ISLAM
MODEREN
I.
Pendahuluan
Ada dua sisi
pandang yang dapat ditelaah pada tema Islam modern, pertama, periodisasi waktu,
dan kedua, pola atau corak pemikiran. Menurut Prof. Dr. Harun Nasution,
periodisasi sejarah Islam terbagi pada 3 periode :[1]
1.
Periode Klasik (650-1250 M)
Meliputi dua masa kemajuan yaitu masa Rasulullah SAW,
Khulafaurrasyidin, Bani Umayyah, dan masa-masa permulaan Dawlah Abbasiyah.
2.
Periode Pertengahan (1250-1800 M.)
Pada periode ini terjadi dua
masa kemunduran dan masa Tiga Kerajaan Besar. Turki Utsmani, Daulah Shafawiyah,
dan Daulah Mughaliyah di India. Fase tiga Kerajaan Besar mengalami kemajuan
pada tahun 1500-1700 M. dan mengalami kemunduran kembali pada 1700-1800 M.
3.
Periode Modern (1800- sekarang)
Pada periode ini umat Islam banyak belajar dari dunia Barat
dalam rangka mengembalikan balance of power. Dalam era ini Islam mulai
bangkit kembali dengan melakukan pembaharuan (tajdid)
Dilihat dari corak pemikiran, Islam modern yang bertumpu pada Qur’an dan Sunnah
berupaya untuk mengembalikan kembali umat Islam kepada sumber ajarannya yang
tidak pernah usang ditelan zaman, namun perlu sebuah penelaahan lebih mendalam
dari nash yang ada.[2] Hal ini
menimbulkan beberapa reaksi dari umat Islam sendiri, dengan beragam
ekspresinya.
Makalah ini
mencoba menelaah tentang Islam modern, apa dan sebab-sebab timbul, bagaimana
pemikiran Islam , disertai dengan analisis ringan dari masing-masing bahasan.
II.
Pembahasan
A.
Apa Definisi Islam Modern
Kata modern diwakili dengan makna terbaru atau mutakhir, atau
sikap dan cara berpikir serta cara bertindak sesuai dengan tuntutan zaman.[3]
Jika kata modern disebut dengan modernisme, maka kata ini berarti gerakan yg
bertujuan menafsirkan kembali doktrin tradisional, menyesuaikannya dengan
aliran-aliran modern seperti filsafat, sejarah, dan ilmu pengetahuan.[4]
Kemudian, istilah modernis, bermakna orang
atau pelaku yang ikut dalam proses modernisasi.[5]
Islam Modern[6]
dalam hal pemikiran berarti corak pemikiran dalam Islam yang berlaku sesuai
dengan tuntutan zaman. Ia selalu akan menyesuaikan dengan sesuatu model
yang baru, berupaya dengan sungguh-sungguh untuk melakukan re-interpretasi
terhadap pemahaman, pemikiran dan pendapat tentang masalah ke-Islaman yang
dilakukan oleh pemikiran terdahulu untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman.[7] Kata
modern erat kaitannya dengan modernisasi yang berarti pembaharuan atau tajdid
dalam bahasa Arab.[8]
Modernisasi dalam masyarakat barat adalah pikiran, aliran, gerakan
atau usaha
untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi lama, dan
sebagainya untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi modern.[9]
Kata Tajdid atau pembaharuan adalah proses menjadikan sesuatu yang
terlihat usang
untuk dijadikan baru kembali. Tajdid berakar dari kata Jaddada,
diartikan dengan menjadikan baru lagi.[10] Tajdid
dalam pemikiran berarti aktifitas koreksi ulang atau konseptualisasi ulang terhadap
aktifitas keIslaman, dengan mengoreksi hal-hal yang bersifat tidak
sesuai dengan konteks baru.
Ada beberapa
hal yang dapat ditelaah lebih dalam dari penjelasan makna Islam
Modern di atas, yaitu :
1.
Apakah makna Modern sama dengan Tajdid
(pembaharuan) karena dua kata atau istilah tersebut sering disandingkan oleh
beberapa peneliti atau sejarawan.
2.
Apakah ada perbedaan asasi antara kedua
istilah di atas? Sehingga tidak dapat disamakan.
3.
Jika tidak dapat disamakan, apakah dampak
atau implikasi dari penyandingan dua istilah tersebut?
Istilah modern berasal dari tradisi barat (Kristen) yang ingin menjadikan
sebuah paham akan kesesuaian agama dengan dunia baru, meski awalnya istilah
modern adalah paham akan ilmu pengetahuan.[11]
Paham inilah yang mengarahkan agama dan ajaran mereka kepada bentuk
sekularisme.
Makna ini selintas mirip dengan arti Tajdid dalam Islam, hanya dalam pemahaman
pembaharuan Islam, paham ini tidak dapat mengubah ajaran-ajaran yang bersifat
mutlak (tak dapat dirubah). Tajdid hanya bertempat pada wilayah penafsiran atau
interpretasi dari ajaran Islam, seperti aspek teologi, hukum, politik, ekonomi,
dll.
Jika tidak dipahami secara mendasar tentang perbedaan Modern dan Tajdid,
maka implikasi yang timbul adalah pengarahan ajaran Islam kepada paham
sekulerisme. Hal ini telah terjadi saat ini dengan munculnya paham Liberalisme.
Penting untuk kembali menelisik asal-usul paham modern sehingga tidak terjebak
kedalam pemahaman yang keliru.[12] Keharusan
terhadap pemikiran modern, mengharuskan sikap rasional yang kritis terhadap
ajaran Islam, sangat mungkin rasio akan melebihi kadarnya dibandingkan dengan
sumber nash itu sendiri jika tidak memahami perbedaan kedua istilah di atas.
B.
Latar Belakang Pemikiran Islam
Modern
Melihat periodisasi sejarah umat Islam, gerakan modern ini dimulai pada abad ke 18,
yaitu ketika peradaban barat mulai menemukan dan mengembangkan paham rasionalismenya
ke peradaban lain. Meskipun dalam sejarahnya, peradaban Islamlah yang
menginspirasi barat dalam menemukan kejayaannya.
Pemikiran Islam modern muncul atau respon dari keterbelakangan umat Islam
di berbagai bidang, ekonomi, pendidikan, ilmu pengetahuan, politik dan hal-hal
lainnya.[13] Paling
tidak ada lima macam
kemunduran dan keterbelakangan umat Islam yang menyebabkan munculnya gerakan pemikiran Islam modern: [14]
1.
Kemunduran umat Islam karena telah
meninggalkan ajaran Islam yang sebenarnya dan mengikuti ajaran-ajaran yang
datang dari luar. Ini terlihat dari munculnya gerakan fatalisme dalam qada’ dan
qadar.
2.
Sebab politis, yaitu pertentangan dan
persaingan serta perpecahan dalam sistem kepemimpinan yang absolut.
3.
Lemahnya persaudaraan dalam umat Islam.
4.
Pemahaman yang jumud (statis, membeku) yang
tetap mempertahankan tradisi.
5.
Masuknya berbagai macam bid’ah, paham
animistis yang dibawa oleh orang
non-Arab ke dalam Islam.
Persoalan
kepemimpinan (khilafah) dalam Islam, tercatat dalam sejarah merupakan hal yang
selalu membawa kepada perpecahan dan pertumpahan darah. Pergantian khilafah
dari beberapa khilafah Islam, selalu diwarnai dengan peerangan yang disebabkan
keteguhan masing-masing pihak tentang makna khilafah dan keabsolutannya.
Pada
abad ke 18, secara politis, kondisi umat Islam sedang berada dalam penjajahan
Negara-negara Eropa (kolonial) yang berupaya mengambil dan mengeruk keuntungan
dari negeri yang dijajahnya. Peradaban Barat sedang mengalami puncak
keemasannya. Sebelumnya, bagi
masyarakat Eropa, abad ke 15 Masehi adalah titik kulminasi yang menghantarkan
mereka kepada kemajuan serta berlepas diri dari abad kegelapan (the dark
age). Sebelum memasuki abad 15, masyarakat Eropa mengalami berbagai
guncangan sejarah, dimana peradaban mereka sangat tertinggal dari anak benua
lain, terutama jika dibandingkan dengan peradaban Islam yang saat itu sedang
berada di titik kejayaannya.
Kemajuan di Eropa tersebut
diiringi dengan semakin maraknya gerakan anti-agama. Setidaknya ada dua faktor
yang telah menyebabkan masyarakat Eropa menjauhi agama: pertama,
akibat trauma kemunduran yang sebelumnya dialami masyarakat Eropa, dimana
gereja sangat mendominasi seluruh sisi kehidupan masyarakat. Kedua,
perkembangan ilmu-ilmu empiris yang sangat pesat, telah banyak mementahkan
doktrin-doktrin gereja yang banyak mengandung unsur irasionalitas.
Satu hal yang harus diingat,
bahwa masa peralihan yang dialami masyarakat Eropa dari the dark age
menuju kepada peradaban modern, ditopang oleh berbagai pemikiran yang
berkembang saat itu, terutama filsafat dan ilmu-ilmu eksakta, seperti
terjadinya Aufklarung di Jerman. Minimal ada empat faktor yang telah
mengantarkan Eropa mencapai renaissance:
1.
Penerjemahan buku-buku hasil karya kaum Muslimin ke dalam bahasa Latin. Hal
ini berlangsung antara abad 13 dan 14 Masehi. Pengaruh pemikiran Arab inilah
yang telah memberi amunisi besar bagi masyarakat Barat untuk melanjutkan
berbagai inovasi dan penemuan ilmiah ilmuwan Arab-Muslim.
2.
Ketika Turki berhasil menaklukkan Konstantinopel pada tahun 1452 M, banyak
ilmuwan Yunani yang hijrah ke Italia dan bekerjasama dengan komunitas yang
sudah lama berusaha menghidupkan tradisi filsafat Platonis.
3.
Mulai banyak berdirinya lembaga-lembaga pendidikan yang mempelajari ilmu
pengetahuan secara independen dan jauh dari tekanan gereja.
Tekanan
politik Barat terhadap peradaban dan umat Islam, membuat persatuan umat Islam
terpecah, dan hal ini dimanfaatkan oleh barat untuk menggiring pemahaman yang
mendorong umat Islam melupakan ajarannya sendiri. Kita ingat, berdirinya
kerajaan Sa’ud di Arab Saudi adalah atas jasa politik Barat (Inggris dan
Amerika), sehingga sampai saat ini kedua negara adikuasa tersebut masih kuat
pengaruhnya terhadap kerajaan Arab Saudi.
Menyadari
kondisi umat Islam yang semakin terbelakang, muncullah beberapa ulama yang
mengeluarkan dan mengajarkan tentang paham modern. Didasari atas ketidakmampuan
umat Islam untuk tetap bertahan pada pemahaman ‘tradisi’nya akan ajaran,
tokoh-tokoh ini mengajak umat Islam untuk mengedepankan rasionalitas dalam
memahami inti ajaran.
Ada klasifikasi generasi Islam modern dalam sejarah Islam,
seperti yang digambarkan dengan penjelasan di bawah ini :
1.
Generasi pertama Islam modernis diwakili
Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh.[15]
Kedua tokoh itu hidup dalam konteks sejarah kolonial, dimana banyak bangsa
Muslim menjadi korban penindasan politik dan eksploitasi ekonomi oleh
bangsa-bangsa Barat. Karena itu, semangat generasi pertama Islam modernis
adalah melawan para penjajah Barat dengan ilmu dan teknologi modern—yang
notabene dikembangkan oleh orang-orang Barat. Salah satu fokus dari usaha umat
Islam waktu itu adalah mengembangkan sistem pendidikan modern, yang tidak hanya
mengajarkan agama dan tradisi namun juga penguasaan ilmu dan teknologi.
2.
Generasi kedua Islam modernis dicirikan
oleh berkurangnya, atau hilangnya, semangat permusuhan antara Islam dan Barat,
dan berganti dengan dialog dan kerjasama. Generasi kedua hidup di era
pasca-kolonial, sehingga atmosfir politik yang ada sudah bukan lagi permusuhan,
melainkan kebutuhan akan kerjasama. Salah satu tokoh utama generasi ini adalah
almarhum Fazlur Rahman—intelektual kelahiran Pakistan yang menjadi professor di
The University of Chicago, Amerika.[16]
Menurut Rahman, umat Islam harus bisa melihat bahwa etika Islam bersifat
universal dan memiliki banyak kesamaan dengan peradaban Barat.[17]
Permusuhan dan pertentangan antara Islam dan Barat adalah sejarah masa lalu.
Sekarang, umat Islam dan bangsa-bangsa Barat memiliki agenda yang sama untuk
bangkit dari sejarah permusuhan, dan bersama membangun peradaban umat manusia
yang lebih baik.[18]
3.
Generasi ketiga Islam modernis yang lahir
dari perjumpaan dengan modernitas yang dibawa oleh bangsa penjajah dari Eropa
yang menduduki sebagian besar dunia Islam. Fakta itu melahirkan pertanyaan:
mengapa umat Islam bisa dikalahkan oleh umat lain? Penggagas Islam modernis
menemukan jawaban bahwa umat Islam telah terjebak pada tradisi-tradisi Islam
yang partikular, yang tidak kompatibel dengan perkembangan ilmu dan teknologi.
Padahal, Islam sama sekali tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemajuan dan
perkembangan peradaban. Oleh karena itu, mereka menyerukan supaya umat Islam
kembali kepada Islam yang universal, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah, supaya bisa
mengejar ketertinggalan—dan membebaskan diri dari penindasan—bangsa lain.
C.
Pemikiran Islam Modern di
Indonesia
Ciri utama pemikiran Islam modern adalah selalu dan pasti cenderung atau
membawa pemikiran dan kehidupan umat Islam kepada harmoni kehidupan saat ini.[19]
Tentunya disebabkan beberapa faktor yang telah diterangkan di atas.
Mark Woodward mengelompokkan umat Islam di Indonesia atas
perubahan zaman ke dalam lima
kelompok.[20]
Pengelompokan Woodward ini tampaknya melihat dari sudut doktrin dan akar-akar
sosial di dalam masyarakat Islam Indonesia yang lama maupun yang
baru.
Pertama, Indigenized Islam. Indigenized
Islam adalah sebuah ekspresi Islam yang bersifat lokal; secara formal mereka
mengaku beragama Islam, tetapi biasanya mereka lebih mengikuti aturan-aturan
ritual lokalitas ketimbang ortodoksi Islam. Karakteristik ini paralel dengan
apa yang disebut Clifford Geertz sebagai Islam Abangan untuk konteks Jawa.
Dalam hubungan politik dan agama, secara given mereka mengikuti cara
berpikir sekuler dan enggan membawa masalah agama ke ranah negara dan
sebaliknya.
Kedua, kelompok tradisional
Nahdlatul Ulama (NU). NU adalah penganut aliran Sunni terbesar di Indonesia
yang dianggap memiliki ekspresinya sendiri, karena di samping ia memiliki
kekhasan yang tidak dimiliki kelompok lain seperti basis yang kuat di pesantren
dan di pedesaan, hubungan guru murid yang khas, mereka juga dicirikan oleh
akomodasi yang kuat atas ekspresi Islam lokal sejauh tidak bertentangan dengan
Islam sebagai keyakinan. Ia tampaknya tidak berusaha untuk memaksakan
“Arabisme” ke dalam kehidupan keislaman sehari-hari.
Ketiga, Islam modernis. Mereka
terutama berbasis pada Muhammadiyah, organisasi terbesar kedua setelah
Nahdlatul Ulama. Ia berbasis pada pelayanan sosial seperti pendidikan dan
kesehatan. Ia memperkenalkan ide-ide modernisasi dalam pengertian klasik. Ia
misalnya, dalam arus utamanya, menolak ekspresi lokal dan lebih mengukuhkan
ekspresi puritanisme yang lebih menonjolkan “ke-Arab-an”.
Keempat, Islamisme atau Islamis.
Gerakan yang disebut terakhir ini tidak hanya mengusung Arabisme dan
konservatisme, tetapi juga di dalam dirinya terdapat paradigma ideologi Islam
Arab. Tidak heran kalau Jihad dan penerapan Syari’ah Islam menjadi karakter
utama dari kelompok ini. Kelompok ini juga tidak segan-segan membentuk barisan
Islam paramiliter untuk melawan siapa saja yang diidentifikasi sebagai musuh
Islam yang mereka definisikan.
Kelima, neo-modernisme Islam. Ia
lebih dicirikan dengan gerakan intelektual dan kritiknya terhadap doktrin Islam
yang mapan. Ia berasal dari berbagai kelompok, termasuk kalangan tradisional
maupun dari kalangan modernis. Mereka biasanya tergabung dalam berbagai NGO dan
institusi-institusi riset, perguruan tinggi Islam dan pemimpin Islam
tradisional tertentu. Mereka juga melakukan pencarian tafsir baru terhadap
berbagai doktrin Islam berlandaskan pada realitas masyarakat dan penggunaan
filsafat dan metode-metode baru seperti hermeneutika.
Pemikiran modern di Indonesia telah
terlihat pada akhir abad ke-19, ketika generasi ulama Indonesia
yang belajar di Haramain (Mekkah dan Madinah) yang dikenal dengan Ashhab Al-Jawiyyin,
menyadari bahwa metode dan tatanan berfikir (mindset) tradisional dalam Islam
tidak akan sanggup menghadapi tantangan kolonialisme dan peradaban modern.[21]
Dari pengaruh Arab ini kemudian menjadikan beberapa perubahan
aktifitas keIslaman di Indonesia
terutama dalam bidang pendidikan. Genealogi intelektual di Indonesia terbagi menjadi tiga, pertama,
mereka yang berorientasi Barat yang saat itu biasa disebut sebagai kaum
terpelajar atau kemadjoean. Kedua, adalah mereka yang masih berpegang
teguh pada khazanah agung. “Mereka ini diwakili oleh kaum tradisionalis-konservatif”.
Ketiga, mereka yang berhaluan pembaharuan atau modernisme Islam.
Jika dikatakan bahwa Islam modern di
Indonesia direpresentasikan oleh Muhammadiyah, sebagai reaksi dari kelompok Indigenized Islam dan
kelompok tradisonal, ternyata tidak berhenti pada tiga kelompok ini saja. Masih
ada kelompok Islamisme, yang mengusung konsep ‘Arabisme’ dalam pemikirannya dan
kelompok Neo-Modernisme yang mengusung ide-ide liberalisme dalam isu-isu
pemikirannya. Fenomena ini membagi kelompok Islam modern di Indonesia kepada
dua tipe :
1.
Modernis yang mengakomodir ide
modernisasi Barat dengan mengadopsi metode berfikirnya.
2.
Modernis yang menolak metode berfikir Barat,
meskipun tidak menolak produknya.
Lantas, dimana posisi Muhammadiyah yang digolongkan sebagai kaum
modernis? Tentunya tidak masuk ke dalam dua tipe di atas. Disatu sisi
Muhammadiyah terlahir dari ide-ide puritanisme Wahhabi dan tajdid Abduh,[22]
namun di sisi lain, Muhammadiyah tidak menerima seutuhnya metode berfikir yang
dipakai oleh kelompok neo-modernisme. Sebagai organisasi pembaharu, tentunya
Muhammadiyah selalu menyesuaikan diri dengan kondisi yang selalu baru (modern)
dan tidak terjebak dalam konsep kemapanan modern.
Jika dahulu, gerakan
modern selalu ‘berkonflik’ dengan kelompok tradisional, saat ini peta dinamika
pemikiran modern mulai berubah. Konflik pemikiran yang diusung kelompok modern
dahulu tentang puritanisme, menjadi ide besar yang diusung oleh kelompok
Islamisme baru yang berkiblat kepada ‘Arabisme’. Di lain panggung, kelompok
modern berhadapan dengan berbagai generasi ketiga pemikiran modern yaitu
neo-modernisme yang mengusung istilah ‘liberating’ atau pembebasan dari
kejumudan pemikiran ajaran Islam. Dan uniknya, kelompok ‘liberating’ ini adalah
kader-kader utama dari kelompok modern.
Salafi,
Islamisme Baru dalam Dinamika Pemikiran Islam Indonesia
Indonesia merupakan
lahan subur untuk lahir dan tumbuhnya berbagai gerakan Islam dengan berbagai
ragamnya; baik yang “hanya sekedar” perpanjangan tangan dari gerakan yang
sebelumnya telah ada, ataupun yang dapat dikategorikan sebagai gerakan yang
benar-benar baru. Dan sejarah pergerakan Islam Indonesia benar-benar telah
menjadi saksi mata terhadap kenyataan itu selama beberapa kurun waktu lamanya.
Dan kini, di era
modern ini, mata sejarah semakin “dimanjakan” oleh kenyataan itu dengan
tumbuhnya aneka gerakan Islam modern yang masing-masing menyimpan keunikannya
tersendiri. Jagat pergerakan Islam Indonesia modern tidak hanya diramaikan oleh
organisasi semacam Muhammadiyah dan NU, tapi disana ada pemain-pemain baru yang
juga secara perlahan –namun pasti- mulai menanamkan pengaruhnya. Mulai dari
yang mengandalkan perjuangan politis hingga yang lebih memilih jalur gerakan
sosial-kemasyarakatan. Salah satu gerakan Islam tersebut adalah yang menyebut
diri mereka sebagai Salafi atau Salafiyah.[23] Salah
satu peristiwa fenomenal gerakan ini yang sempat “menghebohkan” adalah
kelahiran Laskar Jihad yang dimotori oleh Ja’far Umar Thalib pada 6 April 2000
pasca meletusnya konflik bernuansa SARA di Ambon dan Poso.
Tidak dapat
dipungkiri bahwa gerakan Salafi di Indonesia banyak dipengaruhi oleh ide
dan gerakan pembaruan yang dilancarkan oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab di
kawasan Jazirah Arabia. Menurut Abu Abdirrahman al-Thalibi[6], ide pembaruan Ibn ‘Abd
al-Wahhab diduga pertama kali dibawa masuk ke kawasan Nusantara oleh beberapa
ulama asal Sumatera Barat pada awal abad ke-19. Inilah gerakan Salafiyah pertama
di tanah air yang kemudian lebih dikenal dengan gerakan kaum Padri, yang salah
satu tokoh utamanya adalah Tuanku Imam Bonjol. Gerakan ini sendiri berlangsung
dalam kurun waktu 1803 hingga sekitar 1832. Tapi, Ja’far Umar Thalib mengklaim
–dalam salah satu tulisannya[7]-
bahwa gerakan ini sebenarnya telah mulai muncul bibitnya pada masa Sultan Aceh
Iskandar Muda (1603-1637).
Disamping itu, ide
pembaruan ini secara relatif juga kemudian memberikan pengaruh pada
gerakan-gerakan Islam modern yang lahir kemudian, seperti Muhammadiyah, PERSIS,
dan Al-Irsyad. “Kembali kepada al-Quran dan al-Sunnah” serta pemberantasan
takhayul, bid’ah dan khurafat kemudian menjadi semacam isu mendasar yang
diusung oleh gerakan-gerakan ini. Meskipun satu hal yang patut dicatat bahwa
nampaknya gerakan-gerakan ini tidak sepenuhnya mengambil apalagi menjalankan
ide-ide yang dibawa oleh gerakan purifikasi Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab.
Apalagi dengan munculnya ide pembaruan lain yang datang belakangan, seperti ide
liberalisasi Islam yang nyaris dapat dikatakan telah menempati posisinya di
setiap gerakan tersebut.
Di tahun 80-an,
-seiring dengan maraknya gerakan kembali kepada Islam di berbagai kampus di
Tanah air- mungkin dapat dikatakan sebagai tonggak awal kemunculan gerakan Salafiyah
modern di Indonesia. Adalah Ja’far Umar Thalib salah satu tokoh utama yang
berperan dalam hal ini.
Ada beberapa ide penting dan khas
gerakan Salafi Modern dengan gerakan-gerakan tersebut, yaitu:
1.
Hajr Mubtadi’ (Pengisoliran terhadap
pelaku bid’ah)
Sebagai sebuah
gerakan purifikasi Islam, isu bid’ah tentu menjadi hal yang mendapatkan
perhatian gerakan ini secara khusus. Upaya-upaya yang mereka kerahkan salah
satunya terpusat pada usaha keras untuk mengkritisi dan membersihkan ragam
bid’ah yang selama ini diyakini dan diamalkan oleh berbagai lapisan masyarakat
Islam.[24]
2.
Sikap terhadap politik (parlemen dan pemilu).
Hal lain yang
menjadi ide utama gerakan ini adalah bahwa gerakan Salafi bukanlah gerakan
politik dalam arti yang bersifat praktis. Bahkan mereka memandang keterlibatan
dalam semua proses politik praktis seperti pemilihan umum sebagai sebuah bid’ah
dan penyimpangan. Ide ini terutama dipegangi dan disebarkan dengan gencar oleh
pendukung Salafi Yamani. Muhammad As-Sewed mislanya –yang saat itu masih
menjabat sebagai ketua FKAWJ mengulas kerusakan-kerusakan pemilu sebagai
berikut:
a.
Pemilu adalah
sebuah upaya menyekutukan Allah (syirik) karena menetapkan aturan berdasarkan
suara terbanyak (rakyat), padahal yang berhak untuk itu hanya Allah.
b.
Apa yang
disepakati suara terbanyak itulah yang dianggap sah, meskipun bertentangan
dengan agama atau aturan Allah dan Rasul-Nya.
c.
Pemilu adalah
tuduhan tidak langsung kepada islam bahwa ia tidak mampu menciptakan masyarakat
yang adil sehingga membutuhkan sistem lain.
d.
Partai-partai
Islam tidak punya pilihan selain mengikuti aturan yang ada, meskipun aturan itu
bertentangan dengan Islam.
e.
Dalam pemilu
terdapat prinsip jahannamiyah, yaitu menghalalkan segala cara demi
tercapainya tujuan-tujuan politis, dan sangat sedikit yang selamat dari itu.
f.
Pemilu berpotensi
besar menanamkan fanatisme jahiliah terhadap partai-partai yang ada.
3.
Sikap terhadap gerakan Islam yang lain.
Pandangan
pendukung gerakan Salafi modern di Indonesia terhadap berbagai gerakan
lain yang ada sepenuhnya merupakan imbas aksiomatis dari penerapan prinsip hajr
al-mubtadi’ yang telah dijelaskan terdahulu. Baik Salafi Yamani maupun
Haraki, sikap keduanya terhadap gerakan Islam lain sangat dipengaruhi oleh
pandangan mereka dalam penerapan hajr al-mubtadi’. Sehingga tidak
mengherankan dalam poin inipun mereka berbeda pandangan.
Jika Salafi Haraki
cenderung ‘moderat’ dalam menyikapi gerakan lain, maka Salafi Yamani dikenal
sangat ekstrim bahkan seringkali tanpa kompromi sama sekali.
Fenomena sikap
keras Salafi Yamani terhadap gerakan Islam lainnya dapat dilihat dalam beberapa
contoh berikut:
a.
Sikap terhadap Ikhwanul Muslimin
Barangkali tidak
berlebihan jika dikatakan Ikhwanul Muslimin nampaknya menjadi musuh utama di
kalangan Salafi Yamani. Mereka bahkan seringkali memelesetkannya menjadi
“Ikhwanul Muflisin”.[21] Tokoh-tokoh utama gerakan ini
tidak pelak lagi menjadi sasaran utama kritik tajam yang bertubi-tubi dari
kelompok ini. Di Saudi sendiri –yang menjadi asal gerakan ini-, fenomena
‘kebencian’ pada Ikhwanul Muslimin dapat dikatakan mencuat seiring bermulanya
kisah Perang Teluk bagian pertama. Adalah DR. Rabi’ ibn Hadi al-Madkhali yang
pertama kali menyusun berbagai buku yang secara spesifik menyerang Sayyid Quthb
dan karya-karyanya. Salah satunya dalam buku yang diberi judul “Matha’in
Sayyid Quthb fi Ashab al-Rasul” (Tikaman-tikaman Sayyid Quthub terhadap
Para Sahabat Rasul).
Secara umum, ada
beberapa hal yang dianggap sebagai penyimpangan oleh kalangan Salafi Yamani
dalam tubuh Ikhwanul Muslimin, diantaranya:
-
Bai’at yang
dianggap seperti bai’at sufiyah dan kemiliteran.
-
Adanya marhalah
(fase-fase) dalam dakwah yang menyerupai prinsip aliran Bathiniyah.
-
Organisasi
kepartaian (tanzhim hizb).
Berbeda dengan
yang disebut Salafi Haraki, mereka cenderung kooperatif dalam melihat
gerakan-gerakan Islam yang ada dalam bingkai “nata’awan fima ittafaqna
‘alaih, wa natanashahu fima ikhtalafna fihi.”[29]
Karena itu, faksi ini cenderung lebih mudah memahami bahkan berinteraksi dengan
kelompok lain, termasuk misalnya Ikhwanul Muslimin. Meskipun untuk itu kelompok
inipun harus rela diberi cap “Sururi” oleh kelompok Salafi Yamani.
Yayasan Al-Sofwa, misalnya, masih mengakomodir kaset-kaset ceramah beberapa
tokoh PKS seperti DR. Ahzami Sami’un Jazuli.
b.
Sikap terhadap Sururiyah
Secara umum, Sururi
atau Sururiyah adalah label yang disematkan kalangan Salafi Yamani
terhadap Salafi Haraki yang dianggap ‘mencampur-adukkan’ berbagai manhaj
gerakan Islam dengan manhaj salaf. Kata Sururiyah sendiri adalah
penisbatan kepada Muhammad Surur bin Zainal Abidin. Tokoh ini dianggap sebagai
pelopor paham yang mengadopsi dan menggabungkan ajaran Salafi dengan Ikhwanul
Muslimin. Disamping Muhammad Surur, nama-nama lain yang sering dimasukkan dalam
kelompok ini adalah DR. Safar ibn ‘Abdirrahman al-Hawali, DR. Salman ibn Fahd
Al-‘Audah –keduanya di Saudi- dan Abdurrahman Abdul Khaliq dari Jam’iyyah
Ihya’ al-Turats di Kuwait.
4.
Sikap terhadap pemerintah
Secara umum,
sebagaimana pemerintah yang umum diyakini Ahl al-Sunnah –yaitu ketidakbolehan khuruj
atau melakukan gerakan separatisme dalam sebuah pemerintahan Islam yang
sah-, Gerakan Salafi juga meyakini hal ini. Itulah sebabnya, setiap tindakan
atau upaya yang dianggap ingin menggoyang pemerintahan yang sah dengan mudah
diberi cap Khawarij, bughat atau yang semacamnya.
III.
Kesimpulan
1.
Islam Modern adalah paham pemikiran yang
mengedepankan ide tentang perlunya re-interpretasi terhadap ajaran Islam agar
sesuai dengan waktu saat ini (baru).
2.
Ada
perbedaan makna dan implikasi antara istilah Modern dan Tajdid (Pembaharuan). Jika Modern
dipahami dari sisi pandang peradaban barat maka akan berimplikasi terhadap
perombakan total terhadap ajaran Islam yang akan menjadikan ajaran Islam itu
sendiri sebagai sebuah produk Allah SWT yang tidak absolut. Namun jika dipahami dengan Tajdid, maka akan
nampak implikasi hanya pada dataran penafsiran ulang atas ajaran Islam dalam
berbagai bidang, seperti politik, ekonomi, social dll.
3.
Pemikiran modern dalam Islam muncul dari
keterbelakangan umat Islam yang menjadikan sisi lemah dan kemunduran.
4.
Indonesia,
merupakan lahan subur untuk lahir dan berkembangnya pemikiran yang
bermacam-macam, dan selalu akan menimbulkan konflik sebagai sebuah dinamika
peradaban.
DAFTAR PUSTAKA
Adams, Charles C., Islam
and Modernisme in Egypt,
New York,
Atheneum Publisher, 1933.
Ancok,
Djamaluddin, Membangun Kompotensi Manusia dalam Milenium Ke Tiga,
Psikologika, Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi, Nomor : 6 Tahun III,
UII, 1998.
Djaja, Tamar, Pustaka Indonesia: Riwayat Hidup Orang-Orang Besar Tanah
Air, Jakarta,
Bulan Bintang, 1966.
Echols, John M. dan Hassan
Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta,
Gramedia, 2006.
Gardet, Louis & M.
Arkoun, Islam Kemarin dan Hari Esok, terj. Ahsin Mohammad, Bandung, Puskata, 1997.
Hourani, Albert, Arabic
Thought in the Liberal Age 1798-193,. USA,
Cambridge University Press, 1983.
Latif, Yudi, Inteligensia
Muslim dan Kuasa : Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia
Abad Ke-20, Bandung,
Mizan Media Utama, 2005.
Munawir, Ahmad Warson, Al-Munawwir
Kamus Arab Indonesia, Surabaya, Pustaka
Progressif, 1997.
Nasir, Haedar, Muhammadiyah
dan Mata Rantai Pembaharuan Islam (7), dimuat dalam majalah Suara
Muhammadiyah, edisi 14 Mei 2008.
Nasution, Harun, Pembaharuan
Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Nata, Abudin, Peta
Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2001.
Kamus Besar Bahasa Indonesia
online, http://pusatbahasa.diknas.go.id/-kbbi/index.php
Rahman, Fazlur, Islam, Chicago: University of Chicago
Press, 1979.
_____________, Islam
Modern Tantangan Pembaharuan Islam, terj. Hamid Basyaub, Yogyakarta,
Sholahuddin Press, 1987.
_____________, Islam
dan Modernitas Tantangan Transformasi Intelektual, Bandung, Pustaka, 1995.
Sudiro,
M. Irsyad, Pendidikan Agama dalam Masyarakat Modern, Seminar dan Lokakarya
Nasional Revitalisasi Pendidikan Agama Luar Sekolah dalam Masyarakat Modern,
Cirebon, tanggal, 30-31 Agusrus 1995.
Wilson, Samuel Graham, Modern
Movements Among Moslems, New York, Fleming Company, TT.
Woodward, M., (Summer-Fall
2001), Indonesia,
Islam and the Prospect of Democracy, SAIS
Review Vol. XXI, No. 2.
www.salafy.or.id.
[1]
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang,
1975, hlm. 12-14. Di akhir abad 19 dan awal abad 20, disebut oleh Albert
Hourani dengan “liberal age”, atau periode ‘bebas’, artinya corak
pemikiran Islam pada masa ini cenderung dengan sikap pembebasan dalam beberapa
hal pemikiran, teologi, tafsir dan lainnya. Lihat Albert Hourani, Arabic
Thought in the Liberal Age 1798-193,. USA, Cambridge University Press,
1983, hlm. 75. Corak pemikiran modern ini tidak hanya nampak di Arab saja
tetapi juga negara-negara muslim lainnya, termasuk Indonesia, juga ikut meramaikan
wacana liberal ini. Kita
mengenal beberapa tokoh intelektual liberal Tanah Air yang memiliki concern yang
sama dengan tokoh-tokoh liberal di Timur Tengah, seperti Muhammad Djamil
Djambek (1860-1947), M. Thaib Umar (1874-1920), Abdullah Ahmad (1878-1933),
dan Hadji Agus Salim (1884-1954). Untuk mengetahui biografi
menarik lebih lanjut tentang tokoh-tokoh ini, lihat Tamar Djaja, Pustaka
Indonesia: Riwayat Hidup Orang-Orang Besar Tanah Air, Jakarta, Bulan Bintang
1966.
mengenal beberapa tokoh intelektual liberal Tanah Air yang memiliki concern yang
sama dengan tokoh-tokoh liberal di Timur Tengah, seperti Muhammad Djamil
Djambek (1860-1947), M. Thaib Umar (1874-1920), Abdullah Ahmad (1878-1933),
dan Hadji Agus Salim (1884-1954). Untuk mengetahui biografi
menarik lebih lanjut tentang tokoh-tokoh ini, lihat Tamar Djaja, Pustaka
Indonesia: Riwayat Hidup Orang-Orang Besar Tanah Air, Jakarta, Bulan Bintang
1966.
[2] Menurut Deliar Noer, yang dimaksud dengan
gerakan modernisme (Islam) adalah gerakan kembali kepada Qur’an dan Sunnah
sebagai sumber ajaran pokok Islam. Lihat “Harun Nasution dalam Perkembangan
Pemikiran Islam di Indonesia” dalam Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70
Tahun Harun Nasution, Jakarta: Panitia Penerbitan Buku dan Seminar 70 Tahun
Harun Nasution dan Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1989, hlm. 83.
[3]
Dilihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia online, http://pusatbahasa.diknas.go.id/-kbbi/index.php
[4] Ibid.
[5]
Modernisasi adalah proses pergeseran sikap dan mentalitas sbg warga masyarakat
untuk dapat hidup sesuai dng tuntutan masa kini; pemodernan: Istilah
modernisasi biasanya lebih dekat dan dikenal dalam bidang teknologi, meskipun
sebenarnya ia merupakan kata umum yang dapat dipakai dalam berbagai bidang,
termasuk bidang pemikiran. Ibid.
[6]
Kata Modern dalam bahasa Inggris, Modernistic, berarti model baru.
Lihat John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta, Gramedia, 384,
hlm. 384. Salah satu ciri utama kehidupan di masa
sekarang dan masa yang akan datang adalah cepatnya terjadi perubahan yang
terjadi dalam kehidupan manusia. Banyak paradigma yang digunakan untuk menata
kehidupan, baik kehidupan individual maupun kehidupan organisasi yang pada
waktu yang lalu sudah mapan, kini menjadi ketinggalan zaman Secara umum
masyakarat modern adalah masyarakat yang proaktif, individual, dan kompetitif.
Lihat Djamaluddin Ancok, Membangun Kompotensi Manusia dalam Milenium Ke Tiga,
Psikologika, Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi, Nomor : 6 Tahun III,
UII, 1998, hlm. 5.
[7]
Abudin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo
Persada, 2001, hlm. 155.
[8]
Abudin Nata, Ibid.
[9]
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan,
Jakarta, Bulan Bintang, 1975, hlm. 9.
[10]
Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, Surabaya, Pustaka Progressif, 1997, hlm. 173.
[11] Pendapat Alvin Tofler dalam bukunya The Third Wave (1980)
yang bercerita tentang peradaban manusia, yaitu; (1) perdaban yang dibawa oleh
penemuan pertanian, (2) peradaban yang diciptakan dan dikembangkan oleh
revolusi industri, dan (3) peradaban baru yang tengah digerakan oleh revolusi
komunikasi dan informasi. Perubahan tersebesar yang diakibatkan oleh gelombang
ketiga adalah, terjadinya pergeseran yang mendasar dalam sikap dan tingkah laku
masyarakat. Lihat M.Irsyad Sudiro, Pendidikan Agama dalam Masyarakat Modern,
Seminar dan Lokakarya Nasional Revitalisasi Pendidikan Agama Luar Sekolah dalam
Masyarakat Modern, Cirebon, tanggal, 30-31 Agusrus 1995, hlm. 2.
[12]
Louis Gardet & M. Arkoun, Islam Kemarin dan Hari Esok, terj. Ahsin
Mohammad, Bandung,
Puskata, 1997, hlm. 144
[13] Pada masa-masa ini, gagasan romantisme kejayaan Islam
muncul sebagai motivasi melawan penjajahan. Inilah dorongan paling besar yang
merefleksikan kembali arti peradaban Islam di dunia modern, di tengah-tengah
hegemoni Barat waktu itu. Dorongan ini terus menjadi momentum pemikiran Islam
paska kolonialisme. Dari sini, mulailah dilakukan refleksi atas munculnya
peradaban Barat, dan hegemoninya atas dunia Islam. Nantinya, sebagai
"puncak" pemikiran modern ini, sangat relevan memberi perhatian atas
kajian-kajian ekonomi-politik atas apa yang menjadi pendorong imperialisme
Barat terhadap dunia Islam.
[14]
Abudin Nata, Ibid, hlm. 158-163.
[15]
Abduh berpendapat tentang pentingnya Tajdid terhadap ajaran Islam yang
universal, berasal dari Allah SWT dan tidak dibatasi ruang dan waktu. Ini
berbeda dengan aturan manusia yang akan selalu terbatas dengan zaman. Lihat
Charles C. Adams, Islam and Modernisme in Egypt, New York, Atheneum Publisher, 1933, hlm.
134.
[16]
Salah satu ide Rahman adalah tentang Neo-modernisme, yaitu paham yang melakukan
double movement (gerakan ganda) dalam pemikiran Islam, yaitu kembali
kepada pemahaman asal (inti) ajaran Islam dengan menelaah kembali sejarah dan
konteks awal munculnya, kemudian membawa (inti) ajaran Islam ke zaman sekarang.
Neo Modernisme merupakan reaksi yang muncul dari paham neo-revivalismenya
Muhammad Abdul Wahhab. Lihat Fazlur Rahman, Islam,
Chicago: University
of Chicago Press, 1979.
[17]
Namun Rahman menekankan tidak serta merta menerima dan mengadopsi peradaban
Barat, karena banyak hal-hal yang bersifat etika-praktis dalam peradaban Barat
tidak ubahnya seperti binatang. Lihat Fazlur Rahman, Islam Modern Tantangan
Pembaharuan Islam, terj. Hamid Basyaub, Yogyakarta,
Sholahuddin Press, 1987, hlm. 35.
[18]
Rahman mengedepankan perubahan pendidikan Islam yang perlu mengadopsi metode
Barat dengan tetap memahami dan mempertahankan inti ajaran. Ia melihat
perkembangan yang spektakuler dalam pendidikan Islam di Turki. Lihat Fazlur
Rahman, Islam dan Modernitas Tantangan Transformasi
Intelektual, Bandung,
Pustaka, 1995, hlm. 108.
[19]
Samuel Graham Wilson, Modern Movements Among Moslems, New York, Fleming
Company, TT, hlm. 153.
[20]
Woodward, M., (Summer-Fall 2001), Indonesia,
Islam and the Prospect of Democracy, SAIS
Review Vol. XXI, No. 2, hlm. 29-37.
[21]
Yudi Latif, Inteligensia Muslim dan Kuasa : Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad Ke-20, Bandung, Mizan Media Utama, 2005, hlm. 108.
[22]
Haedar Nasir, Muhammadiyah dan Mata Rantai Pembaharuan Islam (7), dimuat
dalam majalah Suara Muhammadiyah, edisi 14 Mei 2008.
[23] Kata Salafi adalah sebuah bentuk
penisbatan kepada al-Salaf. Kata al-Salaf sendiri secara bahasa
bermakna orang-orang yang mendahului atau hidup sebelum zaman kita. Adapun
makna al-Salaf secara terminologis yang dimaksud di sini adalah generasi
yang dibatasi oleh sebuah penjelasan Rasulullah saw dalam haditsnya:
“Sebaik-baik manusia
adalah (yang hidup) di masaku, kemudian yang mengikuti mereka, kemudian yang
mengikuti mereka...” (HR. Bukhari dan Muslim). Berdasarkan hadits ini,
maka yang dimaksud dengan al-Salaf adalah para sahabat Nabi saw,
kemudian tabi’in, lalu atba’ al-tabi’in.
[24] Akan tetapi, pada prakteknya
di Indonesia, masing-masing faksi –salafi Yamani dan haraki- sangat
berbeda. Dalam hal ini, salafi Yamani terkesan membabi buta dalam
menerapkan mekanisme ini. Fenomena yang nyata akan hal ini mereka terapkan
dengan cara melemparkan tahdzir (warning) terhadap person yang bahkan
mengaku mendakwahkan gerakan salafi. Puncaknya adalah ketika mereka menerbitkan
“daftar nama-nama ustadz yang direkomendasikan” dalam situs mereka. Sementara
Salafi Haraki cenderung melihat mekanisme hajr al-mubtadi’ ini sebagai
sesuatu yang tidak mutlak dilakukan, sebab semuanya tergantung pada maslahat
dan mafsadatnya. Menurut mereka, hajr al-mubtadi’ dilakukan tidak lebih
untuk memberikan efek jera kepada sang pelaku bid’ah. Namun jika itu tidak
bermanfaat, maka boleh jadi metode ta’lif al-qulub-lah yang berguna.
Lihat situs resmi mereka www.salafy.or.id.
Iron Iron Chef - Tithroid Arts
BalasHapusIron Chef ford focus titanium is an Iron Chef in titanium apple watch band the Iron Chef production company. Iron titanium pickaxe terraria Chef Iron Chef. Visit Iron titanium mens wedding band Chef. Iron Chef. Iron apple watch titanium Chef. Iron Chef. Iron Chef. Iron Chef. Iron Chef.
discover here dildo,male masturbator,sex chair,dildo,sex toys,wholesale sex doll,sex toys,cheap sex dolls,sex doll look these up
BalasHapush964j2xgbwi784 realistic dildo,dildo,adult sex toys,wolf dildo,adult sex toys,silicone sex doll,horse dildo,sex dolls,realistic dildos h076x3tcejt439
BalasHapusc544n5gocdb646 dildos,horse dildo,custom sex doll,wholesale sex toys,dildo,sex toys,dog dildo,dog dildo,Bullets And Eggs a043j9frniq707
BalasHapus