematkan kalangan Salafi Yamani terhadap Salafi Haraki yang dianggap ‘mencampur-adukkan’ berbagai manhaj gerakan Islam dengan manhaj salaf. Kata Sururiyah sendiri adalah penisbatan kepada Muhammad Surur bin Zainal Abidin. Tokoh ini dianggap sebagai pelopor paham yang mengadopsi dan menggabungkan ajaran Salafi dengan Ikhwanul Muslimin. Disamping Muhammad Surur, nama-nama lain yang sering dimasukkan dalam kelompok ini adalah DR. Safar ibn ‘Abdirrahman al-Hawali, DR. Salman ibn Fahd Al-‘Audah –keduanya di Saudi- dan Abdurrahman Abdul Khaliq dari Jam’iyyah Ihya’ al-Turats di Kuwait.

4.            Sikap terhadap pemerintah
Secara umum, sebagaimana pemerintah yang umum diyakini Ahl al-Sunnah –yaitu ketidakbolehan khuruj atau melakukan gerakan separatisme dalam sebuah pemerintahan Islam yang sah-, Gerakan Salafi juga meyakini hal ini. Itulah sebabnya, setiap tindakan atau upaya yang dianggap ingin menggoyang pemerintahan yang sah dengan mudah diberi cap Khawarij, bughat atau yang semacamnya.

III.       Kesimpulan
1.            Islam Modern adalah paham pemikiran yang mengedepankan ide tentang perlunya re-interpretasi terhadap ajaran Islam agar sesuai dengan waktu saat ini (baru).
2.            Ada perbedaan makna dan implikasi antara istilah Modern dan Tajdid (Pembaharuan). Jika Modern dipahami dari sisi pandang peradaban barat maka akan berimplikasi terhadap perombakan total terhadap ajaran Islam yang akan menjadikan ajaran Islam itu sendiri sebagai sebuah produk Allah SWT yang tidak absolut. Namun jika dipahami dengan Tajdid, maka akan nampak implikasi hanya pada dataran penafsiran ulang atas ajaran Islam dalam berbagai bidang, seperti politik, ekonomi, social dll.
3.            Pemikiran modern dalam Islam muncul dari keterbelakangan umat Islam yang menjadikan sisi lemah dan kemunduran.
4.            Indonesia, merupakan lahan subur untuk lahir dan berkembangnya pemikiran yang bermacam-macam, dan selalu akan menimbulkan konflik sebagai sebuah dinamika peradaban.
















DAFTAR PUSTAKA

Adams, Charles C., Islam and Modernisme in Egypt, New York, Atheneum Publisher, 1933.

Ancok, Djamaluddin, Membangun Kompotensi Manusia dalam Milenium Ke Tiga, Psikologika, Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi, Nomor : 6 Tahun III, UII, 1998.

Djaja, Tamar, Pustaka Indonesia: Riwayat Hidup Orang-Orang Besar Tanah Air, Jakarta, Bulan Bintang, 1966.

Echols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta, Gramedia, 2006.

Gardet, Louis & M. Arkoun, Islam Kemarin dan Hari Esok, terj. Ahsin Mohammad, Bandung, Puskata, 1997.

Hourani, Albert, Arabic Thought in the Liberal Age 1798-193,. USA, Cambridge University Press, 1983.

Latif, Yudi, Inteligensia Muslim dan Kuasa : Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad Ke-20, Bandung, Mizan Media Utama, 2005.

Munawir, Ahmad Warson, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, Surabaya, Pustaka Progressif, 1997.

Nasir, Haedar, Muhammadiyah dan Mata Rantai Pembaharuan Islam (7), dimuat dalam majalah Suara Muhammadiyah, edisi 14 Mei 2008.

Nasution, Harun, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

Nata, Abudin, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2001.

Kamus Besar Bahasa Indonesia online, http://pusatbahasa.diknas.go.id/-kbbi/index.php

Rahman, Fazlur, Islam, Chicago: University of Chicago Press, 1979.

_____________, Islam Modern Tantangan Pembaharuan Islam, terj. Hamid Basyaub, Yogyakarta, Sholahuddin Press, 1987.

_____________, Islam dan Modernitas Tantangan Transformasi Intelektual, Bandung, Pustaka, 1995.

Sudiro, M. Irsyad, Pendidikan Agama dalam Masyarakat Modern, Seminar dan Lokakarya Nasional Revitalisasi Pendidikan Agama Luar Sekolah dalam Masyarakat Modern, Cirebon, tanggal, 30-31 Agusrus 1995.

Wilson, Samuel Graham, Modern Movements Among Moslems, New York, Fleming Company, TT.

Woodward, M., (Summer-Fall 2001), Indonesia, Islam and the Prospect of Democracy, SAIS Review Vol. XXI, No. 2.

www.salafy.or.id.


[1] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1975, hlm. 12-14. Di akhir abad 19 dan awal abad 20, disebut oleh Albert Hourani dengan “liberal age”, atau periode ‘bebas’, artinya corak pemikiran Islam pada masa ini cenderung dengan sikap pembebasan dalam beberapa hal pemikiran, teologi, tafsir dan lainnya. Lihat Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age 1798-193,. USA, Cambridge University Press, 1983, hlm. 75. Corak pemikiran modern ini tidak hanya nampak di Arab saja tetapi juga negara-negara muslim lainnya, termasuk Indonesia, juga ikut meramaikan wacana liberal ini. Kita
mengenal beberapa tokoh intelektual liberal Tanah Air yang memiliki concern yang
sama dengan tokoh-tokoh liberal di Timur Tengah, seperti Muhammad Djamil
Djambek (1860-1947), M. Thaib Umar (1874-1920), Abdullah Ahmad (1878-1933),
dan Hadji Agus Salim (1884-1954). Untuk mengetahui biografi
menarik lebih lanjut tentang tokoh-tokoh ini, lihat Tamar Djaja, Pustaka
Indonesia: Riwayat Hidup Orang-Orang Besar Tanah Air
, Jakarta, Bulan Bintang
1966.
[2] Menurut Deliar Noer, yang dimaksud dengan gerakan modernisme (Islam) adalah gerakan kembali kepada Qur’an dan Sunnah sebagai sumber ajaran pokok Islam. Lihat “Harun Nasution dalam Perkembangan Pemikiran Islam di Indonesia” dalam Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution, Jakarta: Panitia Penerbitan Buku dan Seminar 70 Tahun Harun Nasution dan Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1989, hlm. 83.
[3] Dilihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia online, http://pusatbahasa.diknas.go.id/-kbbi/index.php
[4] Ibid.
[5] Modernisasi adalah proses pergeseran sikap dan mentalitas sbg warga masyarakat untuk dapat hidup sesuai dng tuntutan masa kini; pemodernan: Istilah modernisasi biasanya lebih dekat dan dikenal dalam bidang teknologi, meskipun sebenarnya ia merupakan kata umum yang dapat dipakai dalam berbagai bidang, termasuk bidang pemikiran. Ibid.
[6] Kata Modern dalam bahasa Inggris, Modernistic, berarti model baru. Lihat John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta, Gramedia, 384, hlm. 384. Salah satu ciri utama kehidupan di masa sekarang dan masa yang akan datang adalah cepatnya terjadi perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia. Banyak paradigma yang digunakan untuk menata kehidupan, baik kehidupan individual maupun kehidupan organisasi yang pada waktu yang lalu sudah mapan, kini menjadi ketinggalan zaman Secara umum masyakarat modern adalah masyarakat yang proaktif, individual, dan kompetitif. Lihat Djamaluddin Ancok, Membangun Kompotensi Manusia dalam Milenium Ke Tiga, Psikologika, Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi, Nomor : 6 Tahun III, UII, 1998, hlm. 5.
[7] Abudin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2001, hlm. 155.
[8] Abudin Nata, Ibid.
[9] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta, Bulan Bintang, 1975, hlm. 9.
[10] Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, Surabaya, Pustaka Progressif, 1997, hlm. 173.
[11] Pendapat Alvin Tofler dalam bukunya The Third Wave (1980) yang bercerita tentang peradaban manusia, yaitu; (1) perdaban yang dibawa oleh penemuan pertanian, (2) peradaban yang diciptakan dan dikembangkan oleh revolusi industri, dan (3) peradaban baru yang tengah digerakan oleh revolusi komunikasi dan informasi. Perubahan tersebesar yang diakibatkan oleh gelombang ketiga adalah, terjadinya pergeseran yang mendasar dalam sikap dan tingkah laku masyarakat. Lihat M.Irsyad Sudiro, Pendidikan Agama dalam Masyarakat Modern, Seminar dan Lokakarya Nasional Revitalisasi Pendidikan Agama Luar Sekolah dalam Masyarakat Modern, Cirebon, tanggal, 30-31 Agusrus 1995, hlm. 2.
[12] Louis Gardet & M. Arkoun, Islam Kemarin dan Hari Esok, terj. Ahsin Mohammad, Bandung, Puskata, 1997, hlm. 144
[13] Pada masa-masa ini, gagasan romantisme kejayaan Islam muncul sebagai motivasi melawan penjajahan. Inilah dorongan paling besar yang merefleksikan kembali arti peradaban Islam di dunia modern, di tengah-tengah hegemoni Barat waktu itu. Dorongan ini terus menjadi momentum pemikiran Islam paska kolonialisme. Dari sini, mulailah dilakukan refleksi atas munculnya peradaban Barat, dan hegemoninya atas dunia Islam. Nantinya, sebagai "puncak" pemikiran modern ini, sangat relevan memberi perhatian atas kajian-kajian ekonomi-politik atas apa yang menjadi pendorong imperialisme Barat terhadap dunia Islam.
[14] Abudin Nata, Ibid, hlm. 158-163.
[15] Abduh berpendapat tentang pentingnya Tajdid terhadap ajaran Islam yang universal, berasal dari Allah SWT dan tidak dibatasi ruang dan waktu. Ini berbeda dengan aturan manusia yang akan selalu terbatas dengan zaman. Lihat Charles C. Adams, Islam and Modernisme in Egypt, New York, Atheneum Publisher, 1933, hlm. 134.
[16] Salah satu ide Rahman adalah tentang Neo-modernisme, yaitu paham yang melakukan double movement (gerakan ganda) dalam pemikiran Islam, yaitu kembali kepada pemahaman asal (inti) ajaran Islam dengan menelaah kembali sejarah dan konteks awal munculnya, kemudian membawa (inti) ajaran Islam ke zaman sekarang. Neo Modernisme merupakan reaksi yang muncul dari paham neo-revivalismenya Muhammad Abdul Wahhab. Lihat Fazlur Rahman, Islam, Chicago: University of Chicago Press, 1979.
[17] Namun Rahman menekankan tidak serta merta menerima dan mengadopsi peradaban Barat, karena banyak hal-hal yang bersifat etika-praktis dalam peradaban Barat tidak ubahnya seperti binatang. Lihat Fazlur Rahman, Islam Modern Tantangan Pembaharuan Islam, terj. Hamid Basyaub, Yogyakarta, Sholahuddin Press, 1987, hlm. 35.
[18] Rahman mengedepankan perubahan pendidikan Islam yang perlu mengadopsi metode Barat dengan tetap memahami dan mempertahankan inti ajaran. Ia melihat perkembangan yang spektakuler dalam pendidikan Islam di Turki. Lihat Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas Tantangan Transformasi Intelektual, Bandung, Pustaka, 1995, hlm. 108.
[19] Samuel Graham Wilson, Modern Movements Among Moslems, New York, Fleming Company, TT, hlm. 153.
[20] Woodward, M., (Summer-Fall 2001), Indonesia, Islam and the Prospect of Democracy, SAIS Review Vol. XXI, No. 2, hlm. 29-37.
[21] Yudi Latif, Inteligensia Muslim dan Kuasa : Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad Ke-20, Bandung, Mizan Media Utama, 2005, hlm. 108.
[22] Haedar Nasir, Muhammadiyah dan Mata Rantai Pembaharuan Islam (7), dimuat dalam majalah Suara Muhammadiyah, edisi 14 Mei 2008.
[23] Kata Salafi adalah sebuah bentuk penisbatan kepada al-Salaf. Kata al-Salaf sendiri secara bahasa bermakna orang-orang yang mendahului atau hidup sebelum zaman kita.  Adapun makna al-Salaf secara terminologis yang dimaksud di sini adalah generasi yang dibatasi oleh sebuah penjelasan Rasulullah saw dalam haditsnya:
“Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di masaku, kemudian yang mengikuti mereka, kemudian yang mengikuti mereka...”  (HR. Bukhari dan Muslim). Berdasarkan hadits ini, maka yang dimaksud dengan al-Salaf adalah para sahabat Nabi saw, kemudian tabi’in, lalu atba’ al-tabi’in.
[24] Akan tetapi, pada prakteknya di Indonesia, masing-masing faksi –salafi Yamani dan haraki- sangat berbeda. Dalam hal ini, salafi Yamani terkesan membabi buta dalam menerapkan mekanisme ini. Fenomena yang nyata akan hal ini mereka terapkan dengan cara melemparkan tahdzir (warning) terhadap person yang bahkan mengaku mendakwahkan gerakan salafi. Puncaknya adalah ketika mereka menerbitkan “daftar nama-nama ustadz yang direkomendasikan” dalam situs mereka. Sementara Salafi Haraki cenderung melihat mekanisme hajr al-mubtadi’ ini sebagai sesuatu yang tidak mutlak dilakukan, sebab semuanya tergantung pada maslahat dan mafsadatnya. Menurut mereka, hajr al-mubtadi’ dilakukan tidak lebih untuk memberikan efek jera kepada sang pelaku bid’ah. Namun jika itu tidak bermanfaat, maka boleh jadi metode ta’lif al-qulub-lah yang berguna. Lihat situs resmi mereka www.salafy.or.id.

4 komentar: