Rabu, 30 Mei 2012

ZAKAT FITRAH DALAM KAJIAN HADTIS


                       

 ZAKAT FITRAH DALAM KAJIAN HADTIS
 

Pendahulan
A. Latar Belakang.
Zakat Fitrah, atau yang lazim disebut zakat fitrah, sudah jamak diketahui sebagai penutup rangkaian ibadah bulan Ramadhan[1]. Bisa jadi sudah banyak pembahasan seputar hal ini yang membahas masalah ini. Namun tidak ada salahnya jika diulas kembali dengan dilengkapi dalil-dalilnya.
Telah menjadi kewajiban atas kaum muslimin untuk mengetahui hukum-hukum seputar zakat fitrah. Ini dikarenakan Rosulullah, Saw Ta'ala mensyariatkan bagi setiap muslim untuk menunaikannya usai melakukan kewajiban puasa Ramadhan. Tanpa mempelajari hukum-hukumnya, maka pelaksanaan syariat ini tidak akan sempurna. Sebaliknya, dengan mempelajarinya maka akan sempurna realisasi dari syariat tersebut.
            Dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma, berkata:
                                                                                                   
فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِطُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah sebagai penyuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata kotor serta sebagai pemberian makanan untuk orang-orang miskin.” (HR. Abu Dawud Kitabul Zakat Bab. Zakatul Fitr: 17 no. 1609)

Dari ilustrasi tersebut maka, makalah ini akan mengulas masalah Zakat Fitrah, defensi Zakat Fitrah, Hukum Zakat Fitrah, kepada siapa zakat fitrah diwajibkan, kapan waktu mengeluarkannya dan siapa  saja yang berhak menerima Zakat Fitrah. Serta hikmah dibalik Zakat Fitrah itu sendiri






Pembahasan
A. Pengertian Zakat Fitrah
Sebelum masuk ke Zakat Fitrah ada baiknya kita tengok sejenak tentang pengertian zakat. Menurut Bahasa(lughat), zakat berarti : tumbuh; berkembang; kesuburan atau bertambah (HR. At-Tirmidzi) atau dapat pula berarti membersihkan atau mensucikan (QS. At-Taubah : 10). Zakat diambil dari kata zakkaa, yuzakkii yang berarti membersihkan[2] dalam hal ini adalah harta benda. Menurut istilah agama islam zakat adalah mengeluarkan sebagian harta atau bahan makanan pokok menurut ketentuan dan ukuran yang ditentukan oleh syari’at Agama Islam. Bagi orang muslim zakat adalah kewajiban pribadi (fardlu ain) dan termasuk rukun islam yang ke 4. Membayar zakat dimulai pada tahun ke 2 Hijriah.
Zakat itu sendiri dibagi 2 yaitu Zakat Fitrah dan Zakat Maal. Namun kali ini kita singgung tentang zakat fitrah. Zakat fitrah atau disebut juga dengan zakat jiwa yang artinya adalah untuk menyucikan badan atau jiwa[3]. Dengan kata lain membayar Zakat Fitrah merupakan kewajiban bagi setiap muslim baik kaya atau miskin, laki-laki dan perempuan, tua dan muda, merdeka atau hamba untuk mengeluarkan sebagian dari makanan pokok menurut syari’at agama islam setelah mengerjakan puasa bulan Ramadhan pada setiap tahun
Sebutan yang populer di kalangan masyarakat kita adalah Zakat Fitrah. Mengapa demikian? Karena maksud dari zakat ini adalah zakat jiwa, diambil dari kata Fitrah, yaitu asal-usul penciptaan jiwa (manusia) sehingga wajib atas setiap jiwa (Fathul Bari, 3/367). Semakna dengan itu Ahmad bin Muhammad Al-Fayyumi menjelaskan bahwa ucapan para ulama “wajib fitrah” maksudnya wajib zakat fitrah. (Al-Mishbahul Munir: 476)
Namun yang lebih populer di kalangan para ulama  disebut  Zakat Fitrah atau  shadaqah Fitrah. Kata Fitrah di sini kembali kepada makna berbuka dari puasa Ramadhan, karena kewajiban tersebut ada setelah selesai menunaikan puasa bulan Ramadhan. Sebagian ulama seperti Ibnu Hajar Al-’Asqalani menerangkan bahwa sebutan yang kedua ini lebih jelas jika merujuk pada sebab musababnya dan pada sebagian penyebutannya dalam sebagian riwayat[4].

B. Hukum Zakat Fitrah
Pendapat yang terkuat, zakat fitrah hukumnya wajib. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, di antara mereka adalah Abul Aliyah, Atha’ dan Ibnu Sirin, sebagaimana disebutkan Al-Imam Al-Bukhari. Bahkan Ibnu Mundzir telah menukil ijma’ atas wajibnya zakat fitrah[5], walaupun tidak benar jika dikatakan ijma’. Namun, ini cukup menunjukkan bahwa mayoritas para ulama berpandangan wajibnya zakat fitrah.
Dasar mereka adalah hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍأَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَاْلأُنْثَى وَالصَّغِيْرِ وَالْكَبِيْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ

”Dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma ia mengatakan: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menfardhukan zakat fitri satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum atas budak sahaya, orang merdeka, laki-laki, wanita, kecil dan besar dari kaum muslimin. Dan Nabi memerintahkan untuk ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang menuju shalat (Id).” (Shahih, HR. Al-Bukhari, Kitabuz Zakat Bab Fardhu Shadaqatul Fithri 3/367, no. 1503:

أمر النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْر
“Nabi memerintahkan zakat fitri satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum.” (HR. Al-Bukhari no. 1507)
Dari dua lafadz hadits tersebut nampak jelas bahwa Nabi menfardhukan dan memerintahkan, sehingga hukum zakat fitrah adalah wajib.
Dalam hal ini, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa hukumnya sunnah muakkadah. Adapula yang berpendapat, hukumnya adalah hanya sebuah amal kebaikan, yang dahulu diwajibkan namun kemudian kewajiban itu dihapus. Pendapat ini lemah karena hadits yang mereka pakai sebagai dasar lemah menurut Ibnu Hajar. Sebabnya, dalam sanadnya ada rawi yang tidak dikenal. Demikian pula pendapat yang sebelumnya juga lemah. (Lihat At-Tamhid, 14/321; Fathul Bari, 3/368, dan Rahmatul Ummah fikhtilafil A`immah hal. 82)

C. Siapa yang Wajib Berzakat Fitrah

            Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menerangkan dalam hadits sebelumnya bahwa kewajiban tersebut dikenakan atas semua orang, besar ataupun kecil, laki-laki ataupun perempuan, dan orang merdeka maupun budak hamba sahaya. Akan tetapi untuk anak kecil diwakili oleh walinya dalam mengeluarkan zakat. Ibnu Hajar mengatakan: “Yang nampak dari hadits itu bahwa kewajiban zakat dikenakan atas anak kecil, namun perintah tersebut tertuju kepada walinya. Dengan demikian, kewajiban tersebut ditunaikan dari harta anak kecil tersebut. Jika tidak punya, maka menjadi kewajiban yang memberinya nafkah, ini merupakan pendapat jumhur ulama.” (Al-Fath Bari, 3/369)

Nafi’ mengatakan:

فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يُعْطِي عَنِ الصَّغِيْرِ وَالْكَبِيْرِ حَتَّى إِنْ كَانَ لِيُعْطِي عَنْ بَنِيَّ
“Dahulu Ibnu ‘Umar menunaikan zakat anak kecil dan dewasa, sehingga dia dulu benar-benar menunaikan zakat anakku.” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitabuz Zakat Bab 77, no. 1511, Al-Fath, 3/375)

             Demikian pula Apakah selain Muslim terkena Kewajiban Zakat ?
Sebagai contoh seorang anak yang kafir, apakah ayahnya (yang muslim) berkewajiban mengeluarkan zakatnya? Jawabnya: tidak. Karena Nabi memberikan catatan di akhir hadits bahwa kewajiban itu berlaku bagi kalangan muslimin (dari kalangan muslimin). Walaupun dalam hal ini ada pula yang berpendapat tetap dikeluarkan zakatnya. Namun pendapat tersebut tidak kuat, karena tidak sesuai dengan dzahir hadits Nabi.
Apakah Janin Wajib Dizakati, Jawabnya: tidak. Karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat tersebut kepada (anak kecil), sedangkan janin tidak disebut (anak kecil) baik dari sisi bahasa maupun adat. Bahkan Ibnul Mundzir menukilkan ijma’ tentang tidak diwajibkannya zakat fitrah atas janin. Walaupun sebetulnya ada juga yang berpendapat wajibnya atas janin, yaitu sebagian riwayat dari Al-Imam Ahmad dan pendapat Ibnu Hazm dengan catatan –menurutnya– janin sudah berumur 120 hari. Pendapat lain dari Al-Imam Ahmad adalah sunnah. Namun dua pendapat terakhir ini lemah, karena tidak sesuai dengan hadits di atas.
Wajibkah bagi Orang yang Tidak Mampu?
            Ibnul Qayyim mengatakan bahwa: “Bila kewajiban itu melekat ketika ia mampu melaksanakannya kemudian setelah itu ia tidak mampu, maka kewajiban tersebut tidak gugur darinya. Dan tidak menjadi kewajibannya (yakni gugur) jika ia tidak mampu semenjak kewajiban itu mengenainya.” (Bada`i’ul Fawa`id, 4/33)
             Adapun kriteria tidak mampu dalam hal ini, maka Asy-Syaukani menjelaskan: “Barangsiapa yang tidak mendapatkan sisa dari makanan pokoknya untuk malam hari raya dan siangnya, maka tidak berkewajiban membayar fitrah. Apabila ia memiliki sisa dari makanan pokok hari itu, ia harus mengeluarkannya bila sisa itu mencapai ukurannya (zakat fitrah).” (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, 9/369)
Dalam Bentuk Apa Zakat Fitrah dikeluarkan?
Hal ini telah dijelaskan dalam hadits diatas. Dan lebih jelas lagi dengan riwayat berikut:
 
عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: كُنَّ نُعْطِيْهَا فِي زَمَانِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيْبٍ
“Dari Abu Sa’id radhiallahu 'anhu, ia berkata: ‘Kami memberikan zakat fitrah di zaman Nabi sebanyak 1 sha’ dari makanan, 1 sha’ kurma, 1 sha’ gandum, ataupun 1 sha’ kismis (anggur kering)’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitabuz Zakat no. 1508 dan 1506, dengan Bab Zakat Fitrah 1 sha’ dengan makanan. Diriwayatkan juga oleh Muslim no. 2280)
Kata طَعَامٍ (makanan) maksudnya adalah makanan pokok penduduk suatu negeri baik berupa gandum, jagung, beras, atau lainnya. Yang mendukung pendapat ini adalah riwayat Abu Sa’id yang lain:

قَالَ كُنَّا نُخْرِجُ فِي عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ وَقَالَ أَبُو سَعِيْدٍ وَكَانَ طَعَامَنَا الشَّعِيْرُ وَالزَّبِيْبُ وَاْلأَقِطُ وَالتَّمْرُ
“Ia mengatakan: ‘Kami mengeluarkannya (zakat fitrah) berupa makanan di zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada hari Idul Fitri’. Abu Sa’id mengatakan lagi: ‘Dan makanan kami saat itu adalah gandum, kismis, susu kering, dan kurma’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari, Kitabuz Zakat Bab Shadaqah Qablal Id, Al-Fath, 3/375 no. 1510)
Di sisi lain, zakat fitrah bertujuan untuk menyenangkan para fakir dan miskin. Sehingga seandainya diberi sesuatu yang bukan dari makanan pokoknya maka tujuan itu menjadi kurang tepat sasaran.
           Inilah pendapat yang kuat yang dipilih oleh mayoritas para ulama. Di antaranya Malik (At-Tamhid, 4/138), Asy-Syafi’i dan salah satu riwayat dari Al-Imam Ahmad, Ibnu Taimiyyah (Majmu’ Fatawa, 25/69), Ibnul Mundzir (Al-Fath, 3/373), Ibnul Qayyim (I’lamul Muwaqqi’in, 2/21, 3/23, Taqrib li Fiqhi Ibnil Qayyim hal. 234), Ibnu Baz dan fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah (9/365, Fatawa Ramadhan, 2/914)
          Juga ada pendapat lain yaitu zakat fitrah diwujudkan hanya dalam bentuk makanan yang disebutkan dalam hadits Nabi. Ini adalah salah satu pendapat Al-Imam Ahmad. Namun pendapat ini lemah. (Majmu’ Fatawa, 25/68)
Bolehkah Mengeluarkannya dalam Bentuk Uang?
             Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam hal ini.
Pendapat pertama: Tidak boleh mengeluarkan dalam bentuk uang. Ini adalah pendapat Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Dawud. Alasannya, syariat telah menyebutkan apa yang mesti dikeluarkan, sehingga tidak boleh menyelisihinya. Zakat sendiri juga tidak lepas dari nilai ibadah, maka yang seperti ini bentuknya harus mengikuti perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala. Selain itu, jika dengan uang maka akan membuka peluang untuk menentukan sendiri harganya. Sehingga menjadi lebih selamat jika menyelaraskan dengan apa yang disebut dalam hadits.An-Nawawi mengatakan: “Ucapan-ucapan Asy-Syafi’i sepakat bahwa tidak boleh mengeluarkan zakat dengan nilainya (uang).” (Al-Majmu’, 5/401)
Pendapat ini pula yang dipilih oleh Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, dan Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan (lihat Fatawa Ramadhan, 2/918-928)
Pendapat kedua: Boleh mengeluarkannya dalam bentuk uang yang senilai dengan apa yang wajib dia keluarkan dari zakatnya, dan tidak ada bedanya antara keduanya. Ini adalah pendapat Abu Hanifah. (Al-Mughni, 4/295, Al-Majmu’, 5/402, Bada`i’ush-Shana`i’, 2/205, Tamamul Minnah, hal. 379)
Pendapat pertama itulah yang kuat.Atas dasar itu bila seorang muzakki (yang mengeluarkan zakat) memberi uang pada amil, maka amil diperbolehkan menerimanya jika posisinya sebagai wakil dari muzakki. Selanjutnya, amil tersebut membelikan beras –misalnya– untuk muzakki dan menyalurkannya kepada fuqara dalam bentuk beras, bukan uang. Namun sebagian ulama membolehkan mengganti harta zakat dalam bentuk uang dalam kondisi tertentu, tidak secara mutlak. Yaitu ketika yang demikian itu lebih bermaslahat bagi orang-orang fakir dan lebih mempermudah bagi orang kaya.
Ini merupakan pilihan Ibnu Taimiyyah. Beliau rahimahullahu mengatakan: “Boleh mengeluarkan uang dalam zakat bila ada kebutuhan dan maslahat. Contohnya, seseorang menjual hasil kebun atau tanamannya. Jika ia mengeluarkan zakat 1/10 (sepersepuluh) dari uang dirhamnya maka sah. Ia tidak perlu membeli korma atau gandum terlebih dulu. Al-Imam Ahmad telah menyebutkan kebolehannya.” (Dinukil dari Tamamul Minnah, hal. 380)
Ia juga mengatakan dalam Majmu’ Fatawa (25/82-83): “Yang kuat dalam masalah ini bahwa mengeluarkan uang tanpa kebutuhan dan tanpa maslahat yang kuat maka tidak boleh …. Karena jika diperbolehkan mengeluarkan uang secara mutlak, maka bisa jadi si pemilik akan mencari jenis-jenis yang jelek. Bisa jadi pula dalam penentuan harga terjadi sesuatu yang merugikan. Adapun mengeluarkan uang karena kebutuhan dan maslahat atau untuk keadilan maka tidak mengapa.”
Pendapat ini dipilih oleh Asy-Syaikh Al-Albani sebagaimana disebutkan dalam kitab Tamamul Minnah (hal. 379-380)
Yang perlu diperhatikan, ketika memilih pendapat ini, harus sangat diperhatikan sisi maslahat yang disebutkan tadi dan tidak boleh sembarangan dalam menentukan, sehingga berakibat menggampangkan masalah ini.
Ukuran yang dikeluarkan dari hadits-hadits yang lalu jelas sekali bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menentukan ukuran zakat fitrah adalah 1 sha’. Tapi, berapa 1 sha’ itu?
Satu sha’ sama dengan 4 mud. Sedangkan 1 mud sama dengan 1 cakupan dua telapak tangan yang berukuran sedang.
Berapa bila diukur dengan kilogram (kg) Tentu yang demikian ini tidak bisa tepat dan hanya bisa diukur dengan perkiraan. Oleh karenanya para ulama sekarangpun berbeda pendapat ketika mengukurnya dengan kilogram.
Dewan Fatwa Saudi Arabia atau Al-Lajnah Ad-Da`imah yang diketuai Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, wakilnya Asy-Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi dan anggotanya Abdullah bin Ghudayyan memperkirakan 3 kg. (Fatawa Al-Lajnah, 9/371)
Adapun Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin berpendapat sekitar 2,040 kg. (Fatawa Arkanil Islam, hal. 429)
Tentang Al-Bur atau Al-Hinthah Ada perbedaan pendapat tentang ukuran yang dikeluarkan dari jenis hinthah (salah satu jenis gandum). Sebagian shahabat berpendapat tetap 1 sha’, sementara yang lain berpendapat ½ sha’.Nampaknya pendapat kedua itu yang lebih kuat berdasarkan riwayat:

عَنْ هِشَامِ بنِ عُرْوَةَ حَدَّثَهُ عَنْ أَبِيْهِ أَنَّ أَسْمَاءَ بنِتَ أَبِى بَكْرٍ أَخْبَرَتْهُ: أَنَّهَا كَانَتْ تُخْرِجُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَهْلِهَا الْحُرِّ مِنْهُمْ وَالْمَمْلُوْكِ مُدَّيْنِ مِنْ حِنْطَةٍ أَوْ صَاعاً مِنْ تَمْرٍ بِالْمُدِّ أوْ بِالصَّاعِ الَّذِييَـتَبَايَعوْنَ بِهِ
“Dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya bahwa Asma’ binti Abu Bakar dahulu di zaman Nabi dia mengeluarkan (zakat) untuk keluarganya yang merdeka atau yang sahaya dua mud hinthah atau satu sha’ kurma dengan ukuran mud atau sha’ yang mereka pakai untuk jual beli.” (Shahih, HR. Ath-Thahawi dalam Ma’ani Al-Atsar, 2871, Ibnu Abi Syaibah dan Ahmad. Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan: “Sanadnya shahih, sesuai syarat Al-Bukhari dan Muslim.” Lihat Tamamul Minnah hal. 387)

D. Waktu Mengeluarkannya
      Menurut sebagian ulama bahwa jatuhnya kewajiban fitrah itu dengan selesainya bulan Ramadhan. Namun Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menerangkan bahwa waktu pengeluaran zakat fitrah itu sebelum shalat sebagaimana dalam hadits yang lalu.

وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ
“Dan Nabi memerintahkan agar dilaksanakan sebelum orang-orang keluar menuju shalat.”
Dengan demikian, zakat tersebut harus tersalurkan kepada yang berhak sebelum shalat. Sehingga maksud dari zakat fitrah tersebut terwujud, yaitu untuk mencukupi mereka di hari itu. Namun demikian, syariat memberikan kelonggaran kepada kita dalam penunaian zakat, di mana pelaksanaannya kepada amil zakat dapat dimajukan 2 atau 3 hari sebelum Id berdasarkan riwayat berikut ini:

كَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا يُعْطِيْهَا الَّذِيْنَيَقْبَلُوْنَهَا وَكَانُوا يُعْطُوْنَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ

“Dulu Abdullah bin Umar memberikan zakat fitrah kepada yang menerimanya1. Dan dahulu mereka menunaikannya 1 atau 2 hari sebelum hari Id.” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitabuz Zakat Bab 77 no. 1511 Al-Fath, 3/375) Dalam riwayat Malik dari Nafi’:

أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَبْعَثُ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ إِلَى الَّذِي تُجْمَعُ عِنْدَهُ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمَيْنِ أَوْ ثَلاَثَةٍ
“Bahwasanya Abdullah bin Umar menyerahkan zakat fitrahnya kepada petugas yang zakat dikumpulkan kepadanya, 2 atau 3 hari sebelum Idul Fitri.” (Al-Muwaththa`, Kitabuz Zakat Bab Waqtu Irsal Zakatil Fithri, 1/285. Lihat pula Al-Irwa` no. 846)
Sehingga tidak boleh mendahulukan lebih cepat daripada itu, walaupun ada juga yang berpendapat itu boleh. Pendapat pertama itulah yang benar, karena demikianlah praktek para shahabat.
Bolehkan Mengeluarkan Zakat Fitrah Setelah Shalat Id?
Hal ini telah dijelaskan oleh hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berikut ini:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُوْلَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ
           Dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma ia mengatakan: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah sebagai penyuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata kotor serta sebagai pemberian makanan bagi orang-orang miskin. Maka barangsiapa menunaikannya sebelum shalat (Id) maka itu zakat yang diterima. Dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat, maka itu hanya sekedar sedekah dari sedekah-sedekah yang ada.” (Hasan, HR. Abu Dawud Kitabuz Zakat Bab Zakatul Fithr, 17 no. 1609, Ibnu Majah, 2/395 Kitabuz Zakat Bab Shadaqah Fithri, 21 no. 1827, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud)
Ibnul Qayyim mengatakan: “Konsekuensi dari dua2 hadits tersebut adalah tidak boleh menunda penunaian zakat sampai setelah Shalat Id; dan bahwa kewajiban zakat itu gugur dengan selesainya shalat. Inilah pendapat yang benar karena tiada yang menentang dua hadits ini dan tidak ada pula yang menghapus serta tidak ada ijma’ yang menghalangi untuk berpendapat dengan kandungan 2 hadits itu. Dan dahulu guru kami (Ibnu Taimiyyah) menguatkan pendapat ini serta membelanya.” (Zadul Ma’ad, 2/21)
Atas dasar itu, maka jangan sampai zakat fitrah diserahkan ke tangan fakir setelah Shalat Id, kecuali bila si fakir mewakilkan kepada yang lain untuk menerimanya.

E. Sasaran Zakat Fitrah
           Yang kami maksud di sini adalah mashraf atau sasaran penyaluran zakat.
Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam hal ini. Sebagian ulama mengatakan sasaran penyalurannya adalah orang fakir miskin secara khusus.
Sebagian lagi mengatakan, sasaran penyalurannya adalah sebagaimana zakat yang lain, yaitu 8 golongan sebagaimana tertera dalam surat At-Taubah 60. Ini merupakan pendapat Asy-Syafi’i, satu riwayat dari Ahmad, dan yang dipilih oleh Ibnu Qudamah (Al-Mughni, 4/314).
Dari dua pendapat yang ada, nampaknya yang kuat adalah pendapat yang pertama. Dengan dasar hadits Nabi yang lalu:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ
Dari Ibnu Abbas ia mengatakan: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah sebagai penyuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata kotor serta sebagai pemberian makanan bagi orang-orang miskin.”
Ini merupakan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syaukani dalam bukunya As-Sailul Jarrar3 dan di zaman ini Asy Syaikh Al-Albani, dan difatwakan Asy-Syaikh Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin, dan lain-lain.
            Ibnul Qayyim mengatakan: “Di antara petunjuk Rasullah  Shallallahu 'alaihi wa sallam, zakat ini dikhususkan bagi orang-orang miskin dan tidak membagikannya kepada 8 golongan. Nabi juga tidak pula memerintahkan untuk itu serta tidak seorangpun dari kalangan shahabat yang melakukannya. Demikian pula orang-orang yang setelah mereka.” (Zadul Ma’ad, 2/21, lihat pula Majmu’ Fatawa, 25/75, Tamamul Minnah, hal. 387, As-Sailul Jarrar, 2/86, Fatawa Ramadhan, 2/936) Atas dasar itu, tidak diperkenankan menyalurkan zakat fitrah untuk pembangunan masjid, sekolah, atau sejenisnya. Demikian difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da`imah (9/369).

Definisi Fakir
         Para ulama banyak membicarakan hal ini. Terlebih, kata fakir ini sering bersanding dengan kata miskin, yang berarti masing-masing punya pengertian tersendiri. Pembahasan masalah ini cukup panjang dan membutuhkan pembahasan khusus. Namun di sini kami akan sebutkan secara ringkas pendapat yang nampaknya lebih kuat:
Al-Qurthubi dalam Tafsir-nya (8/168) menjelaskan bahwa para ulama berbeda pendapat dalam hal perbedaan antara fakir dan miskin sampai 9 pendapat.
Di antaranya, bahwa fakir lebih membutuhkan daripada miskin. Ini adalah pendapat Asy-Syafi’i dan jumhur sebagaimana dalam Fathul Bari. (Dinukil dari Imdadul Qari, 1/236-237)
           Di antara alasannya adalah karena Allah Subhanahu wa Ta'ala lebih dahulu menyebut fakir daripada miskin dalam surat At-Taubah: 60.
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِيْنِ وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat…”
Tentu Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkan dari yang terpenting. Juga dalam surat Al-Kahfi: 79, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

أَمَّا السَّفِيْنَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِيْنَ يَعْمَلُوْنَ فِي الْبَحْر فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيْبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْبًا
“Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusak bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera…”
        Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebut mereka miskin padahal mereka memiliki kapal. Jadi baik fakir maupun miskin sama-sama tidak punya kecukupan, walaupun fakir lebih kekurangan dari miskin.
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di menjelaskan dalam Tafsir-nya (341): “Fakir adalah orang yang tidak punya apa-apa atau punya sedikit kecukupan tapi kurang dari setengahnya. Sedangkan miskin adalah yang mendapatkan setengah kecukupan atau lebih tapi tidak memadai.”

F. Berapakah yang Diberikan kepada Mereka ?
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di mengatakan (hal. 341): “Maka mereka diberi seukuran yang membuat hilangnya kefakiran dan kemiskinan mereka.”
Maka diupayakan jangan sampai setiap orang miskin diberi kurang dari ukuran zakat fitrah itu sendiri.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Pendapat yang paling lemah adalah pendapat yang mengatakan wajib atas setiap muslim untuk membayarkan zakat fitrahnya kepada 12, 18, 24, 32, atau 28 orang, atau semacam itu. Karena ini menyelisihi apa yang dilakukan kaum muslimin dahulu di zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, para khalifahnya, serta seluruh shahabatnya. Tidak seorang muslimpun melakukan yang demikian di masa mereka. Bahkan dahulu setiap muslim membayar fitrahnya sendiri dan fitrah keluarganya kepada satu orang muslim.
Seandainya mereka melihat ada yang membagi satu sha’ untuk sekian belas jiwa di mana setiap orang diberi satu genggam, tentu mereka mengingkari itu dengan sekeras-kerasnya. Karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menentukan kadar yang diperintahkan yaitu satu sha’ kurma, gandum, atau dari bur ½ atau 1 sha’, sesuai kadar yang cukup untuk satu orang miskin. Dan beliau jadikan ini sebagai makanan mereka di hari raya, yang mereka tercukupi dengan itu. Jika satu orang hanya memperoleh satu genggam, maka ia tidak mendapatkan manfaat dan tidak selaras dengan tujuannya.” (Majmu’ Fatawa, 25/73-74)

G. Hikmah Zakat Fitrah
Dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma, iberkata:
                                                                                                   
فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِطُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah sebagai penyuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata kotor serta sebagai pemberian makanan untuk orang-orang miskin.” (Hasan, HR. Abu Dawud Kitabul Zakat Bab. Zakatul Fitr: 17 no. 1609)
Merujuk Hadtis tersebut, bahwa mengeluarkan Zakat Fitrah merupakan sebagai penyuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan perkataan yang kotor serta sebagai pemberi makan untuk orang-orang miskin.
Bagaimana Hukum Mendirikan Semacam Badan Amil Zakat
Telah diajukan sebuah pertanyaan kepada Al-Lajnah Ad-Da`imah tentang sebuah organisasi yang bernama Jum’iyyatul Bir di Jeddah, Saudi Arabia yang mengelola anak yatim dan bantuan kepada keluarga yang membutuhkan, menerima zakat dan menyalurkannya kepada orang-orang yang membutuhkan.
Al-Lajnah Ad-Da`imah menjawab: “Organisasi tersebut wajib untuk menyalurkan zakat fitrah kepada orang-orang yang berhak sebelum diselenggarakan Shalat Id, tidak boleh menundanya dari waktu itu. Karena Nabi memerintahkan untuk disampaikan kepada orang-orang fakir sebelum Shalat Id. Organisasi itu kedudukannya sebagai wakil dari muzakki (pemberi zakat), dan organisasi tersebut tidak diperkenankan untuk menerima zakat fitrah kecuali seukuran yang ia mampu untuk menyalurkannya kepada orang-orang fakir sebelum Shalat Id. Dan tidak boleh pula membayar zakat fitrah dalam bentuk uang karena dalil-dalil syar’i menunjukkan wajibnya mengeluarkan zakat fitrah dalam bentuk makanan, juga tidak boleh berpaling dari dalil syar’i kepada pendapat seseorang manusia.
Apabila muzakki membayarkan kepada organisasi itu dalam bentuk uang untuk dibelikan makanan untuk orang-orang fakir, maka itu wajib dilaksanakan sebelum Shalat Id dan tidak boleh bagi organisasi itu untuk mengeluarkannya dalam bentuk uang.” (Fatawa Al-Lajnah, 9/379, ditandatangani Asy-Syaikh Ibnu Baz, Asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi, dan Asy-Syaikh Abdullah Ghudayyan. Lihat pula 9/389)
Akan tetapi pada asalnya zakat fitrah langsung diberikan oleh muzakki kepada yang berhak. (Fatawa Lajnah, 9/389)
Bila ia memberikannya kepada Badan Amil Zakat maka harus diperhatikan minimalnya dua hal:
1.                           Mereka benar-benar orang yang mengetahui hukum sehingga tahu seluk-beluk hukum zakat dan yang berhak menerimanya.
2.                           Mereka adalah orang yang amanah, benar-benar menyampaikannya kepada yang berhak, sesuai dengan aturan syar’i.
Hal ini kami tegaskan karena di masa ini banyak orang yang tidak tahu hukum, lebih-lebih tidak sedikit yang tidak amanah. Ada yang mengambilnya tanpa hak dan ada yang menyalurkannya tidak tepat sasaran. Justru zakat itu dikembangkan atau untuk kesejahteraan organisasi/partainya. Atau terkadang dia menundanya, yang berarti menunda pemberian kepada orang yang sangat membutuhkan, walaupun terkadang melegitimasi perbuatan mereka dengan alasan-alasan ‘syar’i’ yang dibuat-buat.
. Fatawa Al-Lajnah, 9/384, ditandatangani oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz, Asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi, Asy-Syaikh Abdullah Ghudayyan, dan Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud. Lihat Fatawa Ramadhan, 2/943)









Penutup
Kesimpulan.

Dari uraian  diatas, maka penulis simpulkan bahwa :
           
Zakat itu sendiri dibagi 2 yaitu zakat fitrah dan zakat mal. sedangkan. Zakat fitrah atau disebut juga dengan zakat jiwa yang artinya adalah untuk menyucikan badan atau jiwa. Sebutan yang lebih populer di kalangan para ulama  disebutِ Zakat Fitrah atau صَدَقَةُ الْفِطْر Shadaqah Fithri. Kata Fithri di sini kembali kepada makna berbuka dari puasa Ramadhan,  karena kewajiban tersebut ada setelah selesai menunaikan puasa bulan Ramadhan.merupakan kewajiaban setiap muslim baik anak-anak maupun dewasa laki-laki dan perempuan yang ditunaikan di bulan romadhon sebelum sholat Idul  Fitri.
Bagi orang muslim zakat adalah kewajiban pribadi (fardlu ain) dan termasuk rukun islam yang ke 4. dan perintah Membayar zakat ini dimulai pada tahun ke 2 Hijriah. Dengan kata lain membayar Zakat Fitrah merupakan kewajiban bagi setiap muslim baik kaya atau miskin, laki-laki dan perempuan, tua dan muda, merdeka atau hamba untuk mengeluarkan sebagian dari makanan pokok menurut syari’at agama islam setelah mengerjakan puasa bulan Ramadhan pada setiap tahun
Adapun Hikmah mengeluarkan Zakat Fitrah merupakan sebagai penyuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan perkataan yang kotor serta sebagai pemberi makan untuk orang-orang miskin.










Daftar Pustaka

Al Faridy, Hasan Rifa'i, 1996, Panduan Zakat Praktis, Dompet Dhuafa Republika
Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah),

As-Suyuti,Jalal Ad-din Abd Rahman, Al Hawi La Al Fatawa, Juz 1&II, Beirut Darul Kutub Al Illamiyah,1983.

Ebook, Sahih Al Bukhari, Kairo, Natata Sofware,2002.
Ebook,Sahih Muslim, Kairo, Natata Sofware,2002.
Fatawa Al-Lajnah, 9/384, ditandatangani oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz, Asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi, Asy-Syaikh Abdullah Ghudayyan, dan Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud. Lihat Fatawa Ramadhan, 2/943)

Kitab Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al ‘Asqolani syarah Kitab Shahih Al Bukhari yang disebarluaskan melalui intenet oleh kampungsunnah.wordpress.com
Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, Fatawa Arkaanil Islam atau Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji, terj. Munirul Abidin, M.Ag. (Darul Falah 1426 H.),
Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, Fatawa Arkaanil Islam atau Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji, terj. Munirul Abidin, M.Ag. (Darul Falah 1426 H.),
Munawir, Ahmad Warson,1998, Kamus Al Munawir, Pustaka Progresif
































[1] Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, Fatawa Arkaanil Islam atau Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji, terj. Munirul Abidin, M.Ag. (Darul Falah 1426 H.), hlm. 57
[2] Munawir, Ahmad Warson,1998, Kamus Al Munawir, Pustaka Progresif, Hal. 365.
[3] Al Faridy, Hasan Rifa'i, 1996,Panduan Zakat Praktis, Dompet Dhuafa Republika, Hal.96
[4] Kitab Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al ‘Asqolani syarah Kitab Shahih Al Bukhari yang   disebarluaskan melalui intenet oleh kampungsunnah.wordpress.com,  hlm.367.
[5]  Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, hlm,76.

Islam Moderen


ISLAM MODEREN

I.             Pendahuluan
Ada dua sisi pandang yang dapat ditelaah pada tema Islam modern, pertama, periodisasi waktu, dan kedua, pola atau corak pemikiran. Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, periodisasi sejarah Islam terbagi pada 3 periode :[1]
1.            Periode Klasik (650-1250 M)
         Meliputi dua masa kemajuan yaitu masa Rasulullah SAW, Khulafaurrasyidin, Bani Umayyah, dan masa-masa permulaan Dawlah Abbasiyah.
2.            Periode Pertengahan (1250-1800 M.)
         Pada periode ini terjadi dua masa kemunduran dan masa Tiga Kerajaan Besar. Turki Utsmani, Daulah Shafawiyah, dan Daulah Mughaliyah di India. Fase tiga Kerajaan Besar mengalami kemajuan pada tahun 1500-1700 M. dan mengalami kemunduran kembali pada 1700-1800 M.
3.            Periode Modern (1800- sekarang)
         Pada periode ini umat Islam banyak belajar dari dunia Barat dalam rangka mengembalikan balance of power. Dalam era ini Islam mulai bangkit kembali dengan melakukan pembaharuan (tajdid)
Dilihat dari corak pemikiran, Islam modern yang bertumpu pada Qur’an dan Sunnah berupaya untuk mengembalikan kembali umat Islam kepada sumber ajarannya yang tidak pernah usang ditelan zaman, namun perlu sebuah penelaahan lebih mendalam dari nash yang ada.[2] Hal ini menimbulkan beberapa reaksi dari umat Islam sendiri, dengan beragam ekspresinya.
Makalah ini mencoba menelaah tentang Islam modern, apa dan sebab-sebab timbul, bagaimana pemikiran Islam , disertai dengan analisis ringan dari masing-masing bahasan.


II.          Pembahasan
A.           Apa Definisi Islam Modern
Kata modern diwakili dengan makna terbaru atau mutakhir, atau sikap dan cara berpikir serta cara bertindak sesuai dengan tuntutan zaman.[3] Jika kata modern disebut dengan modernisme, maka kata ini berarti gerakan yg bertujuan menafsirkan kembali doktrin tradisional, menyesuaikannya dengan aliran-aliran modern seperti filsafat, sejarah, dan ilmu pengetahuan.[4] Kemudian, istilah modernis, bermakna orang atau pelaku yang ikut dalam proses modernisasi.[5]
Islam Modern[6] dalam hal pemikiran berarti corak pemikiran dalam Islam yang berlaku sesuai dengan tuntutan zaman. Ia selalu akan menyesuaikan dengan sesuatu model yang baru, berupaya dengan sungguh-sungguh untuk melakukan re-interpretasi terhadap pemahaman, pemikiran dan pendapat tentang masalah ke-Islaman yang dilakukan oleh pemikiran terdahulu untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman.[7] Kata modern erat kaitannya dengan modernisasi yang berarti pembaharuan atau tajdid dalam bahasa Arab.[8] Modernisasi dalam masyarakat barat adalah pikiran, aliran, gerakan atau usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi lama, dan sebagainya untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.[9]
Kata Tajdid atau pembaharuan adalah proses menjadikan sesuatu yang terlihat usang untuk dijadikan baru kembali. Tajdid berakar dari kata Jaddada, diartikan dengan menjadikan baru lagi.[10] Tajdid dalam pemikiran berarti aktifitas koreksi ulang atau konseptualisasi ulang terhadap aktifitas keIslaman, dengan mengoreksi hal-hal yang bersifat tidak sesuai dengan konteks baru.
Ada beberapa hal yang dapat ditelaah lebih dalam dari penjelasan makna Islam Modern di atas, yaitu :
1.            Apakah makna Modern sama dengan Tajdid (pembaharuan) karena dua kata atau istilah tersebut sering disandingkan oleh beberapa peneliti atau sejarawan.
2.            Apakah ada perbedaan asasi antara kedua istilah di atas? Sehingga tidak dapat disamakan.
3.            Jika tidak dapat disamakan, apakah dampak atau implikasi dari penyandingan dua istilah tersebut?
Istilah modern berasal dari tradisi barat (Kristen) yang ingin menjadikan sebuah paham akan kesesuaian agama dengan dunia baru, meski awalnya istilah modern adalah paham akan ilmu pengetahuan.[11] Paham inilah yang mengarahkan agama dan ajaran mereka kepada bentuk sekularisme.
Makna ini selintas mirip dengan arti Tajdid dalam Islam, hanya dalam pemahaman pembaharuan Islam, paham ini tidak dapat mengubah ajaran-ajaran yang bersifat mutlak (tak dapat dirubah). Tajdid hanya bertempat pada wilayah penafsiran atau interpretasi dari ajaran Islam, seperti aspek teologi, hukum, politik, ekonomi, dll.
Jika tidak dipahami secara mendasar tentang perbedaan Modern dan Tajdid, maka implikasi yang timbul adalah pengarahan ajaran Islam kepada paham sekulerisme. Hal ini telah terjadi saat ini dengan munculnya paham Liberalisme. Penting untuk kembali menelisik asal-usul paham modern sehingga tidak terjebak kedalam pemahaman yang keliru.[12] Keharusan terhadap pemikiran modern, mengharuskan sikap rasional yang kritis terhadap ajaran Islam, sangat mungkin rasio akan melebihi kadarnya dibandingkan dengan sumber nash itu sendiri jika tidak memahami perbedaan kedua istilah di atas.

B.           Latar Belakang Pemikiran Islam Modern
Melihat periodisasi sejarah umat Islam, gerakan modern ini dimulai pada abad ke 18, yaitu ketika peradaban barat mulai menemukan dan mengembangkan paham rasionalismenya ke peradaban lain. Meskipun dalam sejarahnya, peradaban Islamlah yang menginspirasi barat dalam menemukan kejayaannya.
Pemikiran Islam modern muncul atau respon dari keterbelakangan umat Islam di berbagai bidang, ekonomi, pendidikan, ilmu pengetahuan, politik dan hal-hal lainnya.[13] Paling tidak ada lima macam kemunduran dan keterbelakangan umat Islam yang menyebabkan munculnya gerakan pemikiran Islam modern: [14]
1.            Kemunduran umat Islam karena telah meninggalkan ajaran Islam yang sebenarnya dan mengikuti ajaran-ajaran yang datang dari luar. Ini terlihat dari munculnya gerakan fatalisme dalam qada’ dan qadar.
2.            Sebab politis, yaitu pertentangan dan persaingan serta perpecahan dalam sistem kepemimpinan yang absolut.
3.            Lemahnya persaudaraan dalam umat Islam.
4.            Pemahaman yang jumud (statis, membeku) yang tetap mempertahankan tradisi.
5.            Masuknya berbagai macam bid’ah, paham animistis yang dibawa oleh orang non-Arab ke dalam Islam.

Persoalan kepemimpinan (khilafah) dalam Islam, tercatat dalam sejarah merupakan hal yang selalu membawa kepada perpecahan dan pertumpahan darah. Pergantian khilafah dari beberapa khilafah Islam, selalu diwarnai dengan peerangan yang disebabkan keteguhan masing-masing pihak tentang makna khilafah dan keabsolutannya.
Pada abad ke 18, secara politis, kondisi umat Islam sedang berada dalam penjajahan Negara-negara Eropa (kolonial) yang berupaya mengambil dan mengeruk keuntungan dari negeri yang dijajahnya. Peradaban Barat sedang mengalami puncak keemasannya. Sebelumnya, bagi masyarakat Eropa, abad ke 15 Masehi adalah titik kulminasi yang menghantarkan mereka kepada kemajuan serta berlepas diri dari abad kegelapan (the dark age). Sebelum memasuki abad 15, masyarakat Eropa mengalami berbagai guncangan sejarah, dimana peradaban mereka sangat tertinggal dari anak benua lain, terutama jika dibandingkan dengan peradaban Islam yang saat itu sedang berada di titik kejayaannya.
Kemajuan di Eropa tersebut diiringi dengan semakin maraknya gerakan anti-agama. Setidaknya ada dua faktor yang telah menyebabkan masyarakat Eropa menjauhi agama: pertama, akibat trauma kemunduran yang sebelumnya dialami masyarakat Eropa, dimana gereja sangat mendominasi seluruh sisi kehidupan masyarakat. Kedua, perkembangan ilmu-ilmu empiris yang sangat pesat, telah banyak mementahkan doktrin-doktrin gereja yang banyak mengandung unsur irasionalitas.
Satu hal yang harus diingat, bahwa masa peralihan yang dialami masyarakat Eropa dari the dark age menuju kepada peradaban modern, ditopang oleh berbagai pemikiran yang berkembang saat itu, terutama filsafat dan ilmu-ilmu eksakta, seperti terjadinya Aufklarung di Jerman. Minimal ada empat faktor yang telah mengantarkan Eropa mencapai renaissance:
1.            Penerjemahan buku-buku hasil karya kaum Muslimin ke dalam bahasa Latin. Hal ini berlangsung antara abad 13 dan 14 Masehi. Pengaruh pemikiran Arab inilah yang telah memberi amunisi besar bagi masyarakat Barat untuk melanjutkan berbagai inovasi dan penemuan ilmiah ilmuwan Arab-Muslim.
2.            Ketika Turki berhasil menaklukkan Konstantinopel pada tahun 1452 M, banyak ilmuwan Yunani yang hijrah ke Italia dan bekerjasama dengan komunitas yang sudah lama berusaha menghidupkan tradisi filsafat Platonis.
3.            Mulai banyak berdirinya lembaga-lembaga pendidikan yang mempelajari ilmu pengetahuan secara independen dan jauh dari tekanan gereja.

Tekanan politik Barat terhadap peradaban dan umat Islam, membuat persatuan umat Islam terpecah, dan hal ini dimanfaatkan oleh barat untuk menggiring pemahaman yang mendorong umat Islam melupakan ajarannya sendiri. Kita ingat, berdirinya kerajaan Sa’ud di Arab Saudi adalah atas jasa politik Barat (Inggris dan Amerika), sehingga sampai saat ini kedua negara adikuasa tersebut masih kuat pengaruhnya terhadap kerajaan Arab Saudi.
Menyadari kondisi umat Islam yang semakin terbelakang, muncullah beberapa ulama yang mengeluarkan dan mengajarkan tentang paham modern. Didasari atas ketidakmampuan umat Islam untuk tetap bertahan pada pemahaman ‘tradisi’nya akan ajaran, tokoh-tokoh ini mengajak umat Islam untuk mengedepankan rasionalitas dalam memahami inti ajaran.
Ada klasifikasi generasi Islam modern dalam sejarah Islam, seperti yang digambarkan dengan penjelasan di bawah ini :
1.            Generasi pertama Islam modernis diwakili Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh.[15] Kedua tokoh itu hidup dalam konteks sejarah kolonial, dimana banyak bangsa Muslim menjadi korban penindasan politik dan eksploitasi ekonomi oleh bangsa-bangsa Barat. Karena itu, semangat generasi pertama Islam modernis adalah melawan para penjajah Barat dengan ilmu dan teknologi modern—yang notabene dikembangkan oleh orang-orang Barat. Salah satu fokus dari usaha umat Islam waktu itu adalah mengembangkan sistem pendidikan modern, yang tidak hanya mengajarkan agama dan tradisi namun juga penguasaan ilmu dan teknologi.
2.            Generasi kedua Islam modernis dicirikan oleh berkurangnya, atau hilangnya, semangat permusuhan antara Islam dan Barat, dan berganti dengan dialog dan kerjasama. Generasi kedua hidup di era pasca-kolonial, sehingga atmosfir politik yang ada sudah bukan lagi permusuhan, melainkan kebutuhan akan kerjasama. Salah satu tokoh utama generasi ini adalah almarhum Fazlur Rahman—intelektual kelahiran Pakistan yang menjadi professor di The University of Chicago, Amerika.[16] Menurut Rahman, umat Islam harus bisa melihat bahwa etika Islam bersifat universal dan memiliki banyak kesamaan dengan peradaban Barat.[17] Permusuhan dan pertentangan antara Islam dan Barat adalah sejarah masa lalu. Sekarang, umat Islam dan bangsa-bangsa Barat memiliki agenda yang sama untuk bangkit dari sejarah permusuhan, dan bersama membangun peradaban umat manusia yang lebih baik.[18]
3.            Generasi ketiga Islam modernis yang lahir dari perjumpaan dengan modernitas yang dibawa oleh bangsa penjajah dari Eropa yang menduduki sebagian besar dunia Islam. Fakta itu melahirkan pertanyaan: mengapa umat Islam bisa dikalahkan oleh umat lain? Penggagas Islam modernis menemukan jawaban bahwa umat Islam telah terjebak pada tradisi-tradisi Islam yang partikular, yang tidak kompatibel dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Padahal, Islam sama sekali tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemajuan dan perkembangan peradaban. Oleh karena itu, mereka menyerukan supaya umat Islam kembali kepada Islam yang universal, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah, supaya bisa mengejar ketertinggalan—dan membebaskan diri dari penindasan—bangsa lain.

C.           Pemikiran Islam Modern di Indonesia
Ciri utama pemikiran Islam modern adalah selalu dan pasti cenderung atau membawa pemikiran dan kehidupan umat Islam kepada harmoni kehidupan saat ini.[19] Tentunya disebabkan beberapa faktor yang telah diterangkan di atas.
Mark Woodward mengelompokkan umat Islam di Indonesia atas perubahan zaman ke dalam lima kelompok.[20] Pengelompokan Woodward ini tampaknya melihat dari sudut doktrin dan akar-akar sosial di dalam masyarakat Islam Indonesia yang lama maupun yang baru.
Pertama, Indigenized Islam. Indigenized Islam adalah sebuah ekspresi Islam yang bersifat lokal; secara formal mereka mengaku beragama Islam, tetapi biasanya mereka lebih mengikuti aturan-aturan ritual lokalitas ketimbang ortodoksi Islam. Karakteristik ini paralel dengan apa yang disebut Clifford Geertz sebagai Islam Abangan untuk konteks Jawa. Dalam hubungan politik dan agama, secara given mereka mengikuti cara berpikir sekuler dan enggan membawa masalah agama ke ranah negara dan sebaliknya.
Kedua, kelompok tradisional Nahdlatul Ulama (NU). NU adalah penganut aliran Sunni terbesar di Indonesia yang dianggap memiliki ekspresinya sendiri, karena di samping ia memiliki kekhasan yang tidak dimiliki kelompok lain seperti basis yang kuat di pesantren dan di pedesaan, hubungan guru murid yang khas, mereka juga dicirikan oleh akomodasi yang kuat atas ekspresi Islam lokal sejauh tidak bertentangan dengan Islam sebagai keyakinan. Ia tampaknya tidak berusaha untuk memaksakan “Arabisme” ke dalam kehidupan keislaman sehari-hari.
Ketiga, Islam modernis. Mereka terutama berbasis pada Muhammadiyah, organisasi terbesar kedua setelah Nahdlatul Ulama. Ia berbasis pada pelayanan sosial seperti pendidikan dan kesehatan. Ia memperkenalkan ide-ide modernisasi dalam pengertian klasik. Ia misalnya, dalam arus utamanya, menolak ekspresi lokal dan lebih mengukuhkan ekspresi puritanisme yang lebih menonjolkan “ke-Arab-an”.
Keempat, Islamisme atau Islamis. Gerakan yang disebut terakhir ini tidak hanya mengusung Arabisme dan konservatisme, tetapi juga di dalam dirinya terdapat paradigma ideologi Islam Arab. Tidak heran kalau Jihad dan penerapan Syari’ah Islam menjadi karakter utama dari kelompok ini. Kelompok ini juga tidak segan-segan membentuk barisan Islam paramiliter untuk melawan siapa saja yang diidentifikasi sebagai musuh Islam yang mereka definisikan.
Kelima, neo-modernisme Islam. Ia lebih dicirikan dengan gerakan intelektual dan kritiknya terhadap doktrin Islam yang mapan. Ia berasal dari berbagai kelompok, termasuk kalangan tradisional maupun dari kalangan modernis. Mereka biasanya tergabung dalam berbagai NGO dan institusi-institusi riset, perguruan tinggi Islam dan pemimpin Islam tradisional tertentu. Mereka juga melakukan pencarian tafsir baru terhadap berbagai doktrin Islam berlandaskan pada realitas masyarakat dan penggunaan filsafat dan metode-metode baru seperti hermeneutika.
Pemikiran modern di Indonesia telah terlihat pada akhir abad ke-19, ketika generasi ulama Indonesia yang belajar di Haramain (Mekkah dan Madinah) yang dikenal dengan Ashhab Al-Jawiyyin, menyadari bahwa metode dan tatanan berfikir (mindset) tradisional dalam Islam tidak akan sanggup menghadapi tantangan kolonialisme dan peradaban modern.[21] Dari pengaruh Arab ini kemudian menjadikan beberapa perubahan aktifitas keIslaman di Indonesia terutama dalam bidang pendidikan. Genealogi intelektual di Indonesia terbagi menjadi tiga, pertama, mereka yang berorientasi Barat yang saat itu biasa disebut sebagai kaum terpelajar atau kemadjoean. Kedua, adalah mereka yang masih berpegang teguh pada khazanah agung. “Mereka ini diwakili oleh kaum tradisionalis-konservatif”. Ketiga, mereka yang berhaluan pembaharuan atau modernisme Islam.
Jika dikatakan bahwa Islam modern di Indonesia direpresentasikan oleh Muhammadiyah, sebagai reaksi dari kelompok Indigenized Islam dan kelompok tradisonal, ternyata tidak berhenti pada tiga kelompok ini saja. Masih ada kelompok Islamisme, yang mengusung konsep ‘Arabisme’ dalam pemikirannya dan kelompok Neo-Modernisme yang mengusung ide-ide liberalisme dalam isu-isu pemikirannya. Fenomena ini membagi kelompok Islam modern di Indonesia kepada dua tipe :
1.            Modernis yang mengakomodir ide modernisasi Barat dengan mengadopsi metode berfikirnya.
2.            Modernis yang menolak metode berfikir Barat, meskipun tidak menolak produknya.
Lantas, dimana posisi Muhammadiyah yang digolongkan sebagai kaum modernis? Tentunya tidak masuk ke dalam dua tipe di atas. Disatu sisi Muhammadiyah terlahir dari ide-ide puritanisme Wahhabi dan tajdid Abduh,[22] namun di sisi lain, Muhammadiyah tidak menerima seutuhnya metode berfikir yang dipakai oleh kelompok neo-modernisme. Sebagai organisasi pembaharu, tentunya Muhammadiyah selalu menyesuaikan diri dengan kondisi yang selalu baru (modern) dan tidak terjebak dalam konsep kemapanan modern.
Jika dahulu, gerakan modern selalu ‘berkonflik’ dengan kelompok tradisional, saat ini peta dinamika pemikiran modern mulai berubah. Konflik pemikiran yang diusung kelompok modern dahulu tentang puritanisme, menjadi ide besar yang diusung oleh kelompok Islamisme baru yang berkiblat kepada ‘Arabisme’. Di lain panggung, kelompok modern berhadapan dengan berbagai generasi ketiga pemikiran modern yaitu neo-modernisme yang mengusung istilah ‘liberating’ atau pembebasan dari kejumudan pemikiran ajaran Islam. Dan uniknya, kelompok ‘liberating’ ini adalah kader-kader utama dari kelompok modern.

Salafi, Islamisme Baru dalam Dinamika Pemikiran Islam Indonesia
Indonesia merupakan lahan subur untuk lahir dan tumbuhnya berbagai gerakan Islam dengan berbagai ragamnya; baik yang “hanya sekedar” perpanjangan tangan dari gerakan yang sebelumnya telah ada, ataupun yang dapat dikategorikan sebagai gerakan yang benar-benar baru. Dan sejarah pergerakan Islam Indonesia benar-benar telah menjadi saksi mata terhadap kenyataan itu selama beberapa kurun waktu lamanya.
Dan kini, di era modern ini,  mata sejarah semakin “dimanjakan” oleh kenyataan itu dengan tumbuhnya aneka gerakan Islam modern yang masing-masing menyimpan keunikannya tersendiri. Jagat pergerakan Islam Indonesia modern tidak hanya diramaikan oleh organisasi semacam Muhammadiyah dan NU, tapi disana ada pemain-pemain baru yang juga secara perlahan –namun pasti- mulai menanamkan pengaruhnya. Mulai dari yang mengandalkan perjuangan politis hingga yang lebih memilih jalur gerakan sosial-kemasyarakatan. Salah satu gerakan Islam tersebut adalah yang menyebut diri mereka sebagai Salafi atau Salafiyah.[23] Salah satu peristiwa fenomenal gerakan ini yang sempat “menghebohkan” adalah kelahiran Laskar Jihad yang dimotori oleh Ja’far Umar Thalib pada 6 April 2000 pasca meletusnya konflik bernuansa SARA di Ambon dan Poso.
Tidak dapat dipungkiri bahwa gerakan Salafi di Indonesia banyak dipengaruhi oleh ide dan gerakan pembaruan yang dilancarkan oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab di kawasan Jazirah Arabia. Menurut Abu Abdirrahman al-Thalibi[6], ide pembaruan Ibn ‘Abd al-Wahhab diduga pertama kali dibawa masuk ke kawasan Nusantara oleh beberapa ulama asal Sumatera Barat pada awal abad ke-19. Inilah gerakan Salafiyah pertama di tanah air yang kemudian lebih dikenal dengan gerakan kaum Padri, yang salah satu tokoh utamanya adalah Tuanku Imam Bonjol. Gerakan ini sendiri berlangsung dalam kurun waktu 1803 hingga sekitar 1832. Tapi, Ja’far Umar Thalib mengklaim –dalam salah satu tulisannya[7]- bahwa gerakan ini sebenarnya telah mulai muncul bibitnya pada masa Sultan Aceh Iskandar Muda (1603-1637).
Disamping itu, ide pembaruan ini secara relatif juga kemudian memberikan pengaruh pada gerakan-gerakan Islam modern yang lahir kemudian, seperti Muhammadiyah, PERSIS, dan Al-Irsyad. “Kembali kepada al-Quran dan al-Sunnah” serta pemberantasan takhayul, bid’ah dan khurafat kemudian menjadi semacam isu mendasar yang diusung oleh gerakan-gerakan ini. Meskipun satu hal yang patut dicatat bahwa nampaknya gerakan-gerakan ini tidak sepenuhnya mengambil apalagi menjalankan ide-ide yang dibawa oleh gerakan purifikasi Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab. Apalagi dengan munculnya ide pembaruan lain yang datang belakangan, seperti ide liberalisasi Islam yang nyaris dapat dikatakan telah menempati posisinya di setiap gerakan tersebut.
Di tahun 80-an, -seiring dengan maraknya gerakan kembali kepada Islam di berbagai kampus di Tanah air- mungkin dapat dikatakan sebagai tonggak awal kemunculan gerakan Salafiyah modern di Indonesia. Adalah Ja’far Umar Thalib salah satu tokoh utama yang berperan dalam hal ini.
Ada beberapa ide penting dan khas gerakan Salafi Modern dengan gerakan-gerakan tersebut, yaitu:
1.            Hajr Mubtadi’ (Pengisoliran terhadap pelaku bid’ah)
Sebagai sebuah gerakan purifikasi Islam, isu bid’ah tentu menjadi hal yang mendapatkan perhatian gerakan ini secara khusus. Upaya-upaya yang mereka kerahkan salah satunya terpusat pada usaha keras untuk mengkritisi dan membersihkan ragam bid’ah yang selama ini diyakini dan diamalkan oleh berbagai lapisan masyarakat Islam.[24]
2.            Sikap terhadap politik (parlemen dan pemilu).
Hal lain yang menjadi ide utama gerakan ini adalah bahwa gerakan Salafi bukanlah gerakan politik dalam arti yang bersifat praktis. Bahkan mereka memandang keterlibatan dalam semua proses politik praktis seperti pemilihan umum sebagai sebuah bid’ah dan penyimpangan. Ide ini terutama dipegangi dan disebarkan dengan gencar oleh pendukung Salafi Yamani. Muhammad As-Sewed mislanya –yang saat itu masih menjabat sebagai ketua FKAWJ mengulas kerusakan-kerusakan pemilu sebagai berikut:
a.             Pemilu adalah sebuah upaya menyekutukan Allah (syirik) karena menetapkan aturan berdasarkan suara terbanyak (rakyat), padahal yang berhak untuk itu hanya Allah.
b.            Apa yang disepakati suara terbanyak itulah yang dianggap sah, meskipun bertentangan dengan agama atau aturan Allah dan Rasul-Nya.
c.             Pemilu adalah tuduhan tidak langsung kepada islam bahwa ia tidak mampu menciptakan masyarakat yang adil sehingga membutuhkan sistem lain.
d.            Partai-partai Islam tidak punya pilihan selain mengikuti aturan yang ada, meskipun aturan itu bertentangan dengan Islam.
e.             Dalam pemilu terdapat prinsip jahannamiyah, yaitu menghalalkan segala cara demi tercapainya tujuan-tujuan politis, dan sangat sedikit yang selamat dari itu.
f.              Pemilu berpotensi besar menanamkan fanatisme jahiliah terhadap partai-partai yang ada.

3.            Sikap terhadap gerakan Islam yang lain.
Pandangan pendukung gerakan Salafi modern di Indonesia terhadap berbagai gerakan lain yang ada sepenuhnya merupakan imbas aksiomatis dari penerapan prinsip hajr al-mubtadi’ yang telah dijelaskan terdahulu. Baik Salafi Yamani maupun Haraki, sikap keduanya terhadap gerakan Islam lain sangat dipengaruhi oleh pandangan mereka dalam penerapan hajr al-mubtadi’. Sehingga tidak mengherankan dalam poin inipun mereka berbeda pandangan.
Jika Salafi Haraki cenderung ‘moderat’ dalam menyikapi gerakan lain, maka Salafi Yamani dikenal sangat ekstrim bahkan seringkali tanpa kompromi sama sekali.
Fenomena sikap keras Salafi Yamani terhadap gerakan Islam lainnya dapat dilihat dalam beberapa contoh berikut:
a.            Sikap terhadap Ikhwanul Muslimin
Barangkali tidak berlebihan jika dikatakan Ikhwanul Muslimin nampaknya menjadi musuh utama di kalangan Salafi Yamani. Mereka bahkan seringkali memelesetkannya menjadi “Ikhwanul Muflisin”.[21] Tokoh-tokoh utama gerakan ini tidak pelak lagi menjadi sasaran utama kritik tajam yang bertubi-tubi dari kelompok ini. Di Saudi sendiri –yang menjadi asal gerakan ini-, fenomena ‘kebencian’ pada Ikhwanul Muslimin dapat dikatakan mencuat seiring bermulanya kisah Perang Teluk bagian pertama. Adalah DR. Rabi’ ibn Hadi al-Madkhali yang pertama kali menyusun berbagai buku yang secara spesifik menyerang Sayyid Quthb dan karya-karyanya. Salah satunya dalam buku yang diberi judul “Matha’in Sayyid Quthb fi Ashab al-Rasul” (Tikaman-tikaman Sayyid Quthub terhadap Para Sahabat Rasul).
Secara umum, ada beberapa hal yang dianggap sebagai penyimpangan oleh kalangan Salafi Yamani dalam tubuh Ikhwanul Muslimin, diantaranya:
-               Bai’at yang dianggap seperti bai’at sufiyah dan kemiliteran.
-               Adanya marhalah (fase-fase) dalam dakwah yang menyerupai prinsip aliran Bathiniyah.
-               Organisasi kepartaian (tanzhim hizb).

Berbeda dengan yang disebut Salafi Haraki, mereka cenderung kooperatif dalam melihat gerakan-gerakan Islam yang ada dalam bingkai “nata’awan fima ittafaqna ‘alaih, wa natanashahu fima ikhtalafna fihi.”[29] Karena itu, faksi ini cenderung lebih mudah memahami bahkan berinteraksi dengan kelompok lain, termasuk misalnya Ikhwanul Muslimin. Meskipun untuk itu kelompok inipun harus rela diberi cap “Sururi” oleh kelompok Salafi Yamani. Yayasan Al-Sofwa, misalnya, masih mengakomodir kaset-kaset ceramah beberapa tokoh PKS seperti DR. Ahzami Sami’un Jazuli.

b.            Sikap terhadap Sururiyah
Secara umum, Sururi atau Sururiyah adalah label yang disematkan kalangan Salafi Yamani terhadap Salafi Haraki yang dianggap ‘mencampur-adukkan’ berbagai manhaj gerakan Islam dengan manhaj salaf. Kata Sururiyah sendiri adalah penisbatan kepada Muhammad Surur bin Zainal Abidin. Tokoh ini dianggap sebagai pelopor paham yang mengadopsi dan menggabungkan ajaran Salafi dengan Ikhwanul Muslimin. Disamping Muhammad Surur, nama-nama lain yang sering dimasukkan dalam kelompok ini adalah DR. Safar ibn ‘Abdirrahman al-Hawali, DR. Salman ibn Fahd Al-‘Audah –keduanya di Saudi- dan Abdurrahman Abdul Khaliq dari Jam’iyyah Ihya’ al-Turats di Kuwait.

4.            Sikap terhadap pemerintah
Secara umum, sebagaimana pemerintah yang umum diyakini Ahl al-Sunnah –yaitu ketidakbolehan khuruj atau melakukan gerakan separatisme dalam sebuah pemerintahan Islam yang sah-, Gerakan Salafi juga meyakini hal ini. Itulah sebabnya, setiap tindakan atau upaya yang dianggap ingin menggoyang pemerintahan yang sah dengan mudah diberi cap Khawarij, bughat atau yang semacamnya.

III.       Kesimpulan
1.            Islam Modern adalah paham pemikiran yang mengedepankan ide tentang perlunya re-interpretasi terhadap ajaran Islam agar sesuai dengan waktu saat ini (baru).
2.            Ada perbedaan makna dan implikasi antara istilah Modern dan Tajdid (Pembaharuan). Jika Modern dipahami dari sisi pandang peradaban barat maka akan berimplikasi terhadap perombakan total terhadap ajaran Islam yang akan menjadikan ajaran Islam itu sendiri sebagai sebuah produk Allah SWT yang tidak absolut. Namun jika dipahami dengan Tajdid, maka akan nampak implikasi hanya pada dataran penafsiran ulang atas ajaran Islam dalam berbagai bidang, seperti politik, ekonomi, social dll.
3.            Pemikiran modern dalam Islam muncul dari keterbelakangan umat Islam yang menjadikan sisi lemah dan kemunduran.
4.            Indonesia, merupakan lahan subur untuk lahir dan berkembangnya pemikiran yang bermacam-macam, dan selalu akan menimbulkan konflik sebagai sebuah dinamika peradaban.
















DAFTAR PUSTAKA

Adams, Charles C., Islam and Modernisme in Egypt, New York, Atheneum Publisher, 1933.

Ancok, Djamaluddin, Membangun Kompotensi Manusia dalam Milenium Ke Tiga, Psikologika, Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi, Nomor : 6 Tahun III, UII, 1998.

Djaja, Tamar, Pustaka Indonesia: Riwayat Hidup Orang-Orang Besar Tanah Air, Jakarta, Bulan Bintang, 1966.

Echols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta, Gramedia, 2006.

Gardet, Louis & M. Arkoun, Islam Kemarin dan Hari Esok, terj. Ahsin Mohammad, Bandung, Puskata, 1997.

Hourani, Albert, Arabic Thought in the Liberal Age 1798-193,. USA, Cambridge University Press, 1983.

Latif, Yudi, Inteligensia Muslim dan Kuasa : Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad Ke-20, Bandung, Mizan Media Utama, 2005.

Munawir, Ahmad Warson, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, Surabaya, Pustaka Progressif, 1997.

Nasir, Haedar, Muhammadiyah dan Mata Rantai Pembaharuan Islam (7), dimuat dalam majalah Suara Muhammadiyah, edisi 14 Mei 2008.

Nasution, Harun, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

Nata, Abudin, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2001.

Kamus Besar Bahasa Indonesia online, http://pusatbahasa.diknas.go.id/-kbbi/index.php

Rahman, Fazlur, Islam, Chicago: University of Chicago Press, 1979.

_____________, Islam Modern Tantangan Pembaharuan Islam, terj. Hamid Basyaub, Yogyakarta, Sholahuddin Press, 1987.

_____________, Islam dan Modernitas Tantangan Transformasi Intelektual, Bandung, Pustaka, 1995.

Sudiro, M. Irsyad, Pendidikan Agama dalam Masyarakat Modern, Seminar dan Lokakarya Nasional Revitalisasi Pendidikan Agama Luar Sekolah dalam Masyarakat Modern, Cirebon, tanggal, 30-31 Agusrus 1995.

Wilson, Samuel Graham, Modern Movements Among Moslems, New York, Fleming Company, TT.

Woodward, M., (Summer-Fall 2001), Indonesia, Islam and the Prospect of Democracy, SAIS Review Vol. XXI, No. 2.

www.salafy.or.id.


[1] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1975, hlm. 12-14. Di akhir abad 19 dan awal abad 20, disebut oleh Albert Hourani dengan “liberal age”, atau periode ‘bebas’, artinya corak pemikiran Islam pada masa ini cenderung dengan sikap pembebasan dalam beberapa hal pemikiran, teologi, tafsir dan lainnya. Lihat Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age 1798-193,. USA, Cambridge University Press, 1983, hlm. 75. Corak pemikiran modern ini tidak hanya nampak di Arab saja tetapi juga negara-negara muslim lainnya, termasuk Indonesia, juga ikut meramaikan wacana liberal ini. Kita
mengenal beberapa tokoh intelektual liberal Tanah Air yang memiliki concern yang
sama dengan tokoh-tokoh liberal di Timur Tengah, seperti Muhammad Djamil
Djambek (1860-1947), M. Thaib Umar (1874-1920), Abdullah Ahmad (1878-1933),
dan Hadji Agus Salim (1884-1954). Untuk mengetahui biografi
menarik lebih lanjut tentang tokoh-tokoh ini, lihat Tamar Djaja, Pustaka
Indonesia: Riwayat Hidup Orang-Orang Besar Tanah Air
, Jakarta, Bulan Bintang
1966.
[2] Menurut Deliar Noer, yang dimaksud dengan gerakan modernisme (Islam) adalah gerakan kembali kepada Qur’an dan Sunnah sebagai sumber ajaran pokok Islam. Lihat “Harun Nasution dalam Perkembangan Pemikiran Islam di Indonesia” dalam Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution, Jakarta: Panitia Penerbitan Buku dan Seminar 70 Tahun Harun Nasution dan Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1989, hlm. 83.
[3] Dilihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia online, http://pusatbahasa.diknas.go.id/-kbbi/index.php
[4] Ibid.
[5] Modernisasi adalah proses pergeseran sikap dan mentalitas sbg warga masyarakat untuk dapat hidup sesuai dng tuntutan masa kini; pemodernan: Istilah modernisasi biasanya lebih dekat dan dikenal dalam bidang teknologi, meskipun sebenarnya ia merupakan kata umum yang dapat dipakai dalam berbagai bidang, termasuk bidang pemikiran. Ibid.
[6] Kata Modern dalam bahasa Inggris, Modernistic, berarti model baru. Lihat John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta, Gramedia, 384, hlm. 384. Salah satu ciri utama kehidupan di masa sekarang dan masa yang akan datang adalah cepatnya terjadi perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia. Banyak paradigma yang digunakan untuk menata kehidupan, baik kehidupan individual maupun kehidupan organisasi yang pada waktu yang lalu sudah mapan, kini menjadi ketinggalan zaman Secara umum masyakarat modern adalah masyarakat yang proaktif, individual, dan kompetitif. Lihat Djamaluddin Ancok, Membangun Kompotensi Manusia dalam Milenium Ke Tiga, Psikologika, Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi, Nomor : 6 Tahun III, UII, 1998, hlm. 5.
[7] Abudin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2001, hlm. 155.
[8] Abudin Nata, Ibid.
[9] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta, Bulan Bintang, 1975, hlm. 9.
[10] Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, Surabaya, Pustaka Progressif, 1997, hlm. 173.
[11] Pendapat Alvin Tofler dalam bukunya The Third Wave (1980) yang bercerita tentang peradaban manusia, yaitu; (1) perdaban yang dibawa oleh penemuan pertanian, (2) peradaban yang diciptakan dan dikembangkan oleh revolusi industri, dan (3) peradaban baru yang tengah digerakan oleh revolusi komunikasi dan informasi. Perubahan tersebesar yang diakibatkan oleh gelombang ketiga adalah, terjadinya pergeseran yang mendasar dalam sikap dan tingkah laku masyarakat. Lihat M.Irsyad Sudiro, Pendidikan Agama dalam Masyarakat Modern, Seminar dan Lokakarya Nasional Revitalisasi Pendidikan Agama Luar Sekolah dalam Masyarakat Modern, Cirebon, tanggal, 30-31 Agusrus 1995, hlm. 2.
[12] Louis Gardet & M. Arkoun, Islam Kemarin dan Hari Esok, terj. Ahsin Mohammad, Bandung, Puskata, 1997, hlm. 144
[13] Pada masa-masa ini, gagasan romantisme kejayaan Islam muncul sebagai motivasi melawan penjajahan. Inilah dorongan paling besar yang merefleksikan kembali arti peradaban Islam di dunia modern, di tengah-tengah hegemoni Barat waktu itu. Dorongan ini terus menjadi momentum pemikiran Islam paska kolonialisme. Dari sini, mulailah dilakukan refleksi atas munculnya peradaban Barat, dan hegemoninya atas dunia Islam. Nantinya, sebagai "puncak" pemikiran modern ini, sangat relevan memberi perhatian atas kajian-kajian ekonomi-politik atas apa yang menjadi pendorong imperialisme Barat terhadap dunia Islam.
[14] Abudin Nata, Ibid, hlm. 158-163.
[15] Abduh berpendapat tentang pentingnya Tajdid terhadap ajaran Islam yang universal, berasal dari Allah SWT dan tidak dibatasi ruang dan waktu. Ini berbeda dengan aturan manusia yang akan selalu terbatas dengan zaman. Lihat Charles C. Adams, Islam and Modernisme in Egypt, New York, Atheneum Publisher, 1933, hlm. 134.
[16] Salah satu ide Rahman adalah tentang Neo-modernisme, yaitu paham yang melakukan double movement (gerakan ganda) dalam pemikiran Islam, yaitu kembali kepada pemahaman asal (inti) ajaran Islam dengan menelaah kembali sejarah dan konteks awal munculnya, kemudian membawa (inti) ajaran Islam ke zaman sekarang. Neo Modernisme merupakan reaksi yang muncul dari paham neo-revivalismenya Muhammad Abdul Wahhab. Lihat Fazlur Rahman, Islam, Chicago: University of Chicago Press, 1979.
[17] Namun Rahman menekankan tidak serta merta menerima dan mengadopsi peradaban Barat, karena banyak hal-hal yang bersifat etika-praktis dalam peradaban Barat tidak ubahnya seperti binatang. Lihat Fazlur Rahman, Islam Modern Tantangan Pembaharuan Islam, terj. Hamid Basyaub, Yogyakarta, Sholahuddin Press, 1987, hlm. 35.
[18] Rahman mengedepankan perubahan pendidikan Islam yang perlu mengadopsi metode Barat dengan tetap memahami dan mempertahankan inti ajaran. Ia melihat perkembangan yang spektakuler dalam pendidikan Islam di Turki. Lihat Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas Tantangan Transformasi Intelektual, Bandung, Pustaka, 1995, hlm. 108.
[19] Samuel Graham Wilson, Modern Movements Among Moslems, New York, Fleming Company, TT, hlm. 153.
[20] Woodward, M., (Summer-Fall 2001), Indonesia, Islam and the Prospect of Democracy, SAIS Review Vol. XXI, No. 2, hlm. 29-37.
[21] Yudi Latif, Inteligensia Muslim dan Kuasa : Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad Ke-20, Bandung, Mizan Media Utama, 2005, hlm. 108.
[22] Haedar Nasir, Muhammadiyah dan Mata Rantai Pembaharuan Islam (7), dimuat dalam majalah Suara Muhammadiyah, edisi 14 Mei 2008.
[23] Kata Salafi adalah sebuah bentuk penisbatan kepada al-Salaf. Kata al-Salaf sendiri secara bahasa bermakna orang-orang yang mendahului atau hidup sebelum zaman kita.  Adapun makna al-Salaf secara terminologis yang dimaksud di sini adalah generasi yang dibatasi oleh sebuah penjelasan Rasulullah saw dalam haditsnya:
“Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di masaku, kemudian yang mengikuti mereka, kemudian yang mengikuti mereka...”  (HR. Bukhari dan Muslim). Berdasarkan hadits ini, maka yang dimaksud dengan al-Salaf adalah para sahabat Nabi saw, kemudian tabi’in, lalu atba’ al-tabi’in.
[24] Akan tetapi, pada prakteknya di Indonesia, masing-masing faksi –salafi Yamani dan haraki- sangat berbeda. Dalam hal ini, salafi Yamani terkesan membabi buta dalam menerapkan mekanisme ini. Fenomena yang nyata akan hal ini mereka terapkan dengan cara melemparkan tahdzir (warning) terhadap person yang bahkan mengaku mendakwahkan gerakan salafi. Puncaknya adalah ketika mereka menerbitkan “daftar nama-nama ustadz yang direkomendasikan” dalam situs mereka. Sementara Salafi Haraki cenderung melihat mekanisme hajr al-mubtadi’ ini sebagai sesuatu yang tidak mutlak dilakukan, sebab semuanya tergantung pada maslahat dan mafsadatnya. Menurut mereka, hajr al-mubtadi’ dilakukan tidak lebih untuk memberikan efek jera kepada sang pelaku bid’ah. Namun jika itu tidak bermanfaat, maka boleh jadi metode ta’lif al-qulub-lah yang berguna. Lihat situs resmi mereka www.salafy.or.id.